PWMU.CO – Meninggalnya Suparnoto, ketua PCM Pakusari saat ikut Musypim PDM Jember, Ahad (9/2/2020), meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga, kerabat dan segenap penggiat Muhammadiyah Jember.
Kegigihan dan istiqomah dalam menggerakkan Muhammadiyah di Pakusari bisa dilihat dari keikutsertaan semua anggota keluarganya di kegiatan Muhammadiyah.
”Bapak tak meninggalkan firasat apa-apa. Semua seperti biasa. Beliau masih menyimak bacaan al-Quran saya setelah tahajud. Kemudian saya pun masih sempat memeluk dan menciumnya seperti biasa,” cerita istrinya, Hj Sunamya, ketika bertemu di rumahnya.
”Cuma yang menjadi pikiran saya, saat berangkat ke acara Ahad Pagi dilanjut Musypim PDM saya tidak mengantar kepergiannya. Saya sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan anak-anak pondok,” sambungnya.
Sunamya dan suaminya, Drs H Suparnoto, adalah pengasuh Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Pakusari. Dia bertugas menyiapkan logistik makanan untuk para santri dan ustadznya.
Lalu dia mengatakan, saat diberitahu kalau suaminya jatuh di acara Musypim, langsung bergegas menuju RS dr Soebandi Jember. Tapi di tengah jalan mendapat informasi kalau suaminya, Suparnoto, sudah tak tertolong lagi.
”Bapak meninggal tidak di tengah keluarganya. Tapi Allah memanggilnya di antara sahabat-sahabat seperjuangan di Muhammadiyah,” jelas Sunamya dengan suara lirih.
Suparnoto juga menjadi kepala SD Negeri di Jember. Usianya kini sudah 60 tahun. Juli 2020 dia sebenarnya memasuki pensiun menjadi kepala sekolah dan pegawai negeri.
Penampilan Kalem tapi Suka Humor
Kepribadian Kiai Suparnoto berpenampilan kalem, ramah dan humoris. Pembawaan ini sangat berkesan bagi para santri. Jundi Madani Emha, santri asal Tanggul merasa terpukul dengan meninggalnya Abi, panggilan akrab santri kepada Suparnoto.
”Setiap pagi Abi selalu membangunkan saya pertama kali untuk tahajud. Setelah itu saya membangunkan teman-teman. Kemudian dilanjut dengan membaca al-Quran sebelum subuh,” katanya.
Jundi bercerita, dalam salah satu tausiyahnya, Abi pernah mengatakan, kalau boleh meminta Abi ingin meninggal dalam keadaan mendidik.
”Allah mengabulkan permintaan Abi. Beliau meninggal saat mendidik. Tidak mendidik di pondok tetapi mendidik umat di acara Muhammadiyah,” tutur Jundi menahan tangis.
Bertemu dengan siapa pun, keluarga, tamu pondok atau wali santri, selalu yang dibicarakan tentang perjuangan dan dakwah Muhammadiyah. Sosok yang selalu menjaga tali silaturahim ini memperjuangkan Islam melalui Muhammadiyah dengan mengorbankan tenaga, harta, dan nyawa.
Muhammad Jupri Lc menantu Suparnoto menuturkan, kecintaan mertuanya terhadap Muhammadiyah jangan diragukan lagi. Rumah dan tanahnya sudah diwakafkan ke Muhammadiyah untuk pondok putri. Sampai akhir hayatnya, dia tak memiliki rumah. ”Katanya, rumah untuk pondok, saya hanya numpang saja,” cerita Jupri dihubungi Senin (10/2/2020).
Rasa humornya juga selalu membuat orang sekitar tergelak. Mawaddah, puteri kedua menyampaikan, pernah di grup Whatsapp keluarga, H Suparnoto menulis.
”Aku sedang berjalan ke dapur untuk menemui istriku. Perutku keroncongan. Begitu sampai dapur istri tercintaku berkata, makannya nanti dulu ya, aku masih menyiapkan makan untuk anak-anak pondok. Akhirnya aku balik kanan. Aku pun terkapar kelaparan di gazebo depan.”
”Kami putra-putrinya yang membaca WA itu tertawa. Begitu saya tanyakan Umi, mengapa mendahulukan santri ternyata bapak sudah makan tiga potong ubi jalar kukus. Dipikir Umi masih kenyang,” ujar Mawaddah.
Keramahannya sungguh luar biasa. Setiap wali santri berkunjung selalu didatangi dan ditanyakan kabarnya. Sudah lamakah atau permintaan maaf jika tidak sempat menemui. ”Maaf ya saya tidak bisa menemani lama-lama, masih ada urusaan.”
Sapaan Suparnoto itu membuat wali santri merasa nyaman setiap berkunjung ke pondok. Namun sapaan hangat dari pengasuh pondok itu kini tak ada lagi. (*)
Penulis Humaiyah Editor Sugeng Purwanto