Hukum Memakai Masker dalam Shalat kajian ditulis oleh Dr Syamsuddin MA, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Wakil Ketua PWM Jatim.
PWMU.CO – Sejak 5 April 2020, pemerintah menjalankan program “masker untuk semua”. Sesuai dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), semua orang harus menggunakan masker.
Masker bedah dan N95 hanya untuk petugas kesehatan dan masker kain untuk masyarakat luas. Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, hal ini penting untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Menurutnya, kita tidak pernah tahu bahwa di luar sana terdapat orang yang sudah terpapar virus tanpa gejala.
Anjuran pemerintah di atas memunculkan masalah fiqhiyah di tengah umat, yaitu hukum penggunaan masker dalam shalat. Diasumsikan bahwa saat seorang mushalli sujud, ia harus menempelkan dahi dan hidungnya ke tempat sujud secara langsung tanpa penghalang.
Pertanyaan fiqhiyah yang mengemuka adalah: sah ataukah tidak sah shalat seseorang yang dalam sujudnya ia menggunkana masker?
Makna dan Tata Cara Sujud
Sujud adalah aktivitas menundukkan diri dan menghinakan diri di hadapan Allah SWT. Hukumnya wajib berdasar al-Quran, as-sunnah, dan ijma ulama. Di antara ayat al-Quran yang menjadi landasan dalilnya adalah al-Hajj 77.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu dan sujudlah kamu, beribadahlah kepada Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
Adapun tata cara sujud adalah merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW, dari Abdullah bin Abbas RA
حدثنا معلى بن أسد قال حدثنا وهيب عن عبد الله بن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال النبي صلى الله عليه وسلم أمرت أن أسجد على سبعة أعظم على الجبهة وأشار بيده على أنفه واليدين والركبتين وأطراف القدمين ولا نكفت الثياب والشعر
Telah menceritakan kepada kami Mu’alla bin Asad, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Abdullah bin Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas ra, ia berkata:
Nabi SAW bersabda: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud). (Yaitu) kening (beliau berisyarat dengan tangannya menunjuk hidung), kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung-ujung kedua kaki. Dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian (sehingga menghalangi anggota sujud). (Shahih al-Bukhari: 770).
Berdasar hadits ini para ulama menjelaskan sujud adalah satu rukun di antara rukun-rukun shalat yang lainnya. Gerakan sujud adalah menempelkan 7 anggota badan. Yaitu kening beserta hidung, dua tapak tangan, dua lutut, dan dua tapak kaki.
Penggalan kalimat, “Wa asyara biyadihi ‘ala anfih”—beliau berisyarat dengan tangan menunjuk hidungnya—memberi arti bahwa kening dan hidung adalah satu kesatuan. Karena jika masing-masing berdiri sendiri maka anggota sujud ada delapan.
Kening beserta hidung menempel secara langsung pada tempat sujud, tidak terhalangi oleh rambut dan kain yang dipakainya.
Berdasarkan penjelasan ini jumhur ulama berpendapat meratakan dahi dan hidung tanpa penghalang dalam sujud adalah kewajiban. (Taudhih al-Ahkam, II/251).
Sejarah Sujud yang Terhalang
Namun demikian, sejak zaman salaf hingga khalaf, tidak dipungkiri adanya fakta bahwa umat pernah sujud dengan terhalang oleh kain gamis atau sorban yang dikenakannya.
Al-Baihaqi dan al-Bukhari meriwayatkan:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أنبأ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ النَّضْرِ، ثنا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، ثنا زَائِدَةُ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”يَسْجُدُونَ وَأَيْدِيهِمْ فِي ثِيَابِهِمْ، وَيَسْجُدُ الرَّجُلُ مِنْهُمْ عَلَى عِمَامَتِهِ”
Telah menceritakan kepada kami Abdillah al-Hafidz, telah menceritakan Abu Bakar bin Ishaq al-Faqih. Telah menceritakan Muhammad bin Ahmad bin an-Nadlar, telah menceritakan Muawiyah bin Amr, telah menceritakan Zaidah, dari Hisyam dari al-Hasan.
Ia berkata: “Sahabat-sahabat Rasulullah SAW, pernah sujud, sementara tangan mereka (terbungkus) baju mereka. Ada juga di antara mereka yang sujud pada sorban mereka, (Sunan al-Kubra: 2667).
