Virus Corona ababil atau abrahah? CEO PSHW Jatim Dhimam Abror Djuraid menulis fenomen ‘tentara Allah’ yang membuat dunia tunggang-langgang.
PWMU.CO – Dunia tunggang langgang. Itulah keadaan sekarang ini. Kepanikan dan ketakutan di mana-mana. Virus corona membuat dunia global tunggang langgang.
Sosiolog terkemuka Anthony Giddens menulis mengenai dunia yang tunggang langgang ini Runaway World; How Globalisation Reshaping Our Lives (2000), globalisasi telah menjadikan dunia semakin mengerut mengecil setelapak tangan kita seukuran gadget yang tersambung dengan koneksi internet 24 jam sehari.
Dunia dan hidup kita berubah karenanya. Yang jauh menjadi makin dekat, tapi yang dekat menjadi makin jauh. Seperti lagu Metallica So Close No Matter How Far (1991), terasa dekat sekali tak peduli seberapa jauh pun. Batas-batas geografi tak punya arti karena dunia sudah tak punya batas lagi, a Boarderless World.
Manusia menjadi tunggang-langgang terkaget-kaget oleh fenomena baru 4.0, tatanan sosial bubrah, nilai-nilai moral melemah, dan agama kehilangan arah. Anak-anak milenial menjadi makhluk baru yang tidak kita kenali. Mereka hidup dalam dunianya sendiri, dunia digital yang menjungkirbalikkan dunia analog.
Orang-orang tua segenerasi kita tunggang-langgang kebingungan melihat polah-tingkah generasi Z dan Y yang tidak bisa kita pahami. Kita panik karena mereka tidak lagi berteman dan bermain dengan sebaya seperti zaman kita dulu. Kita panik karena mereka tidak lagi membaca buku, kita panik karena mereka tidak mau lagi ngumpul ngariung di ruang keluarga untuk sekadar menonton teve bersama.
Di dunia yang menjadi global dan terkoneksi oleh keajaiban worldwide web (www) lalu lintas manusia, barang, dan jasa mengalir setiap saat tak bisa ditahan maupun dikendalikan. Giddens sudah memprediksi sisi gelap dari globalisasi, bukan hanya barang dan jasa yang free-flow bebas keluar masuk batas negara, penyakitpun ikut-ikutan bebas menyebar ke seluruh dunia mengikuti pola globalisasi.
Dunia Tunggang-Langgang
Sekarang dunia merasakan kepanikan serbuan virus Corona. Hanya dalam waktu beberapa bulan virus ini menjadi pagebluk yang mem-bust seluruh dunia ketakutan.
Ini tentu bukan penyakit global pertama yang dialami manusia, sudah pernah ada flu burung, flu babi, sapi gila, SARS, semuanya adalah tipikal penyakit global menyerang membabi buta ke pelbagai antero dunia.
Ada ironi dan paradoks dalam dunia yang tunggang-langgang ini. Dunia telah menjadi seperti sebuah kapal besar yang kita tumpangi bersama-sama. Ketika kapal itu bocor dan sampai karam maka siapapun penumpang di dalamnya akan menghadapi risiko tenggelam bersama-sama. Karena itu kapal harus dijaga bersama-sama supaya tidak bocor dan karam. Tapi, yang kita lihat di dunia sekarang ini banyak yang dengan sengaja merusak dan melubangi kapal.
Para penumpang kapal ini masuk ke kamar masing-masing melakukan SDM (selamatkan diri masing-masing), sambil berpikir biarkan orang lain tenggelam asal aku selamat. Padahal, jika kapal besar tenggelam tak bakal ada yang selamat.
Mentalitas Selfish Tak Selesaikan Masalah
Amerika Serikat ingin menutup dirinya dari orang luar, bila perlu dengan membangun tembok raksasa mengelilingi seluruh perbatasannya, seolah-olah merasa bisa hidup sendirian.
Inggris menarik diri dari Eropa karena merasa ribet harus srawung dengan tetangga-tetangga sesama Uni Eropa. Amerika dan Inggris merasa masih digdaya bisa menghadapi dan menaklukkan dunia sendirian seperti zaman silam. Ini contoh paling kongkret post-power syndrome negara-negara bekas adidaya itu.
Mentalitas selfish mementingkan diri sendiri sekarang banyak berjangkit. Tidak sadar bahwa tidak ada yang bisa selamat tanpa bekerja sama. Lembaga internasional PBB harus menjadi organisasi yang kuat dan efektif sehingga bisa memaksa negara-negara anggotanya untuk bekerja sama mengatasi problem dunia mulai dari kemiskinan, kesenjangan sosial, perang, kerusakan lingkungan, dan penyakit seperti Corona sekarang ini.
Alih-alih membuat PBB kuat dan efektif, Amerika malah secara sengaja melemahkan PBB dan menyetirnya untuk kepentingan sendiri.
Amerika dan Inggris adalah dinosaurus yang terancam punah. Bukan karena lemah tapi karena gagal beradaptasi dengan lingkungan baru. Mereka merasa digdaya dan punya hak mengatur dunia karena mereka pemenang perang dunia 70 tahun yang lalu. Dunia sudah jauh berubah tapi mentalitas dan tatanan dunia masih tak berubah.
Virus kecil ini menjadikan dunia tunggang-langgang karena terbukti mereka lemah. Tak ada lagi gunanya menutup diri dan mengisolasi lantas berharap pagebluk bisa dihindari.
Xin Jipin Cina yang menepuk dada karena kekuatan ekonominya tanpa tanding sekarang bertekuk lutut oleh virus kecil itu. Korea—yang sekali lagi menjadi lambang keajaiban dunia dan menjadi peradaban baru yang unggul—juga pontang-panting terserang si virus kecil. Amerika yang terpisah oleh Samudera Atlantik pun sudah diserbu oleh Corona.
Virus Corona Tentara Allah
Tidak da yang merasa kebal dan selamat sendiri. Iran yang tak ada kesamaan geografis dengan Cina pun panik. Arab Saudi pun harus menutup dirinya dan melarang orang melaksanakan umrah. Beberapa bulan ke depan Saudi akan diuji dengan datangnya musim haji di mana empat juta manusia dari semua penjuru dunia akan melaksanakan ritual haji.
Ustad Abdul Somad menyebut virus ini sebagai tentara tuhan, jundullah, yang analoginya mirip dengan pasukan Ababil yang menjatuhkan misil batu neraka yang menghancurkan tentara Abrohah yang hendak menghancurkan Makkah.
Tentu saja sekarang Ustad Somad harus menjelaskan kepada umat mengapa penguasa Arab Saudi menutup negaranya justru ketika tentara Allah datang menggelombang. Harus dijelaskan Virus Corona Ababil atau Abrahah yang hendak menghancurkan Makkah.
Perspektif Islam sudah sangat jelas dalam melihat persoalan bencana. Siapapun akan terkena akibatnya tanpa pandang bulu (al-Anfal ayat 25). Bencana tidak hanya akan menyerang orang kafir atau orang zalim saja, semua orang berpotensi menjadi korbannya. Karena itu sikap isolasionis-eksklusif merasa aman dari bencana tidak sesuai dengan perspektif Islam.
Corona adalah pagebluk global, siapa saja berpotensi terserang dampaknya, baik dampak langsung maupun dampak ekonominya. Resesi global adalah dampak potensial dari pagebluk ini, semua negara akan merasakan akibatnya termasuk Saudi yang menutup diri dari umrah dan mungkin haji.
Tidak ada yang bisa selamat sendirian dari pagebluk global ini. Seperti bunyi iklan rokok “Masalah Loe, Masalah Gue Juga” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.