Abdul Fatah: Kiainya Wong Cilik. Mengisahkan kesederhanaan dan kedekatan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan periode 1995-2000 dan 2005-2010 itu dengan petani dan nelayan.
PWMU.CO – Siang itu, 19 Juni 2009, Jumatan di Masjid Al-Azhar Lamongan punya nuansa berbeda dari biasanya. Selain jamaahnya berlipat, keharuan juga terasa menyeruak ketika Bupati Lamongan saat itu, Masfuk, menyampaikan pidato pelepasan jenazah ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan KH Abdul Fatah.
Di depan ratusan pelayat, antara lain dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, PDM Lamongan, dan Wakil Bupati Lamongan saat itu, Tsalist Fahmi Zaka, Masfuk yang terkenal biasa humoris itupun terlihat berlinang air mata.
Dalam hitungan menit, Masfuk lama terdiam seolah kehabisan kata-kata lantaran menyimpan duka yang sangat mendalam atas kepergian tokoh Lamongan yang terkenal sederhana itu.
”Sepanjang hidupnya didedikasikan untuk dakwah,” begitu salah satu kesan Masfuk. Pernyataan ini tidak sepenuhnya salah karena KH Abdul Fatah yang lahir dalam keluarga sederhana, ternyata mengalir pekat darah agamisnya hingga akhir hayat.
Keluarga Petani yang Agamis
Lahir pada 20 April 1950, Abdul Fatah dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani yang agamis di Desa Takerharjo, Solokuro, Lamongan. Tempaan keluarga pula yang membuat jiwa pejuang dan mubaligh Fatah mulai terbangun hingga mengantarkannya sebagai tokoh di kemudian hari.
Ayahnya bernama Djoyo M. Yasir dan ibunya Kastipah—pasangan suami-istri yang aktivis Masyumi pada 1950-an. Karena itu, ketika memasuki usia sekolah, pendidikan Islam telah memikatnya.
Fatah kecil melalui masa-masa pertumbuhan remajanya di lingkungan pesantren, selain tentunya belajar agama dari kedua orangtuanya. Lulus dari Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paciran, yang dilanjutkan dengan mondok di Pesantren Karang Asem, dia melanjutkan ke Pesantren Persis Bangil pada tahun 1971.
Bekal ilmu yang didapat di jalur pendidikan tersebut kemudian ditularkan dengan menjadi guru, yang ditekuninya sejak 1972. Pada tahun itu pula, dia mulai aktif mengabdi di Persyarikatan dengan jabatan Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Takerharjo hingga tahun 1973.
Memimpin dari Bawah
Kepemimpinan Fatah dalam Muhammadiyah yang dimulai dari tingkatan paling bawah, ranting, membuatnya menjadi pemimpin yang visioner. Sebab, baginya, kepemimpinan di ranting tidak lain sebagai kawah candradimuka untuk memupuk jiwa kepemimpinan.
Di pentas paling bawah ini Fatah kemudian banyak bersentuhan dengan kalangan grass root. Bersentuhan dengan kalangan petani, nelayan, dan masyarakat pinggiran lainnya.
Persentuhan dengan kalangan bawah ini semakin memberi arti bagi perjalanan Fatah berikutnya. Dari ruang yang paling kecil ini karakter kepemimpinan Kiai Fatah mulai tampak. Meski banting tulang menjadi guru, ia tak berharap dapat menumpuk kemapanan.
Sembari membesarkan Muhammadiyah di daerahnya, dia tetap merangkap profesi sebagai petani kala itu.
Bahkan, karena kesabaran dan ketekunan dalam menggerakkan perjuangan Persyarikatan, berturut-turut beberapa amanah diletakkan pada punggungnya.
Setelah sempat dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Laren, berturut-turut dia dipercaya sebagai Ketua PCM Laren, Ketua Majelis Tarjih PDM Lamongan, dan Wakil Ketua PDM Lamongan.
Selain itu, dia juga dipercaya sebagai Ketua PDM Lamongan selama dua periode: 1995-2000 dan 2005-2010. Bahkan pada periode kedua ini dia sekaligus merangkap anggota Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur 2005-2010.
Ada cerita unik di balik keterpilihan Fatah sebagai Ketua PDM periode 1990-1995. Dalam Musyawarah Daerah (Musyda) yang diselenggarakan pada tanggal 28-29 September 1991 di Babat, sebetulnya anggota Musyda mengusulkan KH Abdurrahman Syamsuri menjadi Ketua PDM.
Perubahan Era Abdul Fatah
Namun kerena yang bersangkutan juga terpilih sebagai anggota PWM Jatim, maka Fatah ditunjuk sebagai Ketua PDM. Periode ini banyak ditandai dengan perubahan dan penambahan struktur pimpinan organisasi, serta kebijakan-kebijakan manajemen.
Struktur pimpinan periode ini terdiri dari ketua dan dua orang wakil ketua, sekretaris dan wakilnya, bendahara dan wakilnya, dan tiga anggota pimpinan yang masing-masing mengkoordinasi beberapa majelis.
Dalam aspek manajemen, ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam periode KH Abdul Fatah, antara lain adalah pemindahan sekretariat PDM Lamongan per 1 Juli 1992: dari Jalam KH Ahmad Dahlan 122 ke Jlalan Lamongrejo 109-111.
Selain tempatnya yang lebih representatif sebagai kantor bersama Muhammadiyah beserta ortom-ortomnya, pada periode ini pulalah PDM mengangkat tenaga eksekutif.
Pada periode ini pula, PDM terus melakukan penertiban administrasi dan ortom-ortomnya sebagai tindak lanjut dari rintisan periode sebelumnya. Bahkan dalam periode ini berhasil membendel surat-surat PDM, baik surat keluar maupun masuk, kemudian menyusunnya secara rapi dalam almari kantor.
Selain itu, periode ini juga ditandai dengan upaya meningkatkan mutu pimpinan dengan mengadakan pengajian pimpinan. Dalam acara ini sering mendatangkan pembicara dari Pimpinan Pusa Muhammadiyah dan PWM Jatim.
Selain itu juga secara intern mengadakan konsolidasi pimpinan harian yang berjumlah 9 orang setiap dua pekan sekali, dan rapat gabungan yang terdiri dari seluruh anggota PDM Lamongan dan Badan Pembantu, sekali dalam sebulan.
Wariskan Ponpes Al-Mizan
Sementara dalam periode kedua, Fatah menunjukkan sikap yang dinamis. Meski serius dalam bersikap, dia tak canggung bercanda lepas dengan para pengurus dan warga Muhammadiyah lain.
Karismanya sebagai pengayom yang ngguyubi (ramah), ucapannya tegas, dan berkeadilan, tetap terpancar. Pada saat ada masalah, dia tidak sekadar memberikan instruksi para pimpinan lain, tetapi juga menunjukkan jalan yang tepat.
Sebagai kader yang berangkat dari bawah, fokus kepemimpinannya selalu ditujukan pada perkembangan di tingkat ranting. Ia selalu memberikan kesempatan kepada pimpinan untuk mengutarakan ide dan pendapat, baik secara formal maupun informal.
”Gemar mengorangkan orang”, begitulah kira-kira almarhum dalam menampung semua usulan dari orang lain.
Prestasi Pengasuh Pondok al-Mizan Lamongan ini dalam mensinergikan pola pembinaan panti Asuhan dengan pesantren diadopsi menjadi program unggulan PWM Jatim dan sebagai rujukan PDM di luar Lamongan.
Sebab, Pesantren al-Mizan dalam faktanya berhasil menjadi pilar kaderisasi mubaligh. KH Abdul Fatah sendiri memimpin pesantren ini selama tiga periode: 2003-2005, 2005-2008, dan hingga wafat.
Progam Unggulan LKL
Salah satu program unggulan, yang semakin cemerlang semasa Abdul Fatah memimpin al-Mizan, adalah Latihan Kerja Lapangan (LKL). Yaitu menerjunkan para santrinya putra dan putri untuk berdakwah atau tepatnya latihan berdakwah secara langsung di tengah-tengah masyarakat.
Program ini rutin dilaksanakan setahun sekali, yang pesertanya adalah santri kelas terakhir atau kelas XII. Kegiatan yang dalam implementasinya berbentuk bakti sosial, mengajar di madrasah ataupun TPA, mengisi kegiatan masjid, dan sebagainya, itu tersebar di seluruh kecamatan se-Kabupaten Lamongan.
Kegiatan LKL ini dilatarbelakangi oleh pentingnya instrumen pendidikan secara langsung sekaligus sebagai sarana dakwah yang diaplikasikan oleh santri. Sehingga saat mereka keluar dari pesantren bisa menerapkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan selama belajar di pondok. Namun yang terpenting, LKL adalah syiar islamiyah dan pengembangan dakwah demi tersebarnya ajaran ajaran Islam sehingga bisa diterima oleh masyarakat.
Tak heran jika pesantren al-Mizan berdasarkan penelitian dari berbagai macam sumber, hingga saat ini dikenal sebagai sentral pesantren yang spesialis kaderisasi mubaligh, khususnya pesantren-pesantren yang berhaluan Muhammadiyah.
Sebab, al-Mizan sedikit-banyak melaksanakan peran dan tanggung jawab pesantren sebagai pengawal ummat untuk meraih maslahat. Selain sebagai media pendidikan bagi santri, ternyata pesantrenpun mempunyai fungsi yang sangat signifikan, yaitu sebagai basis dakwah sekaligus media kontrol terhadap prilaku budaya yang berkembang di masyarakat sekitar.
Aktif di Luar Muhammadiyah
Tidak hanya berkiprah di Muhammadiyah, Kiai Fatah juga dipercaya sebagai ulama yang mampu membangun hubungan baik dengan banyak kalangan. Ia pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Lamongan, selain pernah pula menjabat Ketua Bidang Organisasi/ Hubungan Ulama dan Umara sejak 1991.
Meski dikenal tegas, tidak kompromi dengan ajaran yang dianggap tidak sesuai syariat Islam, tetapi tidak menyakitkan. Ia pernah tidak setuju tentang penghormatan yang berlebihan terhadap pesarehan, saat rangkaian hari jadi Kota Lamongan.
Pelajaran yang patut dipetik darinya adalah ketegasan dan kepedulian untuk mendampingi masyarakat bawah pada soal agama.
Kiai Fatah adalah sosok yang punya ilmu tinggi tetapi rendah hati sehingga bisa diterima oleh semua kalangan, begitu kesan Tsalist Fahmi Zaka tentang kenangannya terhadap almarhum. Saran-sarannya disampaikan apa adanya, tanpa tedeng aling-aling. Tetapi karena orangnya tulus, sehingga yang dinasihati pun tidak sakit hati.
KH Abdul Fatah: Kiainya Wong Cilik menghembuskan nafas terakhir pada pukul 9.00, di RS Muhammadiyah Lamongan karena sakit. Jenazah dikebumikan di Pemakaman Umum Tumenggung Baru, Lamongan.
Almarhum meninggalkan seorang istri Hj Sumarmah dan lima anak: Rifqi Siswanto, Fikri Budiman, Diya’ul Falah, Burhanul Haq, Anita Huroyyati, dan Hifdzi Abdul Basith. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan berjudul asli Abdul Fatah Menembus Dakwah Kultural ini dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur Jilid II, Editor Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, dan MZ Abidin, Cetakan I: 2011.