Satu Muhammadiyah Beragam Wajah Umatnya, kolom ditulis oleh Dr Sholikh Al Huda M Fil I, Kepala Pusat Pengkajian al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Surabaya; Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
PWMU.CO – Muhammadiyah secara norma ideologi dan organisasi memang satu, tetapi secara realitas ditemukan beragam sikap atau wajah (dzu wujuh) keagamaan warganya.
Sikap keagamaan, meminjam Syaiful Hamdi, merupakan suatu keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan bentuk kepercayaannya (ideologi).
Sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang, setuju atau tidak terhadap obyek tertentu berdasarkan latar kejiwaan, koneksi, afeksi, dan lingkungan.
Jika dikaitkan dengan sikap keagamaan Muhammadiyah berarti suatu pikiran dan polah tingkah laku sosial keagamaan warga Muhammadiyah dalam menyikapi dan memposisikan Muhammadiyah yang seharusnya dikarenakan dipengaruhi oleh latar kejiwaan, afeksi, koneksi, lingkungan sosio-kultur, dan kepercayaan (ideologi).
Adapun keragaman sikap keagamaan warga Muhammadiyah disebabkan banyak faktor, di antaranya, pertama faktor perbedaan cara penafsiran (interpretasi) terhadap teks ideologi dan keputusan organisasi Muhammadiyah dikaitkan dengan konteks realitas di masyarakat.
Teks ideologi Muhammadiyah adalah ajaran, konsep, prinsip, nilai-nilai, manhaj, yang tertulis dan terdapat di buku-buku yang sudah diputuskan dan disepakati Muhammadiyah.
Seperti dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Muhammadiyah (MKCH), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, dan Maklumat atau Fatwa Muhammadiyah.
Perbedaan cara tafsir ini, berdampak pada perbedaan pemahaman dalam melihat dan memposisikan Muhammadiyah di tengah pergulatan realitas sosial-keagamaan di masyarakat. Sehingga menghasilkan ragam sikap keagamaan warga Muhammadiyah.
Kedua, faktor penyusupan (infiltrasi) oleh ideologi Islam transnasional yang cenderung berbeda dengan ideologi dan manhaj Muhammadiyah.
Ciri Islam Transnasional
Islam transnasional adalah gerakan Islam yang berasal dari luar Indonesia terutama dari Timur Tengah dan berkembang tumbuh di Indonesia. Kelompok ini di antaranya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ikhwanul Muslimin (IM), jamaah Salafi, Front Pembela Islam (FPI).
Gerakan ini memiliki lima ciri sebagaimana ditulis Ibnu Burdah (Kompas, 31/5/2018). Pertama, simplistic model of Islam, dengan mengembalikan semua persoalan langsung ke bunyi tekstual al-Quran dan al-Hadits.
Kedua, mudah melakukan ekslusi teologis terhadap praktek keIslaman Indonesia pada umumnya atau kelompok Islam dengan penyebutan syirik, bid’ah, kafir, dan sebagainya.
Ketiga, tidak ramah terhadap perbedaan dan keragamaan. Ketiga, menggagungkan budaya Timur Tengah dan meremehkan tradisi Islam di Nusantara. Dan, kelima, redahnya komitmen dan loyalitas terhadap Negara Indonesia Republik Indonesia (NKRI).
Lima ciri di atas sangat berbeda dengan karakter ideologi Muhammadiyah yang cenderung moderat, terbuka, ijtihadi, inklusif-toleran, cinta damai, politik subtantif— NKRI dan Pancasila sebagai konsensus nasionai—dan welas asih (teologi al-Maun).
Artinya secara ideologis, Islam transnasional dan Muhammadiyah itu berbeda. Jika ideologi Islam transnasional ini menyusup ke warga Muhammadiyah, maka cenderung akan mengubah sikap keagamaannya.
Yakni dengan mengikuti pola, tradisi, atau sikap keagamaan kelompok Islam transnasional. Fenomena seperti ini sedang terjadi di lapangan dan meresahkan sebagian besar warga Muhammadiyah.
Satu Muhammadiyah Beragam Wajah Umatnya
Kajian tentang ragam orientasi dan sikap keagamaan Muhammadiyah sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh akademisi. Seperti riset yang oleh Prof Abdul Munir Mulkhan dalam buku Marhaenis Muhammadiyah (2010).
Menurutnya, ada empat model sikap keagamaan warga Muhammadiyah yang dikaitkan dengan orientasi ideologi keagamaan dengan perilaku sosial. Yaitu: Muhammadiyah ikhlas, Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah-NU (Munu), dan Muhammadiyah-Marhaenis (Marmud).
