Ideologi Muhammadiyah dalam Intaian Paham Transnasional tulisan opini oleh Guntur Suprianto, mahasiswa Pasca Sarjana Umsida.
PWMU.CO– Ideologi Muhammadiyah adalah cara pandang dan cita-cita persyarikatan untuk mewujudkan masyarakat Islam sebenar-benarnya. Tahapan mencapai tujuan itu lewat dakwah individu kader membentuk kepribadian muslim yang utuh, yang kemudian diterapkan dalam keluarga, dan masyarakat.
Dalam pergaulan dakwah, ideologi Muhammadiyah juga berbenturan dengan ideologi organisasi lain yang nasional maupun transnasional. Misalnya, kader-kader muda yang tertarik dengan dakwah Salafi, HTI, dan Islam Liberal sehingga memunculkan gesekan dalam internal persyarikatan.
Haedar Nashir menyebutkan, Islam merupakan identitas gerakan Muhammadiyah yang berkarakter reformis-modernis dan berkemajuan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya melalui khittah perjuangan.
Di dalam ideologi tersusun sistem pemikiran, pandangan hidup, teori dan strategi perjuangan untuk mewujudkan cita-cita dalam kehidupan. Khittah perjuangan itu berisi strategi mencapai tujuan.
Strategi perjuangan dakwah non-politik menjadi garis dakwah yang dipedomani oleh pimpinan agar selalu istiqomah dari zaman ke zaman. Strategi perjuangan ini ditetapkan sesuai tantangan zaman mulai Khittah Palembang dalam Muktamar 1956, Khittah Ponorogo 1969, Khittah Ujung Pandang 1971, Khittah Surabaya 1978, dan Khittah Denpasar 2002.
Tantangan Abad Kedua dalam Usianya
Dalam sejarahnya Muhammadiyah tidaklah serta merta menjadi besar yang mempunyai seperangkat dasar gerakan, luas medan dakwahnya, dan banyak amal usaha.
Awal berdiri tahun 1912 tapi mendapatkan badan hukum dari pemerintah kolonial pada tanggal 22 Agustus 1914 dengan izin operasi sebatas Yogyakarta. Tujuh tahun kemudian, September 1921 baru KH Ahmad Dahlan diizinkan mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogya.
Sejak itu organisasi Muhammadiyah makin luas, kadernya makin banyak, amal usaha pendidikan dan sosial mulai berperan mengangkat harkat rakyat.
Kini Muhammadiyah telah berumur 108 tahun. Memasuki abad kedua usianya, amal usaha pendidikan berkembang mulai PAUD hingga perguruan tinggi. Ada panti asuhan, pesantren, lembaga zakat dan infak (Lazismu), rumah sakit, klinik, koperasi, dan bisnis.
Semua kekuatan kader dan amal usaha ini disatukan dalam satu gerak strategi perjuangan yang dirumuskan sesuai tuntutan zamannya. Amal usaha yang dimiliki menjadi penggerak membentuk dimensi sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangunan masyarakat Islam yang dikehendaki.
Misalnya, Khittah Ujung Pandang 1971 menyatakan Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.
Kemudian diperkuat dalam Khittah Denpasar 2002 menyatakan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan dan pemberdayaan masyarakat sebagai control sosial politik.
Kini memasuki abad kedua usianya, Muhammadiyah menghadapi tantangan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat. Perang ideologi makin terbuka yang harus disikapi dengan bijak.
Pimpinan harus mengupayakan setiap kader mengetahui keistimewaan ideologi sendiri untuk diterapkan dalam kehidupan. Ideologi transnasional yang berdatangan bisa dijelaskan sejarahnya, efek positif dan negatifnya untuk memperkaya wawasan kader agar mereka tidak seperti laron yang muncul di musim hujan menyerbu lampu yang terang sesudah itu mati. (*)
Editor Sugeng Purwanto