Hak Allah atas Hamba-Nya, ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Hak Allah atas Hamba-Nya ini berangkat dari hadits riwayat Bukhari Muslim.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ – رضي الله عنه – قَالَ: كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ. فَقَالَ: يَا مُعَاذُ! أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللّهِ عَلَى الْعِبَادِ وما حقُّ العبادِ عَلَى الله, قُلْتُ: الله وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللّهِ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً. وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ! أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ, قَالَ: «لاَ تُبَشِّرْهُمْ. فَيَتَّكِلُوا. رواه البخارى و مسلم
“Dari sahabat Mu’adz bin Jabal berkata, aku dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di atas keledai namanya ‘ufair, maka Rasulullah bertanya:
‘Wahai Mu’adz! Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?’
Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’
Rasulullah bersabda: ‘Hak Allah yang harus dipenuhi hamba-Nya adalah hendaknnya mereka meyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Sedangkan hak hamba dari Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksanya bagi siapa yang tidak menyekutukannya.’
Aku berkata: ‘Apakah boleh aku kabarkan kepada orang lain (hal ini)’?
Rasulullah bersabda: ‘Jangan kau kabarkan hal ini kepada mereka, karena mereka akan menggantungkan dengan hal ini saja.'”
Penjelasan Hadits
Mu’adz bin Jabal adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Beliau termasuk dari golongan Anshar yang datang dari Madinah untuk berbaiat kepada Rasulullah pada Baiah Aqabah kedua, hingga ia termasuk assabiquunal awwalun.
Padahal waktu itu usia Mu’adz menginjak 18 tahun. Usia yang relatif masih muda untuk mengambil keputusan besar: berpihak pada kebenaran dan meninggalkan budaya dan ajaran nenek-moyangnya.
Pada suatu kesempatan Mu’adz diboncengkan (radiif) oleh Rasulullah di atas keledai. Dan pada saat itulah Rasulullah mengajarkan sesuatu yang sangat penting kepadanya.
Rasulullah bertanya: “Wahai Muadz tahukah kamu apakah hak Allah yang harus ditunaikan oleh hambaNya, dan tahukah kamu hak seorang hamba yang pasti akan dipenuhi oleh Allah?”
Muadz menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”
Kemudian Rasulullah bersabda sebagaimana hadits di atas.
Hak Manusia
Haq dalam hadits di atas dalam bahasa kita sering disebut hak. Di mana memberikan sesuatu tentu sesuai haknya, u’thiya kullu dzii haqqin haqqahu yakni memberikan setiap yang memiliki hak atas haknya tersebut.
Dalam hal ini bukan semata kita menuntut hak, apalagi sesuatu yang bukan hak kita. Ketika terjadi kesalahan berpikir seperti ini, maka yang terjadi adalah banyaknya praktik-praktik yang menyalahgunakan wewenang dan kesempatan untuk memperoleh di luar haknya tersebut.
Banyaknya praktik korupsi dan manipulasi termasuk mark up anggaran baik di instansi swasta maupun negeri, merupakan bukti adanya kesalahan berpikir yang demikian, yakni lebih berpikir tentang hak-hak yang kita inginkan.
Halal dan haram menjadi semakin tidak jelas, walaupun sesunguhnya dalam Islam telah jelas dan terang benderang. Padahal jika kita mengambil atau mendapatkan yang di luar hak kita itu, jelas hal itu merupakan bentuk pencurian yang istilah sekarang adalah korupsi.
Solusi dari semua itu adalah jika kita tidak lagi berpikir tentang hak kita masing-masing, tetapi justru yang harus kita kedepankan adalah adanya hak orang lain atas diri kita.
Adakah hak orang lain atas diri kita yang harus kita tunaikan dan kita berikan haknya tersebut? Coba kita perhatikan sekitar kita, adakah yang harus kita berikan haknya? Karena jika kita tidak menunaikan hak orang lain atas diri kita maka berarti kita telah berbuat zalim kepada orang tersebut. Dan kedhaliman merupakan sumber ketidak harmonisan dalam kehidupan suatu komunitas.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisaa’ 58).
Dalam ayat ini jelas sekali, memberikan sesuai haknya dan berbuat adil merupakan hal saling mengkait. Sehingga dalam hal ini pula keadilan merupakan kunci utama. Adil terhadap siapa saja termasuk kepada diri sendiri.
Tunaikan Amanah
Sebagaimana sebuah ungkapan: inna ‘alaika haqqun ‘ala nafsika wa inna ‘alaa nafsika haqqun ‘alaika, sungguh padamu ada hak atas dirimu, demikian pula sungguh pada dirimu ada hak atasmu. Diri kita berhak menggunakan mata kita untuk selalu melihat, tetapi mata kita juga punya hak atas diri kita yaitu dengan istirahat, terpejam atau tidur. Maka masing-masing diri kita haruslah senatiasa berfikir apa hak orang lain yang harus kita ditunaikan oleh diri kita.
Sehingga kegiatan kita selalu berorientasi pada pemenuhan hak-hak orang lain atas diri kita tersebut. Di sinilah nilai profesionalisme itu, masing-masing kita bersungguh-sungguh dalam memberikan yang terbaik kepada orang lain tanpa berfikir terhadap hak-hak pribadi kita.