Adapun tulisan ini mencoba melanjutkaan pemetaan di atas, dengan memotret ragam sikap keagamaan warga Muhammadiyah akibat berinteraksi dengan kelompok Islam transnasional dalam konteks kekinian.
Setidaknya ada tiga wajah sikap keagamaan warga Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah rasa Salafi (Mursal) atau Muhammadiyah Salafi (Musa).
Karakter keagamaan Mursal atau Musa ini ingin menampilkan kehidupan sosial keagamaan pada masa lalu yang praktikkan oleh generasi salafus shalih karena dianggap sebagai sunnah.
Seperti memelihara jenggot, menghitamkan jidad, makan dengan cara dua jari, mengharamkan musik atau TV, berpakaian menggunakan prinsip isbal (celana di atas mata kaki alias cingkrang) atau berjubah. Bagi wanita pakaiannya harus bercadar.
Selain itu, mereka cenderung mengungkit kembali masalah khilafiyah yang dianggap bid’ah. Contohnya tahlilan, nawaitu shalat, ziarah kubur, dan sebagainya. Dalam komunkasi mereka sering menggunakan idiom-idiom Arab.
Praktek, tradisi, dan sikap keagamaan tersebut sebelumnya tidak berkembang di tradisi Muhammadiyah.
Dari Muhti hingga Mufi
Kedua, Muhammadiyah-HTI (Muhti). Karena dipengaruhi oleh ideologi dan tradisi HTI, maka Muhti sepakat dengan gagasan negara Islam atau khilafah Islamiyah. Muhti juga cenderung mempersoalkan kembali sistem demokrasi yang dianggap sebagai kafir atau thaghut.
Selain itu, mereka mempersoalkan ideologi Pancasila yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi Islam. Sistem NKRI perlu diganti dengan sistem kekhilafahan.
Dalam memperjuangkan dakwah cenderung mobilisasi massa, demonstrasi di jalanan. Dalam komunikasi menggunakan bahasa-bahasa kearab-araban, serta model kajian yang digunakan adalah sistem halaqah.
Praktik dan sikap keagamaan tersebut sebelumnya juga tidak menjadi tradisi Muhammadiyah.
Ketiga, Muhammadiyah-FPI (Mufi). Karena terpengaruh oleh ideologi dan tradisi sosial-keagamaan FPI, Mufi memandang dakwah Muhammadiyah kurang berani nahi mungkar, hanya berani amar makruf.
Karena itu Muhamamdiyah dianggap tidak tegas terhadap kemaksiatan dan kemungkaran yang terjadi di masyarakat. Strategi dakwah Muhammadiyah disebut lembek padahal harusnya lebih tegas dan berani, seperti dengan model domonstrasi atau swipping langsung ke lapangan.
Mufi juga lebih patuh dan mendengarkan seruan atau instruksi imam FPI dari pada imam Muhammadiyah dalam menyikapi persoalan di masyarakat.
Selain itu mereka cenderung suka berdemonstrasi dengan pakian serba putih bersorban dengan sering berteriak takbir dalam momuntem pertemuan apapun.
Praktik, tradisi, dan model dakwah di atas, tidak menjadi pilihan staretgi Muhammadiyah sebelumnya.
Rapatkan Shaf Jamaah
Kelompok yang sering menuduh-nuduh Muhammadiyah lemah, kurang Islami, dan tidak berani nahi mungkar oleh Prof Amin Abdullah disebut oppositional Islam atau kelompok ekstrimis jihadis.
Untuk menghindari jatuhnya warga Muhamamdiyah pada sikap keagamaan tersebut maka diperlukan at-tajdid fi al-khithab ad-adin (pembaharuan dalam khitab agama).
Mengantisipasi infiltrasi ideologi Islam transnasional ini agar tidak semakin menyebarluas ke dalam warga Muhammadiyah, maka diperlukan penguatan tradisi keilmuan Islam yang lebih kontekstual-membumi.
Di antaranya dengan memperluas sumber kajian yang tidak hanya pada Islam klasik tetapi diperlukan perluasan sumber pada keilmuan kontemporer Islam.
Seperti fillsafat, politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan sebagainya, terutama pada institusi perguruan tinggi Muhammadiyah wabil khusus Fakultas Agama Islam (FAI) sebagai garda terdepan.
Diperlukan juga konsolidasi organisasi secara massif dan strategis dengan segera merapatkan shaf jamaah” pada khittah dan ideologi Muhammadiyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.