Manhaj Muhammadiyah Butuh Tiga Macam Kader Pemimpin Ini. Hal itu disampaikan Ketua PDM Kota Pasuruan Abu Nasir dalam wisuda online SPEAM.
PWMU.CO – Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Pasuruan Drs H Abu Nasir MAg mengapresiasi terselenggaranya wisuda online SMP SPEAM (Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Maun Muhammadyah), Pasuruan, Ahad (14/6/20).
“Ini adalah capaian yang bagus dan ke depan SPEAM harus mengandalkan teknologi modern,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut Abu Nasir menyampaikan tiga hal sebagai bekal para wisudawan. Yait disrupsi, manhaj dan tipologi kader Muhammadiyah.
Manhaj Muhammadiyah
Abu Nasir mengatakan Muhammadiyah memiliki manhaj yang didasarkan pada dua hal, ilmiah (ilmu pengetahuan) dan diniah (dalil agama).
Menurutnya, di antara umat Islam, ada yang mendasarkan manhajnya pada diniah saja. Ada juga kelompok yang hanya mendasarkan pada ilmiah saja.
Dia menelaskan, ilmiah adalah metode yang mendasarkan pada akal pikiran manusia semata, yang dengannya manusia dapat memperoleh pengetahuan.
Sedangkan diniah adalah metode yang mendasarkan pada dalil-dali agama supaya manusia bisa terbimbing ke arah yang lebih baik. “Sebagai kader Muhammadiyah, ketika kita menghadapai sesuatu, harus mendasarkan pada dua hal tersebut,” ujarnya.
Dia mencontohkan pandemi Covid 19 yang melanda dunia saat ini, yang oleh sebagian orang sebagai bagian dari konspirasi global. “Pimpinan Muhammadiyah, dari pusat sampai ranting harus menolak teori konspirasi ini, karena teori ini bertentangan dengan terori ilmiah,” ujarnya.
Menurut dia, teori yang bisa diterima adalah teori ilmiah yang terstruktur menjadi sebuah bangunan ilmu pengetahuan. “Bagi kita, yang jelas Covid-19 ini nyata, dan meskipun nyata tapi tidak terlihat dan menular sangat cepat,” terangnya.
Sedangkan dari pendekatan fikih, Abu Nasir mengatakan Muhammadiyah sangat fleksibel dan kontektual menyikapi wabah Covid-19 ini. “Misalnya pada masa Covid-19 ini, shalat Jumat bisa diganti dengan shalat Dzuhur,” terangnya.
Tiga Macam Kader Muhammadiyah
Abu Nasir juga berpesan kepada para wisudawan untuk menjadi pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di masa mendatang. Dia mengungkapkan pemimpin yang saat ini dibutuhkan ada tiga macam.
Pertama mujtahid. Yaitu kader yang senantiasa menjalankan ajaran agama Islam sesuai tuntunan Allah dan rasul-Nya, yang dicontohkan oleh para Nabi, Sahabat, dan Tabi’in. Yaitu kembali kepada pada generasi salaf.
“Selain itu, pemimpin mujtahid ini juga berorientasi ke masa depan dengan memanfaatkan teknologi di dalam menghadapi hidup dan kehidupan,” terang dia.
Kedua mubaligh. Yaitu kader Muhammadiyah yang tugasnya menyampaikan apa yang disampaikan ajaran agama kepada orang lain. “Artinya selalu mengajak orang yang berada di jalan tidak benar, menuju ke jalan yang benar,” ujarnya.
Ketiga, muttabi’. Yaitu kader Muhammadiyah yang ittiba’ (ikut) kepada ajaran Rasulullah dan juga ittiba’ kepada pimpinan Muhammadiyah.
“Selain itu, ia mempunyai kemampuan untuk membesarkan Muhammadiyah lewat berbagai profesi yang dia jalani. Baik dia seorang guru, ustadz, bankir, maupun profesional,” kata dia.
Abu Nasir juga berhaharp para wisudawan menjadi ulul albab. “Pemimpin yang dikisahkan surat Ali Imran ayat 191. Yaitu pemimpin yang ahli dzikir (diniyyah) dan pemimpin yang ahli fikir (ilmiyyah).
Disrupsi dan Pemimpin Masa depan
Di awal sambutannya, Abu Nasir menyampaikan teori disrupsi yang dikenalkan oleh Clayton M. Cristensen pada tahun 2013.
Mengutip Clayton dalam beberapa tahun ke depan—mungkin lima tahun lagi—50 persen lembaga pendidikan di Amerika Serikat, baik dasar, menengah, maupun perguruan tinggi, akan gulung tikar.
“Mengapa?” tanya Abu Nasir. “Karena disrupsi telah menciptakan sebuah model pendidikan yang baru, yang tidak tergantung pada ruang dan tempat. Pendidikan pada masa disrupsi lebih bernuansa connected technology,” jelasnya.
Menurut Abu Nasir disrupsi ini akan melanda pada beberapa hal, salah satunya generasi milenial. “Disrupsi pada generasi milenial terjadi dengan hal-hal yang tidak terduga dan dengan cara-cara yang berbeda,” terangnya.
Generasi milenial, lanjutnya, akan terhubung satu dengan yang lain dengan melakukan hal-hal yang bersifat koneksi, connected, collaborated, dan communicated. “Sehingga generasi milenial tidak kuper (kurang pergaulan) dan gaptek (gagap teknologi) dengan berbagai media yang mudah dijangkau saat ini,” terangnya.
Menurut dia, dengan pola itu, generasi milenial mampu mengadopsi ilmu pengetahuan tanpa didampingi oleh seorang murabbi atau guru. “Hanya dengan melihat tutorial yang ada di internet, generasi milenial mampu mengadopsi hal-hal tersebut,” papar dia.
Ustadz Abu, sapaan akrab Abu Nasir, lalu berpesan kepada para santri agar memiliki kemampuan meyerap disrupsi teknologi dan milenial.
“Dua hal tersebut, yaitu disrupsi teknologi dan disrupsi milenial, harus mampu kalian serap. Sehingga kalian tidak tergantung kepada apa yang ada saat ini,” ujarnya.
Kemampuan beradaptasi dengan hal-hal tersebut, sambungnya, merupakan ciri-ciri seorang pemimpin masa depan. “Pemimpin masa depan adalah yang mampu beradaptasi dengan berbagai hal: teknologi, budaya, dan peradaban,” terangnya. (*)
Penulis Dadang Prabowo. Editor Mohammad Nurfatoni.