PWMU.CO – Membincang tentang almarhum Bahtiar Effendy, bagi saya tidak bisa dilepaskan dari dua sosok lainnya: Din Syamsuddin dan Hajriyanto Yasin Thohari.
Tiga tokoh itu, mulai saya kenal sejak era 90-an. Ketika saya masuk jajaran Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jatim. Ketiganya turut mewarnai dinamika politik di republik ini.
Para intelektual muda Muhammadiyah itu, memiliki hubungan sangat akrab. Boleh dibilang sebagai tiga serangkai. Saking akrab dan egaliternya persahabatan mereka, tidak jarang setelah berdebat serius mengenai masalah-masalah kebangsaan, lantas saling gojlok dalam hal-hal yang sifatnya personal.
Tapi setiap tokoh memiliki karakternya sendiri, baik yang terbentuk oleh gawan bayi, pengalaman hidup, maupun lingkungan sehari-harinya.
Dalam konteks tiga serangkai dimaksud, sejauh yang saya tahu, tokoh pertama lebih dominan sebagai akademisi dan pengamat politik. Sedangkan dua tokoh yang disebut terakhir, dikenal sebagai praktisi aktif di lingkungan ormas dan juga politisi.
Dalam perjalanannya, ketiga tokoh tersebut terus menapaki karier masing-masing. Din dan Hajri, pernah menduduki jabatan struktural tertinggi di lingkungan ortom. Yakni Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Keduanya rajin turun ke daerah, bahkan sampai cabang dan ranting, untuk membina masyarakat di grass root. Sedangkan Bahtiar tidak pernah. Sehingga wajar jika kalah popular.
Perbedaan itu, berdampak pada karier masing-masing dalam berorganisasi. Din misalnya, sejak Muktamar ke-44 Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta selalu masuk 13 peraih suara terbanyak. Bahkan dalam dua muktamar setelah itu: ke-45 di Malang tahun 2005, dan ke-46 di Yogyakarta tahun 2010, selalu meraih suara terbanyak dan terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Demikian pula Hajriyanto, dalam beberapa muktamar terakhir selalu masuk 13 pimpinan terpilih dan menjadi salah satu Ketua PP Muhammadiyah.
Sedangkan guru besar UIN Syarif Hidayatullah, kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah pada 10 Desember 1958, itu lebih banyak menghabiskan waktunya di kampus, dan kegiatan ilmiah lainnya. Akibatnya, sulit masuk 13 peraih suara terbanyak dalam Muktamar Muhammadiyah. Ia baru masuk jajaran PP, pada periode 2015-2020, melalui pasal khusus, sebagai anggota PP tambahan.
Dari sisi pemikiran, Alumni Ohio State University, Colombus tersebut pada era Orde Baru giat mendorong Muhammadiyah agar menjadi kekuatan civil society, untuk melawan pemerintah.
Menurut Bahtiar, pembentukan civil society sebaiknya tidak terlalu dipengaruhi dan dibentuk oleh pertimbangan-pertimbangan politik.
“Hendaknya didasarkan atas kesadaran untuk membangun konstruk kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang lebih baik. Dalam konteks ini, Muhammadiyah tidak perlu mengikuti jalan yang pernah ditempuh oleh NU,” tulisnya dalam buku Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban.
Namun belakangan, pascareformasi, ia terlihat inkonsisten dalam pemikiran politiknya. Terbukti kemudian getol mengritik Muhammadiyah sebagai apolitik, sembari mengusulkan agar ormas bersimbol matahari ini memiliki amal usaha di bidang politik. Sebagaimana bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan lainnya.
“Mestinya Muhammadiyah punya amal usaha di bidang politik. Bukan malah apolitik,” kritiknya ketika memberikan pengarahan dalam konsolidasi PWM Jatim dengan beberapa Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), di Unmuh Ponorogo, Juli 2017.
Lebih dari itu, ia merekomendasikan perlunya Muhammadiyah memiliki sekolah politik untuk mendidik kader-kader Persyarikatan.
“Lho, itu kan kewenangan Pak Bahtiar, selaku ketua yang membidangi politik. Mengapa dikeluhkan di sini? Bukan diselesaikan di rapat pimpinan pusat. Kami tinggal mengeksekusi,” sela beberapa peserta konsolidasi bernada protes.
Tampaknya beliau konsisten memerankan diri sebagai pengamat politik. Sehingga posisinya yang sudah berubah menjadi pengambil kebijakan, kurang dimanfaatkan secara optimal untuk melandingkan pemikiran dan gagasan-gagasan politiknya.
Mungkin ini risiko yang sulit dihindari bagi siapa pun yang terlalu lama menduduki satu posisi, tak terkecuali Bahtiar. Gara-gara terlalu lama menjadi pengamat, ketika sudah menjabat salah satu ketua PP pun, watak dan wahingnya tetap konsisten pengamat, bukan seperti ketua ormas. Mungkin juga sebaliknya, gara-gara terlalu lama berkuasa, pantang dikritik oleh siapa saja.
Mohon maaf, jika pengamatan saya salah. Karena hanya sekelebatan dan dari kejauhan. Pastinya, tokoh yang wafat pada Kamis dini hari (21/11/2019), itu telah berkontribusi besar bagi perkembangan pemikiran politik Islam, untuk kemajuan Persyarikatan dan bangsa tercinta. Barakallah. (*)
Kolom oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.