PWMU.CO – Masuk Juli atau Januari, keselamatan siswa dan guru nomor satu. Hal itu ditekankan Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PAN, Sabtu (23/5/20).
Prof Zainuddin mengaku mempunyai kekhawatiran soal masuk tahun ajaran baru. Ia khawatir setelah terlanjur ditunda ke Januari, namun kondisi pandemi masih tetap. Karena menurutnya, tidak ada yang bisa memastikan kapan Covid-19 berakhir.
Maka ia menyarankan, masuk tahun ajaran baru sekolah tetap berjalan seperti biasa, di bulan Juli. Tentu mau tidak mau, pembelajaran dari rumah menjadi pertimbangan utama.
Prof Zainuddin pun memberikan wacana beberapa skema proses belajar mengajar yang memungkinkan untuk bisa diterapkan. Salah satunya, siswa bisa dibagi dalam kelas tatap muka. Sebagian daring setiap pekannya.
Pentingnya Melihat Perkembangan Kondisi dan Kedisiplinan
Ia menjelaskan, misalnya pada pekan ini setengah dari siswa dalam satu kelas mengikuti pembelajaran secara tatap muka, setengahnya lagi daring. “Pekan berikutnya, yang tadinya belajar secara tatap muka di sekolah, bisa mengikuti secara daring,” ujarnya.
Dengan skema ini, kata dia, penataan ruang kelas bisa dilakukan mengikuti protokol kesehatan. Antarsiswa harus berjarak. Tentu saja skema ini membutuhkan manajemen pembelajaran yang bagus.
Ia menegaskan, skema yang ditawarkan ini tentu harus mempertimbangkan grafik perkembangan kondisi pandemi di Indonesia serta kedisiplinan warga yang masih rendah. Intinya, keselamatan siswa dan guru harus menjadi prioritas.
“Pada intinya dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, proses belajar mengajar harus betul-betul dilakukan secara disiplin dalam menjaga protokol kesehatan,” ujarnya.
Efektivitas Team Teaching dalam Belajar Daring
Prof Zainuddin Maliki juga mengusulkan skema lain, yaitu dibentuk semacam team teaching. Tim ini akan bertugas menyusun model pembelajaran berbasis proyek yang akan diberikan sebagai penugasan kepada siswa. “Proyek itu bisa gabungan dari beberapa mata pelajaran dan dikerjakan di rumah,” ujarnya.
Ia mencontohkan, siswa diberi satu proyek untuk mencari masalah. Misalnya, tugas Biologi. Siswa diminta mencari spesies tertentu di sekitar lingkungannya.
Dari laporan yang dibuat, lanjutnya, bisa dilihat bahasa Indonesia-nya. Guru bahasanya bisa memberikan koreksi. Bisa juga diminta menuangkan dalam bahasa Inggris. Di samping itu bisa juga dilihat dari ilmu relevan lainnya.
“Jadi satu proyek itu dirumuskan sehingga masing-masing guru mata pelajaran yang tergabung dalam team teaching tadi bisa memasukkan paket pembelajarannya ke satu proyek tersebut,” jelasnya.
Inilah yang ia sebut dengan integrated curriculum. “Pembelajarannya tematik. Jadi ada satu tema dipelajari dari beberapa sisi. Itu bisa,” tegasnya.
Project Based bukan Content Based
Prof Zainuddin Maliki mengatakan, di negara lain seperti Australia sudah terbiasa dengan model pembelajaran team teaching. “Jadi pembelajarannya jangan lagi content based learning atau pembelajaran berbasis isi yang diminta kurikulum. Jangan terlalu ke sana. Penuntasan kurikulum sudah tidak mungkin,” paparnya.
Ia menekankan, dari project based learning—bukan content based learning—itu juga bisa digunakan untuk mengevaluasi soft skill siswa. Misalnya, anak-anak diminta mengamati pertumbuhan tanaman kacang hijau di rumahnya, itu kan ada yang berhasil, bisa tapi butuh waktu, atau mungkin gagal.
Dari proses pengerjaan proyek itu, sambungnya, bisa dilihat kesungguhan dan kerapian siswa. Juga bisa dilihat penguasaan teknologi.
“Misalnya apa yang dia lakukan harus direkam, didokumentasikan untuk portofolio, bisa semacam video blog (vlog). Jadi sambil belajar penguasaan teknologi smartphone, misalnya,” tutur dia memberi contoh.
Menurut Prof Zainuddin, semua itu tentu disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak. Untuk siswa kelas besar dapat menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri atau discovery, mencari dan menemukan. “Nah, kalau anak-anak yang kelas I, kelas II, itu mereka bisa lebih banyak bermain,” ujarnya.
Dari bermain, ia meyakini anak-anak itu bisa belajar mengasah emosi, memperkaya imajinasi, menyalurkan rasa ingin tahu, dan seterusnya.
Menurutnya, ini penting untuk perkembangan jiwa anak. Melalui bermain itu mereka bisa diajarkan pola hidup disiplin, pola hidup bersih, dan lain-lain.
Kepribadian dan Soft Skill Anak Penting Dibentuk
Prof Zainuddin Maliki mengatakan, model pembelajaran project based seharusnya sudah dilakukan saat tidak ada Covid-19. Nyatanya, saat tidak ada Corona, guru mengajar hanya untuk mengejar target atau skor UN.
“Yang penting apa yang ada di kurikulum sudah disampaikan, nanti soalnya keluar dari situ, tugas guru adalah mencari bank soal, lalu diajarkan untuk menyelesaikan soal-soal itu saja,” ungkapnya.
Akhirnya, kata Prof Zainuddin, guru tidak sempat membentuk kepribadian, soft skill, rapi, disiplin, dan berpola hidup sehat. “Tidak terbentuk, tidak sempat. Tetapi anak-anak jelas pintar, waktu UN lulus semua,” ujarnya.
Menurutnya, ini waktunya untuk mengubah pola pembelajaran. Covid-19 ini menjadi momentum menggunakan project based learning.
“Makanya harus ada waktu dan harus difasilitasi oleh Kemendikbud, di mana guru-guru belajar menyusun project based laerning, belajar menyusun team teaching, tidak individual lagi,” sarannya.
Melalui team teaching, tambahnya, proyek siswa tidak harus diberikan setiap hari. Wakyu pengerjaan proyek dapat ditentukan dalam sepekan.
“Jika di tengah jalan ada kesulitan, siswa dapat menghubungi guru secara online. Nah diakhir pekan ada latihan, berbentuk portofolio. Begitu gambaran saya dan itu sangat visible,” paparnya.
Oleh karena itu, Prof Zainuddin menyarankan masuk tahun ajaran baru sama seperti sebelumnya, di bulan Juli. “Tetap daring sebagai metode pembelajaran utamanya. Kemudian harus disertai dengan kesiapan tadi dan pendekatannya diubah,” tuturnya.
Ia khawatir jika sudah masuk tahun ajaran baru ditunda, ternyata kondisinya masih sama dengan sekarang. “Tetapi kelihatannya Menteri kan tidak berani memutuskan dan bersandar kepada Gugus Tugas,” kritiknya. (*)
Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.