PWMU.CO– Kisah Mush’ab bin Umair anak muda Mekkah dari keluarga kaya yang masuk Islam. Gugur menjadi tameng Rasulullah di perang Uhud.
Mush’ab bin Umair pemuda berpikiran jernih meskipun hidup di lingkungan musyrik. Dia suka kebenaran, berpenampilan rapi dan harum. Mempertanyakan penyembahan berhala yang dilakukan orang-orang Quraisy.
Sewaktu mendengar Nabi Muhammad menerima wahyu Tuhan yang mengajarkan tauhid dan meninggalkan kesyirikan dia pun tertarik. Dengan sembunyi-sembunyi agar keluarganya tidak tahu, dia mengunjungi rumah Arqam bin Abi Arqam, tempat Nabi dan pengikutnya berkumpul. Dia banyak bertanya masalah ajaran Islam. Setelah yakin ajaran ini yang benar, dia lantas menerima Islam. Dia termasuk kelompok pemuda awal yang menerima Islam setelah Ali bin Abi Thalib.
Usai bersyahadat, Mush’ab masih merahasiakan keislamannya dari keluarganya. Tapi dia terus mengikuti pertemuan Nabi di rumah Arqam hingga di suatu hari pamannya, Usman bin Talhah, mengetahui kegiatan Mush’ab bersama pengikut Nabi Muhammad. Pamannya juga tahu dia mengerjakan shalat.
Tak ayal, pamannya marah setelah mengetahui kemenakannya itu telah meninggalkan agama leluhurnya. Hal itu diberitahukan kepada orangtua Mush’ab. Ibu Mush’ab lantas merundingkan dengan keluarga besarnya. Keputusannya, mereka sepakat menjauhkan Mush’ab dari pengikut Nabi Muhammad. Keluarganya pun setuju memberi hukuman dengan mengurung Mush’ab dalam kamar sehingga terputus kegiatannya dengan dunia luar.
Tapi Mush’ab tidak tinggal diam dikurung dalam kamar. Dia berupaya mencari jalan untuk meloloskan diri. Dalam satu kesempatan dia berhasil kabur dari kamar rumahnya. Lantas dia menuju tempat para sahabat Nabi dengan sembunyi-sembunyi.
Ketika mengetahui Nabi Muhammad memerintahkan hijrah ke Abesinia, dia memilih hidup merantau ke tanah Afrika daripada hidup terkekang bersama keluarganya. Maka dia bergabung dengan para sahabat yang berangkat diam-diam menuju Yaman untuk mencari kapal ke Abesinia. Setelah itu dia pun hidup tenang dan bebas menjalankan ajaran agamanya di negeri orang.
Pulang dari Abesinia
Sewaktu ada isu ketegangan konflik di Mekkah sudah mereda, dia bersama sekitar tiga puluh muhajirin ikut pulang. Sesampai di kota kelahirannya, dia menuju rumahnya untuk menemui ibunya.
Ternyata ibunya sangat merindukannya dan merasa kehilangan saat ditinggalkan. Begitu berjumpa dengan anaknya lagi, ibunya sangat terharu dan kasihan melihat penampilan anaknya yang tidak senecis dulu. Badannya lebih kurus dan bajunya sederhana.
Hidup di pengungsian Abesinia memang berbeda kondisinya dengan saat Mush’ab hidup menjadi anak dari keluarga kaya raya. Di sana dia harus bekerja apa saja untuk menghidupi dirinya sendiri.
Melihat kondisi anaknya itu, ibunya tidak tega. Hatinya pun luluh melihat tekad dan ketegaran anaknya masuk Islam. Kemudian dia memberi kebebasan kepada Mush’ab untuk menjalankan agama sesuai dengan pilihannya.
Kini Mush’ab bebas menjadi orang Islam. Karena berada dalam lindungan kaumnya, Mush’ab aman sebagai seorang muslim meskipun hidup di Mekkah. Orang-orang jahil Mekkah tidak berani mengganggunya.
Ini berbeda dengan sebagian muhajirin yang tidak mempunyai pelindung saat tiba di Mekkah. Mereka ada yang ditangkap dan sebagian kembali lagi ke Abesinia atau menetap ke negeri lain seperti Yaman.
Ikut Perang Uhud
Ketika terjadi perjanjian Aqabah pertama, Rasulullah menunjuk Mush’ab bin Umair menyertai orang-orang Madinah pulang ke kotanya. Di kota itu dia mengajarkan al-Quran dan memimpin shalat berjamaah.
Sewaktu perang Uhud berlangsung, Mush’ab bin Umair ada di antara beberapa orang yang menjadi tameng melindungi Rasulullah dari serangan pedang dan tombak dari musuh yang mengepungnya.
Satu persatu pasukan pengaman Rasulullah ini gugur termasuk Mush’ab bin Umair dengan tubuh penuh luka. Dia dibunuh oleh Ibnu Qamiah al Laitsi yang menyangka orang yang dibunuh itu adalah Rasulullah. Mungkin karena baju perang, topi baja dan perawakannya mirip.
Ibnu Qaimah pun dengan gembira dan lantang spontan berteriak,”Muhammad telah mati… Muhammad telah mati…” Teriakan itu menghentikan pertempuran di bukit Uhud. Orang-orang kafir bersorak senang. Sebaliknya pasukan muslim tersentak kaget.
Mereka pun segera mencari keberadaan Rasulullah. Di sebuah celah bukit tampak beberapa korban perang bergelimpangan. Salah seorang syuhada itu adalah Mush’ab bin Umair dengan tubuh penuh luka berdarah. Di sana ditemukan Rasulullah masih hidup dilindungi sejumlah sahabat yang segera membawa ke tempat aman.
Jenazah Mush’ab ketika dimakamkan hanya ada selimut pendek untuk kafan. Jika selimut ditarik menutup kepala maka kakinya terlihat. Begitu sebaliknya kalau kaki ditutup maka kepalanya tampak. Rasulullah meminta kepala Mush’ab yang ditutupi selimut. Kakinya yang terbuka ditutupi dengan rerumputan.
Kisah Mush’ab bin Umair berdasarkan buku Sirah Ibnu Hisyam. Bisa juga dibaca di buku Kisah Dramatik Hijrah. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto