Pengalaman jadi editor intrenal di lingkungan sekolah Muhammadiyah GKB yang diceritakan kontributor Ichwan Arif ini seperti merawat tanaman agar tetap hijau, terus tumbuh dan berkembang.
PWMU.CO – Menulis itu mudah. Kalimat ini selalu saya sampaikan pada teman-teman ketika belajar menulis berita. Mendengar ungkapan itu, ada teman menceletuk, “Itu Sampeyan. Ibarat daun, kami ini masih hijau dalam menulis.”
Mendengar ucapan itu, saya pun membalasnya dengan bijak, “Kalau masih hijau itu tandanya tumbuh berkembang. Tetapi jika sudah merasa matang, kita penanda mau membusuk.”
Memang, selain dipelajari, menulis juga perlu dirawat. Diberi nutrisi hingga pertumbuhan ke dalam lebih kuat layaknya bambu. Ketika dihadapkan keadaan real, dia lebih siap, kuat, dan tegar. Bukan sebaliknya, banyak mengeluh, cengeng, apalagi baper-an.
Ibaratnya, dalam diri kita itu ada dua singa sedang berkelahi. Gigi-gigi mereka runcing dan tajam. Keduanya sibuk mencakar dan mengaum, seperti saling ingin menerkam. Singa mana yang menang? Yang menang adalah singa yang sering kita beri makan.
Dalam diri seseorang terdapat dua ‘singa’ saling bersaing. Keduanya berusaha menjadi pemimpin bagi yang lainnya. Siapa pemenangnya? Hanya kita yang tahu. Singa yang sering kita beri makna (optimis, pantang menyerah, ikhlas, kreatif), maka dialah pemenangnya. Rawatlah, biar singa itu gagah dan lincah.
Ya, cara merawat menulis adalah dengan menulis. Ketika saya memberikan workshop internal di sekolah, ujaran ini kadangkala ditanggapi kurang serius. Dalam pikiran teman-teman, bahwa menulis itu memiliki rumus seperti halnya ilmu hitung, yang jelimet. Untuk ‘membalik’ pemikiran tersebut, saya pun membuat ‘workshop’ menulis dengan latihan langsung menulis berita.
Pengalaman Jadi Editor Internal GKB
Empat sekolah di Majelis Dikdasmen GKB memiliki puluhan kontributor PWMU.CO. Setiap ada kegiatan internal sekolah maupun majelis, kami selalu membagi tugas peliputan. Saya selalu membagi rata. Semua kebagian dan merasakan membuat berita.
Maka, semua penulis pun men-share draf tulisan ke WA saya sebelum dikirim ke redaksi PWMU.CO. Karena ada sebagian teman takut diedit redaktur, maka saya pun memosisikan sebagai redaktur dadakan.
Satu dua kali tulisan teman, saya edit dengan revisi, selanjutnya saya kirim balik. Pada event berikutnya juga demikian. Langsung meliput berita, mengirim naskah, saya edit plus beri revisi. Pelatihan ini selalu saya berikan pada teman untuk memahami bahwa belajar menulis itu proses yang harus dirawat dengan utun.
Tapi, namanya juga editor, pastilah menemukan rasa jengkel. Melihat banyak kata, ejaan, atau kalimat tidak efektif secara kaidah bahasa, tidak bisa bedakan imbuhan di- dengan kata depan di, terus diulang-ulang. Meskipun telah diberi materi secara online melalui naskah revisi, kesalahan masih saja ada.
Ya, inilah sebuah proses kreatif untuk belajar menulis. Sekarang, teman-teman kontributor sudah ‘mengabaikan’ saya. Kemahiran menulis mereka sudah matang. Kemahiran mereka proses menghijau, terus tumbuh dan berkembang.
Sekarang, tugas saya sedikit ringan, hanya membuat jadwal peliputan. Mengecek di grup kontributor PWMU.CO, sudah rilis atau belum. Kalau sudah, tinggal di-share di grup WA sebelah.
Belajar dari elang, bahwa hadiah terbesar yang dapat diberikan induk pada anaknya bukanlah serpihan makanan. Bukan pula, eraman hangat di malam dingin. Namun, ketika mereka melempar anaknya dari tebing tinggi.
Detik pertama, anak elang itu menganggap induk mereka sungguh keterlaluan. Menjerit ketakutan, matilah aku! Sesaat kemudian, bukan kematian yang diterima, namun kesejatian diri sebagai elang, yaitu terbang.
Belajar menulis berita, harus siap ‘dilempar’ dan berani menulis. Itu sejatinya seorang jurnalis. (*)
Penulis Ichwan Arif, Guru SMP Muhamamdiyah 12 GKB Gresik. Editor Mohammad Nurfatoni.