Karena tiada lain hidup ini kita sedang menjalankan amanah. Amanah kehidupan ini tiada lain adalah menunaikan hak atas yang berhak. Jika semua orang berorientasi yang sama, maka tentu Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap apa yang dilakukan oleh hamba-Nya itu. Dan secara pasti dikemudian hari kita akan mendapatkan sesuatu karunia yang lebih dari apa yang kita bayangkan yaitu keberkahan.
Dan sebaliknya, jika kita tidak menunaikan hak orang lain secara benar alias Zalim. Maka kedhaliman pasti menimbulkan bencana, bencana bagi diri kita khususnya tapi juga berakibat membawa bencana bagi yang lainnya.
وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةٗ لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةٗۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (al-Anfal 25)
Hak Allah
Haqqullah ‘alal ‘ibaad merupakan hak-hak Allah yang harus ditunaikan oleh seorang hamba. Al ‘abdu yang jamaknya adalah al ‘ibaad didefinisikan man yusayyiruhu au yatasallathu ‘alaihi fii a’maalihi I’tibaru amrin maa, siapa saja yang (menyerahakan untuk) memenejnya atau memberikan otoritas atasnya terhadap semua aktivitasnya dalam rangka menjalankan apa yang diperintahkan.
Seorang hamba sudah seharusnya memiliki loyalitas dan dedikasi kepada tuannya. Karena menjadi hamba berarti menyerahkan hak dirinya atas tuannya tersebut. Tentu dalam hal ini tuannya bukanlah sembarang tuan, tetapi tuan yang benar-benar memiliki kearifan dan selalu menegakkan keadilan, jauh dari sikap kedlaliman dan subjektifitas pribadi.
Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, telah mencurahkan kasih sayangNya yang begitu besar tanpa batas kepada umat manusia. Semua fasilitas dan sarana kehidupan telah disediakan sedemikian rupa.
Tinggal bagaimana kita memerankan diri kita selaku khalifah atau wakilnya di muka bumi ini untuk mengatur atau memenejnya. Sekaligus Allah SWT telah menurunkan konsepsi-Nya untuk kemudian diharapkan dijadikan menjadi sistem nilai bagi kehidupan manusia. Konsepsi tersebut juga dalam rangka kasih sayang-Nya tersebut agar manusia dapat selamat dan sejahtera dalam kehidupannya.
Dengan demikian tuan yang benar-benar dapat dijadikan tuan hanyalah Allah SWT. Kasih sayang-Nya begitu melimpah tanpa batas, petunjuk-Nya begitu jelas dan gamblang, tidak ada yang membingungkan sedikit pun, kecuali hanya mereka yang bingung dan linglung oleh kebodohannya sendiri yang dipelihara.
Maka tentu menyandarkan diri kepada Allah merupakan pilihan atas kesadaran diri yang haq. Menjadikan Allah satu-satunya tanpa kecuali untuk kita taat dan mengabdi.
Merupakan suatu kebodohan yang sangat jelas jika manusia tidak mentaati Allah secara sempurna. Karena tiada sedikit dan secuilpun sesungguhnya yang ada ini milik kita, semuanya adalah milik Allah SWT.
Dan tidak akan mungkin dan tidak akan sanggup manusia berusaha merebut kepemilikan-Nya tersebut untuk kemudian dimiliki oleh dirinya. Hanya merupakan bentuk kesombongan yang memalukan dan menggelikan jika demikian.
Maka memupuk rasa malu kepada Allah merupakan hal yang sangat arif dan bijaksana dan menyelamatkan diri kita.
Ketaatan dan pengabdian kita secara mutlak kepada Allah merupakan haq yang harus ditunaikan. Allah SWT sudah sedemikian baik kepada kita, maka sudah sepantasnya kita menunaikan hak Allah tersebut. Dan hal ini merupakan satu-satunya pilihan bagi kita, tidak ada yang lain. Sekuat dan sehebatnya diri kita tidak akan bisa keluar dari kekuasaan Allah SWT. Seluruh kehidupan ini adalah dalam ruang lingkup kekuasaan Allah SWT.
Perlu dan sangat penting kita perhatikan, bahwa Allah sangat tidak suka jika disekutukan dengan sesuatu. Dalam kita menjalankan ketaatan dan pengabdian kepada-Nya sangat dilarang kita menyekutukanNya dengan sesuatupun. Karena memang tidak ada yang pantas untuk menjadi sekutuNya atau dijadikan sekutu bagiNya. Sehingga ketika seorang hamba menyekutukan kepada Allah, Allah tidak berkenan mengampuninya.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisa 116)
Demikian pula dengan ketaatan dan pengabdian, jika mengandung unsur-unsur yang menyekutukan Dia dengan sesuatu, maka Allah tidak akan menerima amal ketaatan dan pengabdian kita tersebut.
Walaupun hal tersebut dilakukan dengan susah payah dan dengan modal dan resiko yang sangat besar, jika ada unsur mempersekutukan denganNya maka tidak akan diterima alias sia-sia.
وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.'” (az-Zumar 65).
Editor Mohammad Nurfatoni