PWMU.CO-Kiai Dahlan tak pernah sekolah. Tapi Muhammadiyah, organisasi yang didirikannya, sudah membangun 5.777 sekolah dan 174 perguruan tinggi di pelosok negeri hingga sekarang ini.
Kemampuan baca tulis KH Ahmad Dahlan dan mengaji al-Quran diajari oleh ayahnya, KH Abu Bakar. Ayahnya ini pejabat Khatib Amin Penghulu Kraton Yogyakarta dan imam Masjid Gede.
Pendidikan Kiai Dahlan diperoleh dari homeschooling. Bersyukurlah keluarga dan kerabatnya bertradisi santri sehingga bisa mengajari anak-anak mereka dengan ilmu keislaman.
Kerabatnya kebanyakan sudah pergi haji menandakan ghirah Islamnya tinggi. Sebab tidak setiap muslim berkeinginan haji. Kemampuan naik haji juga menunjukkan kondisi ekonominya cukup. Kiai Dahlan naik haji saat umurnya masih muda, 22 tahun.
Beranjak besar cara belajar KH Ahmad dengan mendatangi guru yang menguasai keahlian ilmu keislaman. Ini tradisi kaum santri. Di kampung-kampung, begitu selesai belajar membaca dan menulis al-Quran lalu melanjutkan ke ilmu berikutnya tajwid, nahwu, atau qira’ah dengan mencari guru yang menguasai ilmu itu.
Hanya santri yang punya keinginan mencari ilmu lebih tinggi yang mau melakukan model belajar home schooling seperti ini. Karena itu dalam terminologi pendidikan Islam orang yang berkeinginan mencari ilmu disebut murid. Atau orang-orang yang mencari ilmu dinamakan thalib.
Dua kata itu mengandung suasana aktif, inisiatif, bergerak dari diri sendiri untuk mendapatkan sesuatu yang baru kepada orang-orang yang menguasai ilmu. Bukan sekadar siswa yang hanya menerima ilmu.
Guru Kiai Dahlan
Prof Dr HA Munir Mulkhan dalam bukunya Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan menulis sejumlah guru Kiai Dahlan. Selain belajar dari ayahnya, Kiai Dahlan belajar ilmu fiqih dari kakak iparnya KH Mohammad Sholeh. Kemudian mendatangi KH Muchsin dan KH Abdul Hamid untuk mendapatkan ilmu nahwu.
Sesudah kiai-kiai Yogya didatangi, dia lanjutkan mencari ilmu kepada kiai di Pesantren Termas Pacitan. Seperti KH Raden Dahlan untuk ilmu falakh dan KH Machfud belajar ilmu fiqih dan hadits.
Juga berguru kepada KH Faqih di Mas Kumambang Sedayu Gresik, KH Mas Abdullah Surabaya. Bahkan ada yang menyebutkan juga mendatangi KH Sholeh Darat di Semarang untuk belajar tafsir Quran. Di sini bertemu dengan KH Hasyim Asy’ari.
Guru-guru lainnya Syekh Amin, Sayid Bakri Satoch, Kiai Asy’ari Baceyan dan Syeikh Misri Mekkah untuk belajar qiraatul Quran dan ilmu falakh. Lalu kepada Syekh Khayyat, Mufti Syafii, dan Syeikh Babussijjil mendalami ilmu hadits. Ilmu pengobatan dan racun belajar dari Syeikh Hasan.
Ketika naik haji ke Mekkah, Kiai Dahlan tidak hanya menjalankan ritual ibadah namun juga mencari ilmu kepada ulama terkenal dari nusantara dan Arab. Seperti Syaikh Muhammad Khatib Minangkabawi, Syeikh Nawawi al-Bantani. Juga pernah berdialog dengan Syeikh Ahmad Surkati dari Jamiatul Khoir.
Setelah mencari ilmu ke banyak ulama dalam negeri dan luar negeri ini, ketika pulang ke Yogya, Kiai Dahlan tertarik dengan model sekolah Belanda. Maka dia mengajar agama di Kweekschool (Sekolah Guru) di Jetis dan OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Amtenaren, Sekolah Pamong Praja) Magelang atas rekomendasi pengurus Boedi Oetomo. Kiai Dahlan tak pernah sekolah tapi bisa mengajar di sekolah.
Membuka Madrasah Modern
Dari semua pengalaman ini mendorongnya membuka sekolah modern Madrasah Ibtidaiyah dan Diniyah di rumahnya tahun 1911. Muridnya hanya enam anak. Sekolahnya memadukan kurikulum Islam dan Barat. Pengajarannya model kelas seperti sekolah Belanda dengan bangku, papan tulis, dan alat peraga.
Enam bulan berikutnya jumlah siswanya naik menjadi 20 anak. Ini menandakan orangtua mulai tertarik dengan sekolah model baru ini. Bukan berarti sekolah model baru ini aman-aman saja. Kecaman dari beberapa kiai dilontarkan dengan tuduhan sekolah kafir. Seperti disampaikan seorang kiai dari Magelang yang datang ke Kauman untuk melihat madrasah model Kiai Dahlan ini.
Tapi dengan argumentasi yang pas tuduhan sebagai sekolah kafir bisa dipatahkan. Bahwa memakai bangku, papan tulis, pengajaran ilmu di luar keislaman, dan penggunaan teknologi yang meniru model sekolah Belanda tidak bisa langsung dicap kafir. Sebab kiai itu dari Magelang ke Yogya memakai kereta api yang produk teknologi Belanda tidak mau disebut kafir.
Dari madrasah kecil di kampung Kauman Yogya itu, Kiai Dahlan lantas mendirikan Muhammadiyah agar dakwah lewat sekolahnya menjadi legal formal. Beberapa tahun kemudian melahirkan sekolah-sekolah Muhammadiyah lainnya. Seperti Madrasah al-Qism al-Arqa di Yogya, Opleiding School di Magelang, Kweek School di Magelang, Purworejo, Kota Gede, dan Normal School di Blitar.
Untuk mengorganisasi sekolah itu Muhammadiyah membentuk Bagian Sekolah yang diketua Haji Hisyam. Ini diputuskan dalam Rapat Anggota Muhammadiyah pada 17 Juli 1920.
Dialah yang berhasil menangkap gagasan Kiai Dahlan tentang pendidikan Islam dan menerapkannya kepada semua kadernya. Perjuangan ini lalu dilanjutkan Sosrosugondo, guru Kweek School.
Ketika ditunjuk sebagai ‘Menteri Pendidikan’ ini Haji Hisyam berkata, ”Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus Bagian Sekolah berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah.”
Tahun 1932 jumlah sekolah Muhammadiyah mencapai 145 buah. Sekolah Muhammadiyah mampu bertahan dan berkembang hingga kini karena membawa misi Islam dan gagasan pembaruan. Ajaran Islam diperlukan untuk bekal dunia akhirat. Alasan yang sama ini juga kenapa pesantren terus bertahan hingga kini. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto