PWMU.CO-Peserta Family Gathering kader sang Surya meneteskan air mata saat Maria Goretti Heriaty menceritakan kisah hidupnya dalam kuliah tujuh menit usai shalat Subuh berjamaah di joglo utama Agro Mulia Prigen Pasuruan, Ahad (28/12/19).
Reti, panggilan akrabnya, merasa bangga dan bahagia bisa bergabung di acara pertemuan keluarga kader Muhammadiyah. Apalagi diberi kesempatan berbicara.
“Alhamdulillah saya senang bisa berada di sini. Ini kali pertama saya dan keluarga ikut. Ini saya harus omong apa ya, bingung saya,” ujarnya sembari tersenyum dan diikuti gerr jamaah.
“Kultum di Famegath ini tidak harus dengan ayat. Bisa cerita bagaimana pengalaman ketika kali pertama mengenal Muhammadiyah,” kata Wakil Ketua PWM Jatim Nadjib Hamid yang bertindak sebagai pembawa acara.
Reti mulai berkisah tentang dirinya yang mualaf dan masuk Islam di usia 27 tahun. Perempuan kelahiran Jember itu dilahirkan dari keluarga Katolik. Dia mengenyam pendidikan Katolik sejak TK, SD dan SMP dan SMA. Kemudian kuliah di Universitas Jember. Saat kuliah itulah dia mulai mengenal Islam.
Sejak kecil dia sangat taat beragama dan sangat aktif dalam setiap kegiatan gereja. Jadi tak pernah mengenal ajaran Islam. Hingga suatu ketika dia berpikir keras setelah melihat huruf-huruf Alquran. Dia kagum sekali dengan umat Islam.
“Jujur saat itu saya sangat heran juga kagum dengan orang Islam kok pinter -pinter sekali ya mereka bisa membaca kitab yang pakai huruf Arab. Soalnya di Katolik kan hanya pakai bahasa Indonesia,” katanya.
Sampai akhirnya dia dapat tugas dari kampus untuk pendampingan KUD di Bondowoso. Nah, sama KH Salwa Arifin yang sekarang menjabat sebagai Bupati Bondowoso, Reti diminta kost di rumah H Luthfi Yasin. Itu membuatnya bertanya-tanya. “Kenapa saya kok ditaruh di Pak Haji,” gumamnya kala itu.
“Saya sering berbohong selama di rumah Pak Haji, terlebih saat waktunya shalat. Saya selalu bilang berhalangan. Hingga suatu hari Pak Haji marah ke saya. Kamu ini kok berhalangan terus,” tiru Reti.
Manusia tidak bisa selamanya sembunyi dari kenyataan, hingga akhirnya Reti harus mengatakan yang sebenarnya. Dia sampaikan itu kepada putri Pak Haji bahwa dia bukan muslim.
“Maaf Mbak, sebenarnya agama saya Katolik.” Betapa kagetnya putri Pak Haji saat itu. Dia berkata,” Ya Allah, Mbak, jangan sampai Abi tahu, beliau akan sangat marah.”
Reti meneruskan ceritanya, saat itu semua seperti sudah ada yang mengatur dengan sangat baik. Ada seorang temannya yang kemudian menawarkan diri untuk mengajari shalat dan mengaji. “Hingga akhirnya saya masuk Islam atas bimbingan KH Salwa Arifin yang sekarang menjadi Bupati Bondowoso,” tuturnya.
Ternyata tidak cukup sampai di situ. Reti harus berbohong lagi. Kali ini berbohong kepada orangtuanya. Setiap Sabtu dan Ahad, supaya dia diizinkan tidak pulang.
“Saya tidak pernah mau kalau diminta pulang, karena saya takut ketahuan. Sabtu dan Ahad itu kan waktunya ke gereja. Itu berlangsung lama sekali. Kalau mau shalat juga saya cari tempat yang tidak bisa dilihat keluarga. Saya sangat takut bagaimanapun mereka adalah orangtua saya yang melahirkan dan membesarkan saya,” tutur Reti yang mengharukan membuat semua meneteskan airmata.
Sedikit demi sedikit dia belajar dan memahami ajaran Islam. ”Ketika saya sudah siap untuk menikah saya bilang ke orangtua supaya diizinkan menikah dengan orang muslim. Terima kasih mantan pacar saya yang telah membimbing saya,” kisahnya yang membuat haru semua jamaah.
Usai Reti menutup kisah hidupnya, Nadjib menunjuk Ikhwanudin , salah seorang peserta dari Ponorogo yang juga Bawaslu Provinsi Jawa Timur.
Tampak Ikhwanudin berdiri sambil mengusap air matanya. “Saya masih menangis ini Bu Sugiran, terima kasih banyak sangat inspiratif. Ibu untuk shalat saja butuh perjuangan yang keras. Kita ini sudah diberi kemudahan terkadang masih malas,” ujarnya. (*)
Penulis Uzlifah Editor Sugeng Purwanto