Pembatasan Sosial Bergaya Bonek, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senor tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Kurva penularan Covid 19 masih jauh dari landai. Bahkan hari-hari tingkat penularan tercatat lebih tinggi dibanding sebelumnya. Jawa Timur, terutama Surabaya Raya, masih menjadi wilayah hitam. Toh, PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dihentikan juga.
Semua indikator yang disyaratkan untuk bisa mencabut atau mengendorkan PSBB tidak ada yang dipenuhi. Kurva masih naik tajam, frekuensi tes masih belum memadai, dan disiplin masyarakat masih sangat rendah. Tapi pelonggaran dipaksakan juga.
Ini benar-benar sebuah keputusan yang didasari hanya dengan ‘bondo nekat’, modal nekat. Satu-satunya alasan yang diajukan adalah kepentingan ekonomi dan mengabaikan kerawanan penularan yang berpotensi mengorbankan keselamatan warga negara. Ini benar-benar pembatasan sosial bergaya bonek (PSBB) yang penuh risiko.
Korban Masih Berjatuhan
Korban masih berjatuhan. Seorang dokter baru saja meninggal. Sebuah keluarga, bapak, ibu, dan putrinya yang mengandung delapan bulan meninggal berurutan. Jalanan mulai macet, masyarakat berkerumun di tempat umum, di pasar, di mal. Sebuah potret disiplin yang mengerikan.
Sekelompok orang merangsek masuk rumah sakit, memaksa membawa pulang jenazah korban pandemi dan memakamkannya dengan cara mereka sendiri tanpa peduli protokol. Puluhan driver online mendatangi rumah sakit pemerintah dan mengambil paksa jenazah kolega sesama driver online yang sudah dipastikan sebagai korban pandemi.
Anarkisme mulai marak, kriminalitas makin beringas. Semakin banyak yang tak lagi peduli terhadap hukum dan aturan.
Indonesia Urutan 97
Sebuah kelompok nirlaba internasional Deep Knowledge Group (DKG) yang berpusat di Hongkong, pekan ini merilis daftar 100 negara paling aman dari risiko Covid-19. Urutan teratas ditempati Swiss, disusul Jerman, Israel, dan Singapura pada urutan keempat.
Indonesia berada di urutan keempat dari bawah alias di posisi ke-97, di atas Bahama, Laos, dan Kamboja. Di atas Indonesia di urutan ke 96 ada Peru yang kebijakan penanganan wabahnya memprihatinkan, dan laporan-laporan media sosial menunjukkan banyaknya korban yang bergeletakan di jalanan.
Survei ini mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan kepemimpinan negara-negara itu. Ada 130 faktor yang mempengaruhi hasil survei, termasuk di dalamnya disiplin masyarakat serta tingkat kepercayaan dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan pemerintah.
Di hampir semua kategori, Indonesia masuk dalam zona merah atau orange karena skornya rendah. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara Asia pun skor Indonesia masih masuk zona merah dan orange.
Singapura dan Jepang masuk ranking tertinggi 4 dan 5 dunia, dan masing-masing tertinggi di Asia. Tentu bisa dipahami, karena dua negara ini berdisiplin tinggi dan mempunya pemerintahan yang mendapat kepercayaan tinggi dari warganya.
Singapura sukses menerapkan program Circuit Breaker untuk memutus rantai penyebaran wabah. Program ini dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Lee Hsin Loong yang memantau detail program hari per hari. Pemerintah Singapura juga tak segan menerapkan sanksi denda dan kurungan bagi pelanggar.
Memang Singapura kebobolan oleh banyaknya pekerja migran yang menjadi korban wabah, tapi Singapura menyelesaikan kasus ini secara efektif. Model penyelenggaraan negara neo-developmentalism yang mirip Orde Baru, dipadu dengan keberhasilan ekonomi yang cemerlang, membuat PM Lee mempunyai legitimasi yang kuat untuk mengontrol program pemulihan.
Jepang tak perlu dipertanyakan lagi. Disiplin warganya terbaik di dunia. Perdana Menteri Abe tidak bisa menerapkan lockdown karena undang-undang tidak memperbolehkannya. Tapi, budaya kebersihan Jepang sudah mendarahdaging. Mereka sudah terbiasa memakai masker dan melepas alas kaki setiap masuk rumah. Karena itu wabah ini relatif mudah ditekan penyebarannya.
Swiss yang menjadi pemuncak survei adalah negara paling makmur dan paling sejahtera di dunia. Negara kecil ini tidak punya tentara perang, tapi disiplin warganya terbaik di dunia.
Jerman adalah negara terbesar dan terkuat di lingkungan Uni Eropa dengan disiplin masyarakat yang kokoh. Negara ini menjadi lokomotif Eropa dan menjadi panutan anggota-anggota Uni Eropa. Karena itu pantas berada di posisi runner up.
Israel berada di urutan ketiga karena mempunyai sistem pelayanan kesehatan yang canggih dan disiplin masyarakat kuat. Israel bisa disebut sebagai negara Eropa yang terletak di Timur Tengah.
China berada di urutan ketujuh. Sebuah prestasi yang layak mendapat dua jempol. Sebagai sumber pertama pandemi, China secara spektakuler melakukan lockdown masal selama tiga bulan dan sukses menghentikan wabah. Sistem otoritarianisme komunis menjadi faktor signifikan dalam keberhasilan China mengatasi krisis ini.
Peringkat Amerika Terperosok
Bagaimana dengan Amerika? Kepemimpinan Trump yang berangasan menempatkan negara ini di klasmen bawah di urutan ke-58 bersama-sama negara-negara dunia ketiga. Amerika bahkan kalah dari Filipina, India, dan Rumania yang ada di atas urutan Amerika.
Entah apa komentar Trump atas pemeringkat ini. Mungkin dia menyebut survei ini pesanan China dan konspirasi kelompok Demokrat untuk menjatuhkannya dalam pilpres November mendatang.
Inggris, negara sohib Amerika yang paling kental, lebih memalukan lagi berada sepuluh level di bawah Amerika di urutan ke-68 di jajaran negara-negara yang parah kasusnya seperti Iran. Perdana Menteri Boris Johnson, mirip dengan Trump, tidak mendapat dukungan kepercayaan dari warganya.
Survei ini membuktikan bahwa pemerintahan yang kuat, responsif, dan mendapatkan dukungan kepercayaan rakyat bisa mengatasi pandemi dengan efektif. Negara-negara yang berada di lima besar adalah negara-negara dengan karakteristik seperti itu.
Amerika dan Inggris, dua kampiun neo-liberal ternyata babak belur dihajar pandemi. Apalagi sekarang ditambah kegaduhan yang meluas di seluruh Amerika karena demo atas tewasnya George Floyd, makin ambruklah Amerika.
Pemimpin Bonek
Bagaimana nasib Indonesia? Tentu negeri ini pantas prihatin. Berada di klasmen paling bawah menunjukkan banyak sekali kelemahan kepemimpinan dalam penanganan krisis ini, baik di level nasional, regional, maupun lokal.
Indonesia pantas malu pada jiran Malaysia yang berada di papan tengah urutan ke-30. Program Kawalan Pergerakan ternyata cukup efektif menyelesaikan masalah.
Indonesia harus belajar banyak dari kepemimpinan Malaysia. Masih banyak pemimpin kita yang tidak mempunyai visi yang jelas dalam menangani krisis.
Banyak pemimpin yang selama ini lebih asyik bermain dramaturgi pencitraan.
Di saat krisis seperti sekarang barulah terungkap banyak pemimpin yang tidak punya kapasitas yang mumpuni, dan hanya bondo nekat alias bonek. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.