Snouck Hurgronje, nama ini sangat tercemar di kalangan aktivis Islam karena sukses melumpuhkan kekuatan kaum muslim. Kesuksesan itu tak lepas dari peran orang-orang pribumi yang memasok informasi kepadanya.
PWMU.CO-Harian Soerabaja Courant tanggal 9 Januari 1890 menulis berita pernikahan Tuan Muslim Belanda Abdul Gaffar dengan gadis Sunda, Sangkana, di Masjid Ciamis.
Peristiwa itu juga dimuat koran Het Bataviaasch Nieuwsblad. Berita pernikahan itu ternyata membuat heboh pejabat kolonial Belanda di Jakarta. Sebab orang yang disebut Tuan Muslim Belanda itu adalah Christian Snouck Hurgronje, dosen Universitas Leiden yang ditugaskan ke Hindia Belanda untuk meneliti kehidupan pribumi.
Saat itu Snouck Hurgronje berusia 33 tahun masih bujangan. Sangkana 17 tahun putri tunggal Raden Haji Muhammad Taib, penghulu Ciamis, yang awalnya keberatan. Karena diperintah Bupati Ciamis yang hari itu ketamuan Snouck, utusan Kantor Urusan Pribumi dari Jakarta akhirnya menerima.
Saking hebohnya hingga terdengar ke negeri Belanda. Sampai-sampai Gubernur Jenderal C. Pijnaker Hordijk menulis telegram ke Menteri Urusan Jajahan. Dia membantah adanya perkawinan itu. Dikatakan, itu hanya peragaan tata cara perkawinan Islam.
”Berita perkawinan itu timbulnya karena di Ciamis ia (Snouck) menginap di rumah penghulu besar. Untuk keperluannya diadakan peragaan selengkap dan semirip mungkin upacara perkawinan bumiputra, dan memberi kesempatan kepadanya mencatat semua upacara adat perkawinan itu dengan seksama,” kata Pijnaker Hordijk dalam telegramnya.
Snouck sendiri juga menyangkal ketika ditanya teman-temannya. Seperti suratnya kepada temannya, Herman Bavinck, dia menyalahkan wartawan. ”Orang-orang koran tidak punya keinsafan batin dengan menceritakan kepandiran-kepandiran baru tentang diriku,” ujarnya.
Anak-Anak dari Perkawinan Siri
Walaupun pernikahannya disangkal, Snouck punya empat anak dari Sangkana, yaitu Salmah, Umar, Aminah dan Ibrahim. Tahun 1895, Sangkana meninggal dunia karena keguguran anak kelima. Anak-anaknya ini dipelihara keluarga Bupati Ciamis dengan biaya dari Snouck.
Tahun 1898 Snouck kawin dengan Siti Sadiyah, putri Haji Muhammad Sueb, wakil penghulu kota Bandung. Dariperkawinan ini dia mempunyai anak bernama Joesoef. Walaupun hanya kawin siri, Siti Sadiyah yang meninggal 1974 mengatakan, suaminya muslim yang baik mengerjakan shalat dan puasa.
Tapi ironinya anak-anak Snouck ini dilarang memakai marga Hurgronje. Bahkan ketika anaknya, Ibrahim dan Joesoef, setelah lulus HBS mendapat beasiswa kuliah di Belanda tak diizinkan karena Snouck tak ingin mendapatkan kesulitan akibat perkawinannya dengan warga pribumi.
Begitulah cara Snouck meneliti masyarakat Islam dengan metode partisipatif lewat perkawinan siri. Jalannya ini mulus karena dibantu tokoh-tokoh Islam yang ingin dekat kekuasaan. Dari perkawinan ini dia bisa berkenalan dengan tokoh dan ulama setempat. Apalagi dia bisa bahasa Arab. Orang yang punya teman Snouck pun merasa bangga dekat dengan Belanda muslim.
