Muhammadiyah Selalu Konsisten meski Ada yang Tak Senang artikel opini tulisan Suwidiyanti, mahasiswa Pasca Sarjana Umsida Sidoarjo.
PWMU.CO–Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah terus berkembang dari zaman ke zaman melengkapi landasan organisasi menghadapi tantangan.
Dasar dan misi organisasi yang awalnya sederhana terus berkembang hingga menjadi bentuknya yang sekarang. Proses berpikir di Muhammadiyah sangat dinamis merespon perkembangan kehidupan dengan mengacu pada al-Quran dan Sunnah.
Misal, dalam buku Aku Cinta Muhammadiyah (Rusli, 2019) disebutkan munculnya konsep kepribadian Muhammadiyah berawal dari ceramah KH Faqih Usman berjudul Apa Sih Muhammadiyah Itu. Lalu ditindaklanjuti oleh tim perumus membahas masalah itu di Tanwir. Muktamar ke-35 tahun 1962 disepakati sebagai keputusan tentang Substansi Kepribadian Muhammadiyah.
Contoh lain di tahun 1927 dalam Kongres (Muktamar) Muhammadiyah ke-6 di Pekalongan Jawa Tengah. KH Mas Mansyur sebagai Consul Muhammadiyah Daerah Surabaya mengusulkan kepada peserta untuk membentuk majelis yang membahas masalah-masalah keagamaan.
Usul ini dilatarbelakangi adanya pemahaman yang berbeda mengenai masalah-masalah furu’iyah di kalangan ulama Muhammadiyah sendiri sehingga kuatir terjadi perpecahan antar warga Muhammadiyah.
Dari usulan ini kemudian di tahun 1929 Majelis Tarjih sidang untuk pertama kalinya dan menghasilkan keputusan di antaranya tuntunan Aqaidul Iman juga tuntunan shalat.
Darul Ahdi wa Syahadah
Pemahaman agama dalam Muhammadiyah bersifat menyeluruh baik tekstual dan kontekstual. Ijtihad ulama terdahulu menjadi bahan pertimbangan berbagai persoalan. Muhammadiyah tidak mengacu pada satu madzhab. Pemikiran dan ijtihad berbagai ulama terkemuka juga menjadi referensi.
Terkait kehidupan kebangsaan, Muhammadiyah memilliki rumusan Darul Ahdi wa Syahadah yang dihasilkan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar. Inilah konsep relasi antara Muhammadiyah dan negara.
Darul ahdi artinya negara hasil konsensus nasional. Negara ini berdiri dari kemajemukan bangsa, golongan, daerah, kekuatan politik, sepakat untuk mendirikan Indonesia.
Darul syahada artinya negara tempat mengisi kemerdekaan oleh seluruh elemen bangsa menjadi negara yang maju, makmur, adil dan bermartabat.
Di era sekarang banyak terjadi perubahan secara cepat mengharuskan Muhammadiyah bisa mengimbangi dengan kebijakan yang tepat. Sebagai contoh setiap tahun tentang Ramadhan dan dua Hari Raya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah selalu membuat maklumat.
Menghadapi Wabah Corona
Saat Pemilu juga ada maklumat kebangsaan. Saat ini ketika merebak wabah Corona langsung merespon dengan menerbitkan Maklumat Fatwa Tarjih Beribadah dalam Kondisi Darurat Covid-19. Langkah berikutnya membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) untuk melaksanakan kegiatan sosial membentuk Lumbang Pangan membantu warga terdampak wabah.
Secara konsisten Fatwa Tarjih itu dijalankan dengan menyerukan beribadah di rumah, kegiatan pengajian dan sekolah dilakukan secara virtual. Ketika ada keputusan pemerintah yang melenceng dan ambigu dari keputusan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) langsung disampaikan kritikan.
Konsekuensi dari langkah itu RS Muhammadiyah dan Aisyiyah beserta tenaga medisnya turun menangani sosialisasi hidup bersih dan sehat serta tindakan kuratif perawatan pasien Corona. Semua gerakan serempak mulai dari pusat hingga ke pelosok daerah.
Mendekati 1 Syawal 1441 H dan melihat wabah Covid-19 masih tinggi, Muhammadiyah mengeluarkan seruan shalat Idul Fitri di rumah. Tidak ada shalat berjamaah di lapangan. Tujuannya , menghindari mudarat dari berkerumun yang potensial menularkan virus Corona.
Begitulah Muhammadiyah menyikapi zaman dan konsisten dengan sikapnya meskipun ada orang yang tak senang. Bukan asal beda tapi pemikiran merujuk pada sisi religiusitas dan rasionalitas. Muhammadiyah selalu konsisten meski ada yang tak senang. (*)
Editor Sugeng Purwanto