Wabah di masa Khalifah Umar bin Khaththab pernah terjadi di saat penaklukan negeri Syam. Beginlah cara Umar dan para sahabat menyikapi dan bertindak atas wabah ini.
PWMU.CO-Wabah penyakit pernah terjadi di masa pemerintah Khalifah Umar bin Khaththab ra. Wabah terjadi pada masa akhir penaklukan Negeri Syam yang dipimpin Panglima Amir bin Abdullah bin Jahrah yang populer dipanggil Abu Ubaidah.
Melihat keberhasilan pasukannya, Khalifah Umar membawa rombongan besar pergi ke Negeri Syam mengunjungi daerah yang sebelumnya dikuasai Rumawi itu. Tiba di daerah Syaragh, menjelang masuk negeri Syam rombongan khalifah berisitirahat membuka tenda.
Panglima sekaligus merangkap Gubernur syam Abu Ubaidah ditemani pembesarnya datang menemui Khalifah Umar. Mereka menerangkan wabah penyakit sedang terjadi di Syam.
Pusat wabah awalnya di desa bernama Amawas tapi kemudian menyebar ke daerah lainnya. Maka di masa itu dikenal sebagai Thaun Amawas atau wabah Amawas. Ada yang menyebut wabah itu penyakit pes. Lainnya mengatakan wabah kolera, sebagian lagi penyakit borok bernanah.
Desa ini terletak antara kota Ramallah dengan Baitul Maqdis. Akibat wabah itu sudah menewaskan ribuan penduduk, termasuk ada di antaranya para sahabat Rasulullah saw.
Khalifah Umar Minta Pendapat Sahabat
Mendapat laporan wabah ini Khalifah Umar meminta pendapat para sahabat apakah terus memasuki Syam atau pulang. Riwayat dari Abdullah bin Abbas menceritakan, Khalifah Umar meminta dipanggilkan para senior muhajirin di antara rombongan untuk dimintai pendapatnya.
Ternyata ada perbedaan pendapat. Sebagian sahabat muhajirin ngotot meneruskan perjalanan sesuai tujuan. ”Anda telah keluar untuk suatu urusan penting, karena itu kami berpendapat, tidak selayaknya pulang begitu saja.”
Tapi sahabat muhajirin lainnya berpendapat terlalu berisiko masuk ke daerah wabah. ”Anda datang membawa rombongan besar di antaranya para sahabat Rasulullah saw. Kami tidak sependapat jika Anda menghadapkan mereka kepada wabah penyakit ini.”
Kemudian Khalifah Umar meminta Abdullah bin Abbas memanggilkan senior kaum anshor yang ikut rombongan. Ternyata juga terjadi dua pendapat seperti tadi. Giliran berikutnya diminta pemimpin-pemimpin Quraisy yang Islam sebelum penaklukan Makkah.
Mereka menyarankan, sebaiknya balik pulang bersama rombongan jangan menghadapkan bahaya wabah ini kepada mereka. Setelah mendengar semua masukan Khalifah Umar memutuskan kepada rombongannya, ”Besok pagi-pagi kita kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian!”
Abu Ubaidah Tanyakan Keputusan Umar
Mendengar keputusan itu Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah ada rasa kecewa karena batal kunjungan ke wilayahnya. Lalu dia bertanya, ”Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?”
Umar balik bertanya, ”Mengapa kamu bertanya demikian, Abu Ubaidah? Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah.”
Kemudian Umar berkata, bagaimana pendapatmu, seandainya kamu mempunyai seekor unta, lalu kamu turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukanlah jika kamu menggembalakannya di tempat yang subur, kamu menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika kamu menggembala di tempat tandus kamu menggembala dengan takdir Allah juga?
Dalam situasi ketegangan itu sahabat Abdurrahman bin Auf datang. Lalu dia menuturkan, ”Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah mengatakan, jika kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Kalau wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.”
Mendengar perkataan Abdurrahman bin Auf, Khalifah Umar langsung berucap syukur karena makin menguatkan keputusannya untuk balik pulang ke Madinah.
Abu Ubaidah Diminta Pulang oleh Khalifah Umar
Usai kunjungan yang batal itu Abu Ubaidah kembali menjalankan tugasnya mengurusi negeri Syam dan mengupayakan menghentikan wabah. Dia berkata kepada rakyat,”Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi kalian, juga membawa kematian orang-orang saleh sebelum kalian.”
