PWMU.CO–Kemakmuran sebuah negara tergantung dari kejujuran para pemimpinnya dan niat sungguh-sungguh memakmurkan rakyat.
Hal itu disampaikan oleh Ustadz Abu Abik Thoiron dalam kajian Fajar Solihin yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Pare Kediri, Ahad (1/12/2019).
Dia mencontohkan Korea yang merdeka hampir sama dengan Indonesia. Negeri non muslim tapi makmur. ”Setelah dipelajari ternyata para pemimpinnya rajin memberi contoh yang baik, membawa warganya giat bekerja. Maka negeri itu jadi makmur,” kata Ustadz Abu Abik Thoiron yang baru pulang dari kunjungan ke Korea Selatan.
Indonesia, sambung dia, sebenarnya memenuhi syarat menjadi makmur. Tanahnya subur, ladang emas dan minyak punya. Namun hingga 70 tahun merdeka, rakyat masih miskin padahal negeri muslim. Sebab kita disuguhi episode pemerintahan yang jauh dari harapan.
Saudi Arabia, kata dia, walaupun negerinya tidak subur tapi menjadi makmur karena minyak. Kemakmuran itu juga akibat manjurnya doa Nabi Ibrahim seperti disebut dalam surat Albaqarah ayat 126.
“Yaa Robbi, jadikanlah negeri (Mekah) ini negeri yang aman, dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya , yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Allah juga menyebutkan orang kafir diberi kesenangan tapi sementara. “Dan kepada orang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku (Allah) paksa dia ke dalam azab neraka, itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
”Jika ditafsirkan ayat tersebut menyebutkan negara yang mempunyai penduduk beriman akan diberi kemakmuran. Sebaliknya negeri kufur mendapat azab. Tapi kenapa negeri kufur bisa makmur? Setelah diamati jawabannya ternyata terletak kepada kejujuran pemimpinnya,” tandas mantan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Kediri ini.
Dia juga bercerita kehidupan warga di negeri Korea. Seorang pria yang akan menikahi wanita Korea ada persyaratan khusus. Harus sudah memiliki rumah dan mobil. ”Kalau persyaratan ini diterapkan di Indonesia maka yang terjadi akan menumpuk para perjaka tua,” seloroh pemilik toko swalayan Surya Kediri ini.
Di Korea, katanya lagi, orang malu jika dikelompokkan sebagai orang miskin. Meskipun indikasinya gampang warga Korea yang tidak punya mobil maka tergolong miskin.
Kalau orang Korea digolongkan dhuafa, predikat itu membuat harga dirinya jatuh. Karena itu mereka malu. ”Sungguh jauh berbeda dengan Indonesia. Di sini jika tidak terdaftar sebagai orang miskin justru protes , karena tidak mendapatkan bantuan,” ujarnya disambut tawa getir hadirin.
Warga Korea, lanjut mantan kepala SMA Negeri Grogol ini, sangat mencintai produksi dalam negeri. Mobil yang berseliweran di jalan mayoritas merek lokal. Begitu juga produk elektronik seperti HP, TV, pakai buatan dalam negeri. Inilah yang menyebabkan Korea bisa sukses
Tapi suasana kemajuan negeri itu juga membuat kehidupan warganya banyak tekanan. Orang mudah stress kalau gagal. Orang bunuh diri sering terjadi. Sehingga di sejumlah jembatan di Korea ditulisi imbauan agar tidak dipakai untuk bunuh diri.
“Makane wong tuek-tuek nek ndongo sing bener. Karep ben anak putune koyok penduduk Mekkah niku, nggih? ” tuturnya lagi yang artinya, orang-orang tua kalau berdoa yang benar agar anak cucu bisa seperti penduduk Mekkah yang makmur. (*)
Penulis Suparlan Editor Sugeng Purwanto