PWMU.CO – Muhammadiyah perlu rancang pendidikan tanpa tatap muka disampaikan Dr M Saad Ibrahim MA dalam Diskusi Pendidikan Webinar Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sabtu (30/5/2020).
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim dalam diskusi bertema Aktualisasi Islam Berkemajuan Bidang Pendidikan di Era New Normal mengungkapkan pasca Covid-19 akan ada perubahan di bidang pendidikan.
Saad Ibrahim kemudian mengajak untuk berkaca kepada masa lalu. Menurutnya nilai di dalam Islam tidak akan berubah. Berbicara tentang pendidikan atau bicara tentang ilmu maka dalam tatanan teologis salah satu dari Asmaul Husna itu Allah Al-Alim yang maknanya Maha Berilmu.
“Maknanya ilmu yang didapat manusia itu sepenuhnya diberikan oleh Allah dari ilmunya yang tak terbatas. Hanya sebagian kecil diberikan kepada manusia,” ujarnya.
Teologis Bagian Krusial Ilmu
Dengan kata lain, sambungnya, sejak dini Islam mengajarkan teologis itu bagian sangat krusial dari ilmu. Kalau ada banyak orang yang memaknai surat al-Alaq yang 5 ayat itu sebagai ajaran literasi maka menurutnya titik berat bukan pada literasi.
“Sebab pada masa-masa Yunani literasi sudah berkembang sangat pesat. Terlihat dimensi teologisnya yakni kemudian menghubungkan pendidikan dasar itu dengan Allah,” ungkapnya.
Dia mengatakan, memerhatikan surat Fatir 27-30. Ayat 28 memang tidak ada definisi secara jelas tentang ulama, jamak dari alim. Tetapi kalau dibaca secara cermat semuanya maka kriteria yang pertama ungkapan menceritakan Allah diletakkan di depan.
“Kemudian bicara fenomena alam tentang turunnya air dari langit. Bisa dalam arti air hujan atau air yang memang dahulu kita kering kerontang, kemudian pada masa primodianya Allah menurunkan meteor yang salah satunya bermuatan air,” jelasnya.
Lima Kriteria Ulama
Maka ulama kriterianya adalah pertama mereka yang memahami fenomena alam. Menjadikan hal yang didahulukan adalah dibalik semua itu terdapat kemahatahuan dan kemahakuatan Allah.
“Kedua memahami yang hidup khususnya memahami manusia. Jadi tidak hanya memahami alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam, tetapi juga ilmu tentang kehidupan khususnya tentang manusia misalkan ilmu sosiologi dan antropologi,” terangnya.
Ketiga memahami secara mendalam kitab Allah al-Quran dan al-Hadits. “Keempat mereka mendirikan shalat. Maknanya semua pengetahuannya tadi adalah bagian menjadi wasilah atau media mendekatkan diri kepada Allah,” imbuhnya.
Kelima punya perhatian untuk konteks kehidupan manusia. Punya rasa tanggung jawab untuk menjadikan manusia itu menjadi hamba Allah yang baik.
“Dalam konteks ini dari rezeki yang diberikan Allah lalu sebagian diberikan kepada orang lain dan sebagian sebagai perdagangan yang tidak akan merugi,” tambahnya.
Setelah sekian abad kemudian, lanjutnya, terciptalah peradaban Islam yang sangat maju. Dimulai abad ke-3 hijriyah sampai dengan 500 tahun kemudian.
Sekularisme Membuang Tuhan
“Bangunan science pada waktu itu paradigmanya ada 4 hal yakni wahyu, pikiran rasional, pembuktian empiris dan intuisi. Bangunan keilmuan seperti inilah yang kemudian berkembang di dunia Islam. Peradaban Islam yang maju itu pondasinya ilmu,” terangnya.
Kemudian ilmu pengetahuan itu dibawa ke Barat. Lalu akhirnya wahyu mereka banyak berlawanan dengan pikiran rasional dan pembuktian empiris. Lama-lama terjadi sekulerisme.
“Awalnya mereka ingin membawa apa yang ada dalam Islam itu. Tentu pikiran 4 aspek itu. Barat tidak menerima wahyu itu karena mereka punya wahyu sendiri. Kalau bersama-sama dengan orang beragama maka percaya dengan wahyu, tetapi kalau bersama komunitas keilmuan lalu mengabaikan semuanya. Sekularisme yang terbesar adalah mengabaikan bahkan membuang Tuhan,” paparnya.
Sehingga ilmu pengetahuan tinggal pikiran rasional dan pembuktian empiris. Kemudian Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat luar biasa.
“Tetapi ada something wrong, salah dan hilang. Maka kemudian mereka sadar. Buku When Science with Religion membuat peta relasi agama dan science itu sendiri;” imbuhnya.
Normal, Abnormal, New Normal
Inilah yang harus kita tegakkan kaitannya dengan kehidupan sekarang ini. Masalahnya sekarang pandemi Covid-19 juga mengenai Indonesia. Ungkapan new normal harus diurutkan dulu.
“Sebelum ada Covid-19 itu disebut normal. Saat terjadi pandemi Covid-19 berarti abnormal. Itu yang tidak dikatakan atau diungkapkan. Banyak hal kemudian berubah. Termasuk pertemuan online ini bagian implikasi abnormal,” paparnya.
Setelah itu kita berharap ada normal lagi yang berbeda dengan normal yang dulu yang disebut new normal. Masalahnya apa betul Covid-19 nanti akhirnya tidak ada. Apa abnormal terus? Kalau ada maka masa abnormal terus-menerus.
“Bagaimana menghadapi ini? Banyak pihak sudah berbicara tentang protokol kesehatan dan lainnya. Sebenarnya dengan wudhu 5 kali sehari maka umat Islam sudah diajarkan menjaga kebersihan,” sergahnya.
Hubungannya dengan pendidikan maka bagaimana mengelola pendidikan. Dalam konteks nilai-nilai tadi maka tidak ada perubahan apapun. Dimensi teologis itu menjadi bagian penting bagi ilmu pengetahuan dan untuk pendidikan kita.
Pendidikan Era New Normal
“Bagaimana teknis hadapi new normal? Pelajaran penting yang diberikan Allah dengan Covid-19 banyak sekolah tutup dan perguruan tinggi tidak menghadirkan mahasiswanya,” pesannya.
“Tetapi realitanya science tetap berkembang, Orang tetap belajar dan ilmu berjalan. Ini mirip dengan dulu. Buya Hamka itu otodidak. Tidak melalui bangku kuliah. Toh kemudian menjadi doktor dan alim,” ungkapnya.
Maka siap-siap Muhammadiyah merumuskan masa depan. Ini menjadi hal penting dihubungkan konteks sekarang. Mahasiswa atau pelajar tidak kuliah atau sekolah, tetapi pengetahuan tetap tertransfer ke mahasiswa dan pelajar.
“Andaikata tidak ada daring maka semata-mata tergantung karakter masing-masing. Orang mau belajar atau tidak. Rancangan ke depan sekolah tanpa ada bangunan, ruang kelas dan pelajaran,” paparnya.
Menurut Saad Ibrahim Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis Dikti, dan Majelis Dikdasmen perlu mulai merancang tidak ada tatap muka. Mahasiswa tinggal daftar, diuji dengan ujian dan kemudian mendapatkan sertifikat.
“Bagaimana nasib para guru? Ini juga mengenai hal-hal lainnya. Profesi driver bisa tidak ada karena 10 tahun ke depan mobil dirancang tanpa driver,” pesannya.
Ke depan, lanjutnya, orang tidak lagi ditentukan oleh gelarnya yang panjang. Tetapi oleh kualitas orang yang bersangkutan. Maka masa seperti itu akan datang.
“Perlu dipersiapkan dari sekarang agar kita tidak gagap menghadapinya. Insyaallah dengan cara itu menandakan Muhammadiyah organisasi yang berkemajuan,” tuturnya.
Muhammadiyah perlu rancang pendidikan tanpa tatap muka menghadapi era new normal. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.