PWMU.CO – Ulasan Majalah Tempo mengenai perbedaan ibadah Muhammadiyah dan NU yang merupakan respon dari tulisan tentang Menguak Rahasia Muhammadiyah Selalu Nampak Beda dengan NU yang bertebaran di dunia maya, akhir-akhir ini telah menjadi perbincangan hangat. Dalam berita tersebut, salah satu sumber Tempo adalah berupa kitab fikih “yang katanya” produk Muhammadiyah pada tahun 1923. Dengan memakai sumber tersebut, Tempo menggambarkan adanya sisi tradisional dan Syafi’iyah pada Muhammadiyah di masa silam.
Terkait hal tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah DR Haedar Nashir mengatakan, memang ada upaya untuk mengkonstruksi masyarakat bahwa Muhammadiyah dahulu adalah Islam tradisional dan Syafi’iyah yang kini jati dirinya telah terkikis. Upaya itu lantas dimanfaatkan secara kurang bijak oleh beberapa pihak untuk memojokkan warga Muhammadiyah terkini sebagai “pembelot” terhadap pendirinya, KH Ahmad Dahlan.
(Baca: Dirobohkannya Masjid Kami, Sebuah Kisah Nyata Intoleransi Mayoritas pada Minoritas dan Kisah Terusirnya Mubaligh Muhammadiyah oleh Warga Mayoritas)
“Para penulis yang merepro dengan berbagai komentarnya itu, ingin melegitimasi bahwa seakan-akan Muhammadiyah itu asalnya Syafi’iyah dan tradisional. Jadi, Muhammadiyah sekarang dianggap sudah berubah. Tidak asli lagi,” kata Haedar Nashir dalam acara Halal bi Halal Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Minggu (17/7).
Haedar menjelaskan, bahwa pada dua dekade awal berdirinya Muhammadiyah, ada beberapa warga Muhammadiyah yang secara perorangan menerbitkan berbagai buku. Sangat mungkin ada di antara mereka yang menulis tentang masalah fiqih. Termasuk mungkin buku yang konon kabarnya “Muhammadiyah Itu NU” tersebut.
“Tetapi dulu itu, kan belum ada Majelis Tarjih karena Tarjih baru berdiri pada tahun 1927 oleh KH Mas Mansyur. Nah, buku itu berisi tulisan-tulisan perorangan. Jadi bukan hasil dari organisasi,” urai Haedar. Artinya, dalam masalah fiqih maupun tatacara ibadah warga Muhammadiyah sebelum berdirinya Majelis Tarjih itu memang cukup beragam. Karena keberagaman ini, yang terkadang menjadi perdebatan di kalangan warga Muhammadiyah sendiri, maka didirikanlah Majelis Tarjih agar perdebatan itu tidak mengganggu amal usaha Muhammadiyah.
(Baca: Kisah Terusirnya Tokoh Muhammadiyah Yungyang dari Mushala, tapi Akhirnya Dapat ‘Hadiah’ Masjid dan Jangan Jadi Umat Islam Sontoloyo)
Berdasarkan hasil penelusurannya, Haedar menduga kitab yang sekarang menjadi perdebatan itu dihimpun oleh pendiri dan atau Ketua Majelis Pustaka waktu itu, yakni Wasul Siraj. Pendiri Majelis Pustaka ini masih memiliki hubungan kerabat dengan KH Ahmad Dahlan.
“Dalam sumber yang dikutip Tempo, salah satu isinya menyebutkan bahwa Kyai Dahlan shalat tarawih sebanyak 23 rakaat. Ya, kita belum tahu seberapa kuat sumber itu. Karena menurut Ir Munichi, salah satu cicit KH Aamad Dahlan, dia tidak menemukan tulisan Wasul Siraj tentang tarawih Kyai Dahlan 23 rakaat. Jadi, saya rasa isi kitab itu harus kita lacak lagi,” tegas Haedar tentang keaslian buku fiqih yang ternyata hingga kini masih “misterius”. Apalagi pihak-pihak yang mengunggah buku itu, bahkan menjadikannya sebagai buku, ketika diminta untuk dihadirkan atau diperlihatkan keaslian buku itu, belum pernah disanggupi.
(Baca: 3 Fase Keagamaan Bung Karno: dari Muslim KTP Jadi Muslim yang Yakin dan Begini Cerita Bung Karno Masuk Muhammadiyah)
Meski demikian, tambah Haedar, seandainya kitab itu memang asli, hal tersebut pun bisa dimaklumi jika para pembaca juga jujur dalam melihat perjalanan Muhammadiyah. Karena kyai-kyai Muhammadiyah pada waktu itu rujukannya belum sampai pada tarjih. Misalnya terkait salat tarawih. Karena rujukannya belum terorganisir, jumlah rakaat salat tarawih yang dipraktikkan oleh warga Muhammadiyah di berbagai daerah juga tidak sama. Selain itu, mungkin sudah jadi kebiasaan lama, bahwa shalat tarawih jumlahnya sebanyak 23 rakaat. Selanjutnya halaman 2