Sepulang dari Syam Khalifah Umar memikirkan keselamatan Abu Ubaidah, sahabat yang disayangi dan dipuji Rasulullah itu. Maka dia mengirim utusan kepada Abu Ubaidah membawa surat perintahnya.
”Wahai Abu Ubaidah, aku sangat membutuhkanmu. Bila kamu menerima surat ini di malam hari, kusarankan engkau berangkat sebelum fajar. Bila kamu menerimanya di siang hari, berangkatlah sebelum matahari terbenam dan cepatlah kembali kepadaku.”
Usai membaca surat itu Abu Ubaidah berkata, ”Aku tahu Amirul Mukminin memerlukanku. Ia ingin menyelamatkan nyawa seseorang, yang bagaimana pun tak akan abadi.” Lantas dia menulis surat balasan kepada Khalifah Umar.
”Wahai Umar, aku tahu engkau membutuhkanku. Namun aku berada di antara pasukan kaum muslim dan tidak ada keinginanku untuk menyelamatkan diri dan meninggalkan mereka di sini. Aku tidak ingin berpisah dengan mereka hingga Tuhan memutuskan yang lain. Maka saat engkau menerima surat ini, mohon bebaskan aku dari perintahmu dan izinkan aku untuk tinggal bersama pasukanku.”
Khalifah Umar Menangis
Saat surat balasan itu diterima Umar dan dibaca langsung air matanya meleleh hingga orang-orang di dekatnya bertanya. ”Apakah Abu Ubaidah telah meninggal, wahai Amirul Mukminin?”
”Tidak,” jawab Umar. ”Tapi kematian tengah datang mendekatinya.”
Memang Gubernur Abu Ubaidah akhirnya tertular penyakit ini. Dalam kondisi sakit parah Abu Ubaidah menyampaikan wasiat kepada pasukannya.
”Dirikanlah shalat, berpuasa di bulan Ramadhan, keluarkan sedekah, laksanakanlah haji dan umrah. Tetaplah bersatu dan saling mendukung satu sama lain. Jujurlah kepada pimpinanmu dan jangan menyembunyikan apapun dari mereka. Jangan sampai dunia dan segala isinya menghancurkanmu dari jalan Allah karena kalaupun seseorang hidup seribu tahun lamanya, ia akan tetap menjelang kematian seperti yang tengah engkau saksikan terjadi kepadaku saat ini.”
Abu Ubaidah lalu menyerahkan kekuasaan kepada Mu’adz bin Jabal dengan pesan, ”Wahai Mu’adz, pimpinlah kami dalam shalat.” Dalam shalat itu, Abu Ubaidah wafat dalam usia 58 tahun. Itu terjadi tahun 18 Hijriyah atau 640 Masehi.
Lalu Mu’adz bin Jabal ra menggantikan menjadi panglima dan gubernur. Keluarga Mu’adz juga tertular penyakit ini. Pertama putranya, Abdurrahman, yang akhirnya meninggal. Tak lama setelah itu Mu’adz sendiri terjangkit. Di masa akhir hayatnya dia berkata, ”Dengan ini, aku tidak mencintai sedikitpun bagianku di dunia.” Setelah itu Mu’adz meninggal juga.
Wabah ini juga menyebabkan meninggalnya beberapa tokoh penting di antara pasukan kaum muslim di Syam seperti Suhail bin Amr, Syurahbil bin Hasanah, dan Abu Jandal bin Suhail.
Amru bin Ash Mengatasi Wabah
Kepemimpinan negeri Syam selanjutnya dipegang Amru bin Al-Ash. Dia termasuk pemimpin yang cerdas. Dia melihat wabah ini seperti api yang berkobar. Selama masih ada kayu bakar maka akan terus menyala.
Kemudian dia berkata kepada rakyatnya. “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung.”
Dia memerintahkan karantina orang yang sakit tidak boleh keluar. Orang-orang sehat diminta mengungsi ke gunung agar tak tertular. Kebijakan itu berlaku hingga wabah penyakit ini hilang.
Demikian kisah wabah di masa Khalifah Umar bin Khaththab dan para sahabat yang berbeda-beda menyikapinya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto