PWMU.CO – Pencerah umat fatalis di masa Covid-19 menjadi salah satu tugas media Islam selama masa pandemi berlangsung. Seperti yang dilakukan MATAN dan PWMU.CO.
Demikian yang disampaikan Nadjib Hamid MSi, Pemimpin Umum Majalah Matan dan Dewan Pengarah PWMU.CO dalam bincang media Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Jumat (19/6/20).
Pada kegiatan yang digelar via Zoom bertema Memperkokoh Jaringan Media Islam di Tengah Disinformasi tersebut, Nadjib menyebut tugas media di era pandemi bersifat menjadi pencerah bagi umat dan bangsa dalam konteks dakwah Islam.
“Era pandemi ini lebih khusus mengawal kebijakan PP Muhammadiyah yang di lapangan memang tidak selalu mulus. Sehingga tentu saja di bawah ada pergulatan dan dinamika yang tidak mudah kadang menjelaskannya,” ungkapnya.
Namun, kata Nadjib, ada hikmah luar biasa yang diperoleh pada era pandemi ini, yang bisa memperluas wawasan keagamaan. “Terutama sifatnya panduan praktis ibadah ritual. Dan ini membuka cakrawala baru,” tambahnya.
Memang selama ini, lanjut dia, dalam konteks keagamaan, masyarakat lebih banyak memahami fikih itu dalam situasi normal. “Maka perdebatan-perdebatan soal ketakutan masyarakat tentang tidak jumatan tiga kali kemarin itu bahkan masuk ranah kafir. Kemudian shalat pakai masker itu hukumnya tidak sah dan lain sebagainya,” urai Nadjib.
Momentum pandemi ini, menurutnya, adalah kesempatan menjelaskan banyak hal itu. “Jadi selama ini fikih yang dipahami umat itu fikih dalam situasi normal. Sehingga ketika situasi berubah, situasi darurat itu jarang kita bahas,” ujar Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim tersebut.
“Banyak hal tentu saja. Terkait soal pemahaman atau konsep akidah atau ushuluddin mengenai takfir dan sebagainya, yang kemudian menjadi wacana publik yang luar biasa. Kalau tidak ada pencerahan oleh media Islam, tidak sedikit dari umat ini yang pahamnya sangat fatalis,” lanjutnya.
Pencerah Umat Fatalis Menghadapi Corona
Nadjib lalu menyebut contoh seperti peringatan agar menghindar dari kerumunan, yang bertujuan agar penyebaran virus tidak meluas. “Kiai-kiai banyak yang berseloroh: ‘Urusan mati adalah urusan Tuhan. Meskipun tidak melalui virus Corona juga mati.’ Sedemikian fatalisnya,” tutur Nadjib sembari menyebut hal demikian itu ada juga yang mengikuti, lalu dicampur dengan informasi hoax dan disinformasi.
Sekali lagi, menurutnya, ada hikmah luar biasa bagi kawan-kawan pengelola media untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat. Hal-hal yang sejatinya praktis dan diduga sudah dimengerti oleh masyarakat, tapi pada praktiknya dalam beberapa bulan ini ternyata tidak otomatis seperti itu.
“Kami juga merasakan betul bagaimana di kalangan akar rumput, kebijakan PP itu tidak mudah. Selain juga ada situasi eksternal yang memang yang ikut memperburuk suasana,” paparnya.
Salah satu contoh, kata Nadjib, ketika pimpinan Muhammadiyah mencegah warganya agar tidak menyelenggarakan kegiatan yang mengundang kerumunan massa, baik dalam ibadah mahdlah ataupun di luar ibadah mahdhah, soal shalat Jumat misalnya.
“Ketika kita melarang shalat Jumat di masjid dalam jumlah besar, atau lebih baik jumatan di rumah kalau memungkinkan, itu lantas dijawab: ‘kalau tiga kali kita tidak jumatan kita kafir’. Sementara di sebelah, masjid-masjid itu masih buka. Pada saat yang sama juga aparat itu juga tidak konsisten. Membiarkan itu terus berlangsung,” terang Nadjib.
“Jadi takmir-takmir kami pun banyak yang mengeluh. Lho pak jamaahnya bisa berkurang kalau seperti ini. Tapi, alhamdulillah mulai berangsur menjadi lebih paham. Nah, itu salah satu hikmah media di era pandemi Covid-19 seperti saat ini,” lanjutnya.
Media Islam Perlu Sinergi
Dalam kesempatan tersebut, Nadjib juga setuju jika media Islam—baik yang dikelola komunitas maupun umat Islam—perlu melakukan sinergi dalam berbagai hal. “Karena kelemahan media Islam bukan hanya karena konten, tetapi juga pada manajemen iklan. Sehingga tidak ada media Islam yang benar-benar bisa besar,” tuturnya.
Padahal sejatinya, kata Nadjib, kalau media Islam mau bersinergi, di lingkup internal saja sebenarnya bisa. Hanya memang ada problem etik yang tidak mungkin dilampaui. “Misalnya, kami ini kesulitan kalau ada iklan dari luar yang kemudian menampilkan gambar perempuan tapi tidak berjilbab, misalnya. Itu pasti ada problem nanti jika dipaksakan,” ungkapnya.
Padahal secara finansial, kata Nadjib, sangat menguntungkan. Sementara berharap kesadaran murni itu masih kecil dari dalam. “Iklan rokok menggiurkan sekali. Bagi media-media umum yang tidak terikat dengan komunitas keagamaan itu bisa panen raya dari aspek iklan rokok tersebut,” tuturnya.
Persoalannya kemudian, menurut dia, jaringan iklan itu tampaknya tidak dipegang media Islam. “Nah, bagaimana ini semua digarap supaya kontennya bagus, manajemen keseluruhannya bagus, dan didukung oleh kekuatan yang hebat itu. Saya belum menjumpai, kolaborasi atau sinergi mengelola iklan-iklan yang luar biasa itu didistribusikan ke media-media Islam agar ‘napasnya’ itu bisa panjang,” harap Nadjib.
Kembali pada Situasi Berimbang
Dia juga menyaksikan banyak media yang mengalami situasi sulit di era pandemi ini. Bahkan media-media besar sudah turun oplahnya hingga separuh. “Sehingga kalau kita mau mengambil momentum, sejatinya masyarakat akan kembali pada situasi yang berimbang. Orang akan jenuh juga dengan media sosial. Kita bisa mengambil momentum ini untuk memperbaiki media kita. Saya kira, majalah mungkin tidak akan habis walaupun mengalami penurunan. Media mainstream akan tetap berlangsung walau mengalami penurunan,” ungkap Nadjib.
Di akhir kesempatan, Nadjib berharap ada tindak lanjut dari webinar tersebut, agar hasilnya bisa lebih operasional. “Sehingga hasil diskusi malam ini ada manfaat yang bisa dirasakan oleh semua. Kalau tidak, media online-nya juga kecil, media offline-nya kecil. Ya nanti kita ini dipandang tidak terlalu signifikan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Untuk wacana publik saja kita masih terseok-seok,” ujarnya. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni