PWMU.CO – Din Syamsuddin: Pancasila Lahir 18 Agustus 1945. Hal itu dia sampaikan pada kegiatan Syawalan yang diselenggarakan Pimpinan Cabang IMM AR Fachruddin Yogyakarta dengan tema “Spirit Kebangsaan: Potret dan Problematika Bangsa di Tengah Arus Oligarki”, Jumat (19/6/2020)
Din menyatakan, jika mau objektif dan jujur, sebenarnya hari lahir Pancasila itu pada 18 Agustus 1945. Karena saat itulah Pancasila dengan urutan dan dengan isi redaksi yang lima itu disepakati.
“Kalau 1 Juni, pidato Bung Karno itu belum menampilkan isi-isi Pancasila yang sekarang. Bahkan Ketuhanan itu nomor 5 dalam pidato Bung Karno. Kecuali memang Bung Karno mengemukakan istilah Pancasila sebagai nama yang digali dari khazanah yang ada di Indonesia,” terangnya.
Din Syamsuddin menegaskan, hari jadi Pancasila bolehlah disebut 1 Juni. Tapi hari lahir Pancasila dengan isinya yang lima seperti sekarang ini adalah 18 Agustus 1945.
Din mengaku sengaja mengangkat ini yang sebenarnya sudah banyak diketahui agar menjadi analisis ketika ada Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP)
RUU HIP Penafsiran Subjektif dan Sepihak
Sebelumnya, Pimpinan Pondok Pesantren Internasional Dea Malela Sumbawa itu menuturkan, bangsa ini mengalami problematika besar. Penyebabnya distorsi, deviasi, dan disorientasi pada nilai-nilai dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
“Kita amati telah terjadi sebuah perubahan dan pergeseran dalam kehidupan kebangsaan kita. Sering saya katakan masalah besar yang dihadapi bangsa dewasa ini sebab utamanya adalah telah terjadinya deviasi (penyimpangan), distorsi (pelencengan), dan disorientasi (membalikkan arah) kehidupan nasional dari nilai nilai dasar dan dari cita-cita nasional itu sendiri,” tutur Din.
Din menjelaskan, cita-cita nasional itu menyatakan, Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Lima kata tapi mengandung makna yang dalam.
“Tentu pelaksanaan dan pencapaian cita-cita nasional ini bertolak dan bertumpu pada nilai-nilai dasar atau konstitusi UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya kita tidak secara konsisten menjalankan nilai-nilai dasar itu, baik secara formal struktural maupun implementatif,” tuturnya.
Perubahan Tafsir Pancasila Menjadikan Carut-marutnya Negara
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2005-2010 dan 2010-2015 itu, di tengah perjalanan telah terjadi perubahan memang bukan pada Pancasila. Namun tafsir terhadap Pancasila dalam rancang bangun ketatanegaran dan kenegaraan Indonesia yaitu UUD telah mengalami perubahan.
“Perubahannya sangat fundamental dan signifikan terutama pada aspek-aspek dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama aspek politik dan ekonomi,” ujar Din.
Tokoh bangsa yang telah delapan kali meraih penghargaan internasional ini mengatakan, pasal-pasal jantung UUD 1945 yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa, tokoh-tokoh kemerdekaan—termasuk dari Muhammadiyah—mengalami perubahan fundamental yang menjadikan carut-marutnya kondisi bangsa.
“Inilah yang membawa dampak sistemik dan menimbulkan carut-marutnya situasi dan kondisi yang kita alami terakhir ini seperti politik, ekonomi, dan kehidupan sosial. Termasuk adanya oligarki politik,” tandas Din.
Din menjelaskan, kekuasaan segelintir orang atau segelintir elit lah yang berdampak pada perwakilan, kualitas dan kapasitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga proses pengambilan keputusan itu sendiri dipengaruhi oleh oligarki.
“Sebenarnya tidak hanya pada tingkat ini sumber dari kerusakan demi kerusakan, tapi pada pengabaian terhadap Pancasila itu sendiri. Padahal Pancasila itu luar biasa mengandung filosofical foundation,” tandas Din. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni