PWMU.CO – Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemik Covid-19.
“Kami Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK), yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat madani Indonesia yang cinta kedaulatan, dengan ini menyatakan menolak Perppu No. 1 Tahun 2020 karena potensial meruntuhkan kedaulatan negara,” ujar Warwan Batubara yang membacakan pernyataan KMPK dalam konferensi pers daring melalui Zoom, Senin (11/5/2020) malam.
Ada empat alasan yang dikemukakan oleh KMPK untuk menolak Perppu itu. Pertama, Perppu tersebut melanggar sejumlah pasal UUD 1945 seperti pasal 1, pasal 23 E, pasal 27 (1), atau pasal 28 D (1).
Kedua, berpotensi terjadinya abuse of power oleh eksekutif karena dibatalkannya sejumlah ketentuan dalam 12 undang-undang (UU) yang berlaku.
Ketiga, berpotensi terjadinya moral hazard karena diberinya status kebal hukum dan pembatalan ketentuan dalam 12 UU yang berlaku terhadap KKSK.
Keempat, dieliminasinya peran budgeting/APBN dan pengawasan DPR, serta peran penilaian dan pengawasan keuangan BPK.
Dengan alasan itu KMPK mendesak kepada DPR RI untuk menolak Perppu yang secara nyata menegasikan keberadaan DPR RI sendiri. “Jika DPR RI menerima Perppu tersebut, maka DPR RI telah mematikan dirinya sendiri,” ucap Marwan Batubara.
KMPK juga mengajak segenap penyelenggara negara dan seluruh bangsa untuk memokuskan segala perhatian dan upaya untuk menanggaulangi Covid-19 dalam rangka menyelamatkan dan melindungi segenap rakyat Indonesia.
KMPK diprakarsai oleh tokoh-tokoh seperti Prof Din Syamsuddin (Pengarah), Dr Marwan Batubara (Ketua) Prof Syaiful Bakhri (Ketua Tim Hukum) Dr Ahmad Yani (Anggota Tim Hukum). Ada pula Prof Sri Edi Swasono, Prof M Amien Rais, M Hatta Taliwang, MS Kaban, Abdullah Hemahahua, KH Agus Solachul Alam (Gus Aam), Ahmad Redi, Adhie M. Massardi, Indra Wardhana, Darmayanto, Roosalina Berlian, dan sejumlah tokoh dan aktivis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia..
Upaya KMPK yang melakukan judicial review Perppu tersebut juga didukung sejumlah ormas Islam. Seperti Hidayatullah, DDII, LDII, dan sebagainya. Sejumlah BEM perguruan tinggi dan tokoh-tokoh nasional juga ikut mendukung.
Perppu Tak Memenuhi Kedaruratan
Dalam penjelasannya Syaiful Bakhri mengatakan Perppu No 1 Tahun 2020 belum memenuhi kedaruratan sebagaimana persyaratan diterbitkanya perppu oleh pemerintah.
Dalam penanganan wabah Covid-19 masih ada Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur karatina pusat dan wilayah. “Konsekuensinya (dalam karantina itu) masyarakat diberi bantuan pangan dan energi,” ujarnya.
Tapi UU itu, kata Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta ini, dikesampingkan pemerintah karena tidak punya anggaran untuk membiayai masyarakat. Pemerintah lalu menggantinya dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Menurut Syaiful Bakhri, yang akan diselamatkan oleh Perppu tersebut bukan masyarakat tetapi keuangan negara yang sebenarnya sudah mengalami masalah sebelum pandemi Covid-19.
Persoalan lainnya, Perppu ini juga dinilai meniadakan peran DPR dalam memberikan persetujuan anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang diusulkan pemerintah.
Sebab dalam pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menihilkan arti penting persetujuan DPR. Padahal persetujuan DPR menjadi hal yang sangat penting dalam sebuah penganggaran, karena mencerminkan kedaulatan rakyat.
Syaiful Bakhri juga mengatakan, Perppu yang dikeluarkan pemerintah pada 31 Maret 2020 dianggap memberi imunitas hukum pada penyelenggara negara seperti tercantum dalam pasal 27 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis bukan kerugian negara, pejabat pemerintah terkait pelaksanaan Perppu tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan iktikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara.
“(Dengan pasal itu) Presiden memberi penyelenggara negara imunitas, kekebalan hukum,” kata Syaiful Bakhri.
Bukan Menghambat Penanganan Covid-19
Din Syamsuddin menegaskan, gugatan terhadap Perpu No 1/2020 ini bukan untuk menghambat penanganan Covid-19.
Menurutnya selama ini berbagai elemen masyarakat—termasuk dirinya yang memimpin tiga gugus tugas nasional Covid-19—sedang bergerak menanggulangi dampak pandemi Covid-19.
“Justru kita terganggu dengan Perppu ini,” ujarnya. Sebab, sambungnya, Perppu yang seolah-olah dimaksudkan untuk menangani krisis ini sebenarnya tidak fokus pada Covid-19.
Menurut dia, Perppu ini hanya untuk menjaga stabilitas keuangan negara serta menyelamatkan perbankan dan konglomerat. “Rakyat tak mendapat dampak langsung,” ujarnya. Karena itu jika Perppu ini dibatalkan oleh DPR, penanganan Covid-19 tak akan terganggu.
Syaiful Bakhri menambahkan, pihaknya optimis judicial review Perppu No 1/2020 yang telah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi 15 April 2020 akan menang. “Karena hakim MK itu adalah para negarawan,” ujarnya.
Din Syamsuddin juga yakin dan optimis. Meski demikian, seandanyai gugatan itu kandas, KMPK punya strategi berikutnya. “Kami akan berjuang semaksimal mungkin. Karena tidak ada istilah titik kembali,” ucapnya optimis. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.