Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia Maju, Adil, dan Berkeadaban adalah judul makalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang disampaikan di KUII (Kongres Umat Islam Indonesia) VII di Pangkalpinang, Bangka Belitung, Kamis 27 Februari 2020.
Masalah Krusial
Relasi Islam dan Negara
Umat Islam Indonesia jika ingin leluasa melangkah ke depan dalam perjuangan keumatan dan keindonesiaan harus menyelesaikan urusan mengenai hubungan dirinya dengan Negara Kesatuan Republik Idonesia.
Secara umum relasi Islam dan negara sudah selesai, tetapi pada segmen umat dan orientasi paham tertentu masih tampak ada masalah, ganjalan, dan kecanggungan. Organisasi besar seperti Muhammadiyah mendeklarasikan Dokumen Resmi Muktamar (2015) tentang Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah. Nahdlatul Ulama memiliki pandangan NKRI sebagai final.
Ormas dan kekuatan umat Islam lainnya tentu pandangan dan sikapnya sama, yang memerlukan penegasan sikap teologis-ideologis yang resmi mengakui keberadaan NKRI dengan segala aspeknya dan tidak berpikir lain yang bertentangan dengan Konstitusi RI. Termasuk dalam menerima Pancasila agar tidak mempertentangkan terus menerus antara Islam dan Pancasila.
Jangan sampai ada paham yang menganut ideologi Khilafah atau Negara Islam di Indonesia serta memandang NKRI sebagai sistem thaghut atau bertentangan dengan Islam. Jika masalah ini tidak selesai akan menjadi “duri dalam daging” serta umat Islam akan terus terpecah dan dianggap anti-NKRI atau tidak menerima NKRI sepenuh hati.
Padahal perjuangan umat Islam untuk kemerdekaan, berdirinya RI, dan pembangunan bangsa luar biasa. Solusinya semua kekuatan umat Islam yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan kelompok- kelompok sosial-keagamaan lainnya penting memposisikan dan memiliki sikap dan pandangan resmi mengenai pengakuan NKRI sebagai negara yang dalam rujukan fikih siyasah Islam sejalan dengan jiwa ajaran Islam atau negara Islami (Darr al-Salam).
Keberadaan NKRI harus menjadi kesepakatan kolektif yang “qothiy” serta tidak boleh diinkari, bersamaan dengan itu harus diisi atau dibangun menjadi Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur sejalan dengan cita-cita nasional yang diletakkan fondasinya oleh para pendiri negara tahun 1945.
Format Politik Islam
Dalam konteks ini terdapat problem klasik politik Islam antara aliran “Islamisme” dengam “modernisme” dan “liberalisme-sekularisme”. Khusus parpol Islam juga masih terjebak masalah lama tentang bentuk “aliansi politik” atau “kerjasama politik”, karena ketidakmungkinan atau kesulitan serius untuk lahirnya satu wadah partai politik Islam.
Kekuatan politik umat Islam sebagaimana terepresentasikan dalam parpol Islam hasil Pemilu 2019: 171 di DPR (29,26 persen). Maukah membangun ‘aliansi strategis’ yang dapat mensinergikan kekuatan politik Islam tanpa terjebak pada ekslusivisme, terutama dalam menyuarakan kepentingan besar umat Islam yang bersifat sepesifik: legislasi yang tidak merugikan umat Islam/rakyat, penguatan aspirasi politik Islam, penguatan ekonomi umat, dan sebagainya.
Perlu terobosan langkah kolektif semua kekuatan politik Islam menyatukan visi dan langkah strategis politik untuk mewujudkan aspirasi dan kepentingan umat Islam sebagai mayoritas di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan tetap berada dalam spirit iknlusif dalam Bhinneka Tunggal Ika jangan sampai umat Islam sebagai penduduk mayoritas laksana orang yang “kesempitan” pakaian, bersamaan dengan itu tumbuh aura Islamofobia di negeri muslim terbesar di dunia ini.
Karenanya penting pula dikembangkan politik Islam yang inklusif serta dibangun relasi cair dengan kekuatan politik nasional lain yang sejatinya juga mayoritas elite dan pendukungnya beragama Islam.
Dalam kaitan ini tentu kekuatan politik Islam penting meniscayakan perjuangan politiknya bersifat integratif yang menyatukan keislaman dan keindonesiaan untuk terwujudnya Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, makmur, dan berkeadaban. Di sinilah pentingnya “ijtihad politik baru” dalam dunia politik Islam Indonesia.
Visi Keislaman dan Kebangsaan
Umat Islam secara teologis memiliki cita-cita keumatan dan kebangsaan yang bersifat spesifik seperti terkandung dalam konsep Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur, Khyaira Ummah, Ummatan Wasatha, Rahmatan lil-‘Alamin, dan sebagainya.
Namun bersamaan dengan itu sebagai entitas bangsa umat Islam telah bersepakat menjadikan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945 dengan segala kaitan ketatanegaraan lainnya yang mengikat secara konstitusional.
Visi keislaman yang bersifat teologis tersebut penting didialogkan dan menjadi visi kolektif umat Islam Indonesia agar jelas secara ideologis dan tidak bersifat pragmatis belaka dalam berbangsa-bernegara, tanpa terjebak pada ekslusivitas ideologi Islam yang vis a vis dengan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Visi teologis ini harus terintegrasi ke dalam Keindonesiaan dan bukan disintegrasi. Golongan kebangsaan lainnya penting pula menghargai visi kebangsaan Islam ini dan jangan memandang sebagai identitas keislaman yang mengancam keindonesiaan.
Visi teologis dan ideologis Islam tersebut niscaya menyatu dengan keberadaan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila yang memiliki cita-cita mewujudkan kehidupan kebangsaan- kenegaraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur!
Visi Kemajemukan/Pluralisme
Umat Islam Indonesia penting memiliki pandangan yang final mengenai hidup berbangsa-bernegara dan bermasyarakat dalam kemajemukan/Bhinneka Tunggal Ika. Bagaimana memandang golongan agama/kepercayaan lain: Ahlul Kitab atau apa yang dibenarkan secara teologis, jangan sampai ada takfiri terhadap umat beragama lain.
Golongan lain dan negara/pemerintah juga perlu memiliki pandangan yang moderat terhadap umat Islam sebagai mayoritas. Ini soal baju, jangan sampai umat Islam kesempitan baju karena paham pluralisme absolut.
Muhammadiyah: “Kemajemukan agama adalah realitas objektif dalam kehidupan sosial-keagamaan sebagai sunnatullah. Penolakan terhadap kemajemukan agama berdampak sikap yang tidak toleran, menafikan eksistensi pihak lain sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan umat dan masyarakat. Muhammadiyah menerima pluralitas agama tetapi menolak pluralisme yang mengarah pada sinkretisme, sintesisme, dan relatifisme.
Karena itu, umat Islam diajak untuk memahami kemajemukan agama dan keberagamaan dengan mengembangkan tradisi toleransi dan ko- eksistensi (hidup berdampingan secara damai) dengan tetap meyakini kebenaran agamanya masing-masing.
Setiap individu bangsa hendaknya menghindari segala bentuk pemaksaan kehendak, ancaman dan penyiaran agama yang menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Pemerintah diharapkan memelihara dan meningkatkan kehidupan beragama yang sehat untuk memperkuat kemajemukan dan persatuan bangsa.”
Bagaimana mengaktualisasikan konsep “ahlul-kitab” di Indonesia dalam spirit kemajemukan beragama. Umat Islam Indonesia sebagai mayoritas perlu memiliki sikap yang jelas dan tidak ambigu dalam memposisikan dan memandang pluralitas dan pluralisme beragama serta menyikapi golongan agama lain di Republik ini. Deklarasi Al-Azhar 2020 sangat progresif dalam hal ini.
Bias Radikalisme-Ekstremisme
Masalah radikalisme masih menjadi titik krusial dan kontroversial di Indonesia. Fakta menunjukkan masih terdapat perbedaan pandangan mengenai masalah ‘radikalisme’ antara pemerintah dan golongan kebangsaan lain di satu pihak dengan elemen umat Islam di pihak lain, bahkan boleh jadi sesama golongan umat Islam pun masih terdapat perbedaan pandangan.
Segenap kekuatan umat Islam penting mendialogkan dan menentukan titik pandang yang sama mengenai radikalisme-esktremisme di Indonesia, lebih-lebih yang dikaitkan dengan Islam dan umat Islam, termasuk di dalamnya mengenai program ‘deradikalisasi’.
Undang-undnag Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentag Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahu, 2003 tentan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Bagian Ketiga Kontra Radikalisasi (Pasal 43C): (1) Kontra radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal Terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal Terorisme;
(2) Kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait;
(3) Kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi;
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kontra radikalisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian
Keempat Deradikalisasi (Pasal 43D): (1) Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal Terorisme yang telah terjadi;
(2) Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada: a.tersangka; b.terdakwa; c.terpidana; d.narapidana; e. mantan narapidana Terorisme; atau f. orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal Terorisme;
(3) Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait;
(4) Deradikalisasi terhadap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diberikan melalui tahapan: a.identifikasi dan penilaian; b.rehabilitasi; c.reedukasi; dan d.reintegrasi sosial;
(5) Deradikalisasi terhadap orang atau kelompok orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dapat dilaksanakan melalui: a.pembinaan wawasan kebangsaan; b.pembinaan wawasan keagamaan; dan/atau c.kewirausahaan;
(6) Pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan identifikasi dan penilaian;
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Namun sampai batas tertentu bahwa pemikiran dan praktik yang berkembang/dikembangkan pemerintah dan didukung sejumlah pihak tentang radikalisme-terorisme serta kontraradikalisme dan deradikalisme masih mengandung muatan bias dan reduksi.