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ قَالَ حَدَّثَنِي غَالِبٌ الْقَطَّانُ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ أَحَدُنَا طَرَفَ الثَّوْبِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ فِي مَكَانِ السُّجُودِ
Telah menceritakan kepada kami Abul Walid Hisyam bin Abd al-Malik. Ia berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin al-Mufadhdhal. Ia berkata telah menceritakan kepada kami Ghalib al-Qattan, dari Bakar bin Abdillah, dari Anas bin Malik.
Ia berkata: “Kami pernah shalat bersama Nabi SAW. Kemudian salah seorang dari kami meletakkan ujung bajunya di tanah tempat sujud karena (keadaan) sangat panas, (Shahih al-Bukhari: 389).
Penjelasan Hadits Sujud Terhalang
Terkait hadits yang pertama, al-Baihaqi menjelaskan, besar kemungkinan yang dimaksudkan dengan baju dalam hadits ini adalah bagian dari baju yang bisa dipisahkan.
Sementara yang dimaksud dengan sorban, dalam hal ini adalah meratakan dahi bersama sorbannya. Berdasarkan analisis lughawi kata tangan disebut secara mutlak. Padahal yang dimaksudkan adalah sebagiannya saja yaitu telapak tangan.
Demikianlah anggota sujud yang lainnya, semisal dahi, tidak harus keseluruhannya yang menempel ke tanah, tapi dianggap cukup walaupun sebagian saja.
Terkait hadits kedua, kesaksian Anas bin Malik di atas memberi pengertian, dalam keadaan tertentu diperbolehkan sujud dengan menyimpan tangan di dalam lengan bajunya, atau melindungi dahi dengan kain sorbannya.
Namun yang demikian ini hukumnya makruh jika dilakukan tanpa udzur. Abdurrahman bin Sa’diy mengatakan, jika kain penghalang itu terpisah dari tubuhnya semacam saputangan maka tidak ada masalah.
Namun jika menyatu dengan badan semacam ujung sorban atau lengan baju maka tidak boleh, kecuali ada alasan syar’i, seperti tempat sujud panas atau pada tempat sujud ada duri, (Taudhih al-Ahkam, II/252).
Pendapat Imam selain Syafi’i
Abdurrahman bin Muhammad ‘Audh al-Jaziri, mengatakan:
ولا يضر أن يضع جبهته على شيئ ملبوس أو محمول له يتحرك بحركته، وإن كان مكروها باتفاق ثلاثة من الأئمة، وخالف الشافعية قالوا يشترط فى السجود عدم وضع الجبهة على ما ذكر، وإلا بطلت صلاته إلا إذا طال بحيث لا يتحرك بحركته، كما لا يضر السجود على المنديل فى يده لأنه فى حكم المنفصل.
“Tidak mengapa meletakkan dahi di atas sesuatu yang dipakai atau dibawa, yang bergerak dengan gerakan orang yang shalat, walaupun hal tersebut makruh menurut tiga mazhab, (Hanafi, Maliki dan Hanbali).
Berbeda dengan golongan Syafi’iyyah, mereka berpendapat disyaratkan dalam sujud tidak meletakkan dahi di atas hal-hal tersebut, jika dilakukan maka batal shalatnya.
Kecuali jika sesuatu itu panjang yang tidak bergerak mengikuti gerakanya mushalli. Seperti tidak batalnya shalat orang yang sujud di atas saputangan, karena ia terpisah dari orang yang shalat” (al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, I/ 219).
Dalam hal ini Imam an-Nawawi mengatakan:
وإن سجد على جبهته دون أنفه كرهت ذلك له وأجزأه
“Dan jika seseorang sujud atas dahinya tanpa menyertakan hidungnya, maka yang demikian itu makruh baginya, akan tetapi shalatnya, sah.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, III/427).
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum orang yang shalat dengan mengenakan masker, adalah sebagai berikut:
- Jika seseorang shalat dengan mengenakan masker tanpa ada udzur syar’iy. Maka hukumnya makruh dan shalatnya sah.
- Jika seseorang shalat dengan mengenakan masker karena ada udzur syar’iy. Misalnya untuk antisipasi diri agar terhindar dari paparan wabah Covid-19 seperti saat sekarang ini. Maka hukumnya mubah, dan tentu saja shalatnya sah. Wallahu a’lam.
Kajian Hukum Memakai Masker dalam Shalat ini semoga bermanfaat! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.