PWMU.CO – Din Syamsuddin: Pemakzulan sesuatu yang dimungkinkan. Karena Islam dan pemikiran politik Islam menganggap suci sebuah amanat kepemimpinan.
Demikan penilaian Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Din Syamsuddin MA dalam Webinar Masyarakat Hukum dan Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) bertema Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/20).
Menurut Din, dalam pemikiran politik Islam, ada yang berpendapat, pemimpin, imam, atau khalifah ketika naik ke tahta kepemimpinan atas dasar baiat, bersifat tuntas atau tidak dapat ditarik kembali.
Namun, banyak ulama lain yang mengatakan itu sesuatu yang bisa (ditarik kembali). Apalagi jika amanat kepemimpinan itu tidak ditunaikan sebagai amanat.
Maka, kata Din, jika ada penyimpangan dari amanat, maka kelompok ini memberikan hak kepada rakyat yang disebut dengan haqqul muarradah, hak untuk mengeritik dan juga mengoreksi.
“Bahkan nanti, ada hak untuk menyoal kembali amanat yang telah diberikannya itu, yakni menarik kembali mandat tersebut. Itulah yang disebut dengan pemakzulan,” papar Din.
Din Syamsuddin menyebut, kata pemakzulan berasal dari bahasa Arab yang diambil ke dalam bahasa Indonesia. Meski, dia merasa dalam dalam hukum tata negara tidak disebut UUD 1945 dengan pemakzulan, tetapi impeachment. “Yang mana impeachment pada proses, sementara pemakzulan pada hasil akhirnya,”ujarnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 itu melanjutkan, ada banyak istilah politik Islam. Seperti makzul dari kata azala yang artinya itu mencopot sesuatu dan menyingkirkannya ke samping. Sehingga dia tersingkir. “Dalam lisanu arab, arti pemakzulan saya kira sangat kuat dibandingkan dengan impeachment di dalam bahasa Inggris,” ungkap Din.
Pemakzulan Sesuatu yang Dimungkinkan
Dalam tradisi politik Islam, lanjut Din, ada beberapa gradasi dari pemakzulan itu. Ada yang sekadar penyingkiran dan pencopotan. “Ada juga tingkat yang tertinggi, kita keluar karena rakyat memberontak, karena rakyat melakukan aksi-aksi terutama dalam amar makruf nahi munkar, yang tentu ada syarat-syarat tertentu,” jelas Din.
Din mengatakan, dalam Islam dan pemikiran politik Islam sifatnya sangat tegas dan keras. Kenapa? Karena amanat kepemimpinan itu sesungguhnya suci. “Karena amanat rakyat merupakan amanat Tuhan. Maka pemakzulan sesuatu yang dimungkinkan,” ujarnya. Di dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, seperti al-Mawardi yang sangat terkenal itu. Pemakzulan imam atau pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat-syaratnya sudah tertanggalkan.
Syarat pertama adalah ketiadaaan keadilan, sehingga seorang pemimpin tidak berlaku adil dan melakukan kezaliman. Seperti tidak mampu menciptakan keadilan dalam masyarakatnya, di kalangan rakyat warga negaranya. Pemimpin itu hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya daripada yang lain, ada kesenjangan ekonomi.
“Ini sangat-sangat asasi sekali. Maka itulah syarat sebagai pemimpin. Jika itu hilang atau berkurang, maka itu sebagai syarat bisa dilakukan pemakzulan,” ungkapnya.
Kedua, lanjut Din, Al-Mawardi mengisyaratkan adanya adamul ilmi. Ketiadaan ilmu pengetahuan, kerendahan, dan kelangkaan visi. Terutama tentang cita-cita hidup berbangsa dan bernegara. Tentu dalam kaitan khilafah, itu suatu visi kepemimpinan yang sangat kuat untuk membawa rakyat warga negara pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
“Dalam konteks negara modern, visi itu adalah cita-cita nasional suatu bangsa. Seperti bangsa Indonesia yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur,” kata Din. Maka, lanjutnya, jika ketidakadilan tidak mampu untuk diwujudkan dan ditampilkan seorang pemimpin, baik adamul adli maupun adamul ilmi, maka ini sudah menjadi syarat bagi pemakzulan.
Praktik Pembodohan Kehidupan Bangsa
Din menilai, adamul ilmi adalah pemahaman visi yang tidak sesuai. Seperti di Indonesia yang betul-betul tidak memahami Pancasila. Ketika visi tentang Pancasila itu baik, apalagi yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, maka tidak ada pembungkaman kampus.
“Jika ada pembungkaman kegiatan-kegiatan akademik, pemberangusan mimbar akademik, itu sebenarnya bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam praktik-praktik sebaliknya adalah pembodohan kehidupan bangsa,” ujar Din.
Syarat lain yang disebut al-Mawardi adalah ketika seorang pemimpin di sebuah negara atau sebuah bangsa itu kekurangan kekuatan. Kehilangan kewibaan, karena kehilangan dan kekurangan kemampuan untuk memimpin, terutama dalam situasi kritis. Dan seorang pemimpin itu akan terlihat kemampuannya pada masa kritis. Bisakah dia memimpin.
“Apakah pemimpin itu terdikte oleh orang, baik keluarganya ataupun orang terdekatnya untuk bisa menjalankan kepemimpinannya?. Juga terkekang atau tertekan oleh kekuatan-kekuatan lain. Seperti dalam hubungan internasional. Ketika kita kehilangan kedaulatan karena tunduk dan patuh pada kekuatan asing,” ungkap Din.
Konstitusional Diktatorsif
Din lalu menyampaikan pendapat Imam al-Ghazali yang menyetujui, bahkan memungkinkannya pemakzulan pemimpin itu. Sama halnya dengan al-Mawardi tentang ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan pemimpin. Terutama orientasi represif dan diktatorsif.
“Dan saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun konstitusional diktatorsif. Kediktatoran konstitusional bersemayam dalam konstitusi. Seperti perpu menjadi undang-undang. Dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain yang menimbulkan political unpower, tidak lagi dapat memimpin. Oleh karena itu masyarakat akan mengeritik,” paparnya.
Maka, kata Din, seorang Rasyid Ridha, yang lebih modern dari Imam al-Ghazali, pada awal abad ke-20 bahkan menyerukan pada rakyat untuk melawan pemimpin yang zalim dan kepemimpinan yang tidak adil. Dan terutama kepemimpinannya itu membahayakan kehidupan bersama, seperti melanggar konstitusi. “Sekarang ini kehidupan nasional kita mengalami deviasi, distorsi, dan disorientasi dari nilai-nilai dasar itu,” jelasnya.
Din lalu mencontohkan tentang paham komunis yang jelas-jelas pada TAP MPR dilarang. Tapi ketika diberi ruang gerak, dan tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap persebaran dan kebangkitannya kembali, ini sungguh membahayakan.
“Dan ini kita hanya menyediakan jalan bagi pengulangan sejarah di Indonesia. Serta mengganggu serta menggoyahkan negara Pancasila itu sendiri yang ikut didirikan ramai-ramai,” ungkap Din.
Din Syamsuddin yang ingin memberikan perspektif pemikiran Islam dalam tema tersebut menilai, bahwa apa yang ingin dibahas dalam webinar memiliki landasan dalam hal agama Islam dan politik Islam. “Dan absah adanya jika ingin membicarakan dan memberi penjelasan dari perspektif konstitusi kita,” tuturnya.
Din mengatakan dalam webinar itu dia berbicara sebagai Guru Besar Pemikiran Politik Islam. Maka, ujarnya, pikiran-pikiran yang diajukan adalah dari khazanah pemikiran politik Islam.
Sebagai pembicara kunci dalam webinar tersebut, Din awalnya tidak bersedia karena bukan ahli hukum tata negara. Namun, tergerak ikut serta, lebih-lebih sebagai pendengar yang baik, karena sempat menduga acara ini akan dihalang-halangi, dan pemrakarsanya akan diteror. Sebagaimana terjadi di tempat lain. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.