Umat Islam tampak sebagai objek, yang ditandai dengan kebijakan-kebijakan dan program ‘deradikalisasi’ seperti tentang majelis taklim, masjid terpapar radikalisme, BUMN (masjid BUMN) terpapar radikalisme, PAUD terpapar radikalisme yang subjeknya diidentifikasi terkait Islam dan umat Islam.
Tidak terdengar radikalisme-terorisme terkait golongan lain (primordialisme), separatisme, sebagaimana dengan kerusuhan di suatu daerah beberapa waktu lalu yang menewaskan 33 jiwa.
Apakah kejadian tersebut bukan tergolong terorisme atau separatisme yang mengandung teror serius? Tetapi pada saat yang sama terdapat juga problem lain, di tubuh umat Islam tertentu tampak ada kecenderungan orientasi keislaman yang keras-ekstrem serta dalam beberapa kasus terorisme mengatasnamakan atau mengaitkan diri pada Islam, indikasi partisan dan simpati ISIS, dan sebagainya.
Umat Islam perlu memiliki pandangan yang jelas dan tegas untuk menolak segala bentuk radikalisme-ekstremisme dan terorisme atas nama apapaun, termasuk yang menggunakan dalil dan pandangan keislaman.
Deklarasi Al-Azhar 2020 sangat tegas, progresif, dan terbuka. Muhammadiyah misalnya sebagai kekuatan Wasathiyyah memperjuangkan pemikrian dan strategi moderasi, bukan deradikalisas.
Jika kekuatan Islam Wasathiyah benar-benar konsisten maka dirinya niscaya tampil dalam gerakan yang tengahan-moderat serta melakukan langkah-langkah moderasi dalam menghadapi radikalisme-ekstremisme, bukan tampil dengan paham dan orientasi yang radikal- ekstrem, lebih-lebih menjadikannya sebagai “proyek”.
Majelis Ulama Indonesia yang mengusung “Wasathiyatul Islam” atau Islam yang wasathiyyah perlu di garis terdepan dalam menampilkan paham dan gerakan wasathiyah di Indonesia, yang niscaya bersikap tegas dalam menyikapi segala bentuk radikalisme-ekstremisme termasuk yang mengatasnamakan Islam.
Sikap tegas juga berlaku untuk ekstrem-kiri yang liberal-sekular, dengan catatan khusus kelompok tengah pun jangan ekstrem-tengah yang memproduksi ekstremitas tertentu.
Ukhuwah Islamiyah
Konsep teologis tentang ukhuwah di kalangan umat Islam sangat jelas dan tegas. NU mengembangkan konsep Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah, Insaniyah/Basariyah. Persoalannya bagaimana di tubuh umat Islam sendiri ukhuwah Islamiyah itu dibangun dan diwujudkan secara autentik sebagaimana saudara.
Problem ukhuwah Islamiyah masih sering terinterupsi oleh perbedaan paham keagamaan terutama dari “arus baru” yang sering dikenal “Islam transnasional” dan harakah-harakah baru yang cenderung “keras”.
Demikian halnya dengan otientasi paham ideologis yang cenderung “liberal-sekuler” yang sering berhadapan secara diametral dengan pandangan keislaman—istilah Olivier Roy— ‘neo-fundamentalis’, yang sering terlibat dalam banyak perbedaan dan konflik paham yang sangat keras satu sama lain.
Khusus dalam politik umat Islam masih cenderung sendiri-sendiri (ananiyah hizbiyah), apalagi kalau menyangkut kue kekusaan, sehingga ukhuwah Islamiyah berhenti sebatas retorika atau kata-kata. Persoalan-persoalan krusial keislaman ini penting diselesaikan di tubuh umat Islam Indonesia.
Kedhuafaan Ekonomi Umat
Umat Islam meski mayoritas secara jumlah tetapi minoritas secara kualitas, salah satu faktor dan kelemahan utamanya ialah dhu’afa dalam ekonomi. Menurut DR (HC) Jusuf Kalla di sejumlah kesempatan, bahwa dari 100 orang kaya hanya sekitar 10 orang Islam, sebaliknya dari 100 orang miskin terdapat 90 orang Islam.
Umat Islam tidak akan kuat secara politik dan budaya maupun peran strategis lainnya jika lemah secara ekonomi. Pepatah Arab menyatakan, faaqid asy- syaiy laa yu’thi, pihak yang tidak memiliki sesuatu maka tidak mungkin memberi sesuatu. Umat Islam harus memiliki kekuatan ekonomi “tangan di atas” (yad al-‘ulya) dan tidak tangan di bawah (yad al-sufla).
Dalam teori oligarki politik Jeffry Winters, siapa yang menguasai sumber daya ekonomi maka merekalah yang menguasai politik dan negara. Mana mungkin umat Islam Indonesia dapat mengekspor Islam rahmatan lil-‘alamin atau Islam moderat ala Indonesia ke mancanegara jika di negeri sendiri masih dhu’afa secara ekonomi, mentalitas, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tangannya masih di bawah. Di negeri sendiri boleh jadi belum menjelma menjadi fa’il dan lebih banyak menjadi maf’ul-bih.
Baca sambungan di halaman 2: “Strategi”