Ulama yang punya peran melancarkan tugas Snouck termasuk dalam perkawinan ini adalah Haji Hasan Mustapa, kiai dari Garut. Keduanya berkenalan saat di Arab mulai tahun 1885. Ketika Snouck ditempatkan di Hindia Belanda tahun 1889, Hasan Mustafa menghubunginya.
Dialah yang memasok Snouck segala informasi tentang Islam di Jawa termasuk memberikan segala macam buku. Bahkan mengenalkan kepada kiai saat keliling ke pondok pesantren Ponorogo, Madiun, Surakarta, Yogyakarta, dan Magelang tahun 1889 hingga 1891. Tugasnya sebagai informan ini mendapat bayaran 50 gulden sebulan.
Waktu bertugas ke Aceh tahun 1891, setahun kemudian Hasan Mustapa dibawanya dengan dijadikan penghulu kepala di Kutaraja, Aceh. Empat tahun kemudian Hasan Mustapa pindah menjadi kepala penghulu di Bandung. Posisi penghulu di Kutaraja diberikan kepada Raden Haji Muhammad Rusjdi, kerabat Siti Sadiyah, istri Snouck.
Saat Snouck pulang ke Belanda tahun 1906, Mustapa masih berhubungan lewat surat memberikan info perkembangan Islam di Jawa hingga dia mati tahun 1930.
Bermukim di Mekkah
Christian Snouck Hurgronje memulai petualangannya di dunia muslim langsung di Arab. Dia lulusan Universitas Leiden jurusan teologi dan sastra semit. Bosan menjadi dosen, dia minta ditugaskan ke Konsul Belanda di Jeddah tahun 1884. Umurnya 27 tahun.
Di sini dia mengenal tokoh-tokoh Islam Hindia Belanda seperti Hasan Mustafa dan Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, putra Raden Adipati Natadiningrat, bupati Pandeglang yang bermukim di Jeddah.
Mulanya Aboe Bakar ini bertugas sebagai penerjemah di Jeddah. Dia banyak membantu tugas Snouck mengamati jamaah haji dan mukimin Hindia Belanda di Arab dan orang-orang yang mengurus dokumen di konsulat. Aboe Bakar juga mengajarinya bahasa Arab, Melayu, Sunda, dan Jawa.
Orang ini juga yang mengantarkannya memasuki Mekkah, setelah mengislamkannya lebih dulu. Namanya berganti menjadi Abdul Gaffar. Dia mengenalkan kepada orang-orang Hindia Belanda, maupun ulama Mekkah, memberikan pengetahuan pengajaran di Masjidil Haram.
Ketika Snouck kembali ke Leiden, Aboe Bakar masih aktif mengirimkan laporan tentang Mekkah dan kehidupan warga Hindia Belanda di kota ini. Aboe bakar lantas diangkat menjadi Wakil Kepala Konsul Belanda di Mekkah sampai meninggalnya tahun 1914.
Informan lainnya adalah Habib Abd al-Rahman al-Zahir. Dia orang Aceh keturunan Hadramaut. Mulanya dia pemimpin pemberontak di Aceh yang ditangkap Belanda tahun 1878 dan dibuang ke Jeddah. Dari dia, Snouck menerima informasi tentang masyarakat Aceh.
Snouck hanya bermukim tujuh bulan di Jeddah dan Mekkah. Penyamarannya terbongkar ketika dia bersengketa dengan orang dari Konsul Perancis. Selama itu dia banyak berkenalan dengan ulama Mekkah dan syarif setempat.
Politik Islam Hindia Belanda
Habib Abd al-Rahman al-Zahir memberitahu, orang-orang Aceh sebagai kaum Muslimin yang keras, merasa puas jika seluruh pemerintahan dalam negerinya diatur oleh seorang beriman. Walaupun di bawah pengawasan pemerintah Belanda.
Dia juga menjelaskan tentang struktur pemerintahan Aceh yang terbagi antara sultan, uleebalang, dan ulama serta masing-masing tugas serta karakternya. Sekaligus menuliskan saran-saran menyelesaikan perang Aceh. Dari semua informasi ini Snouck mengirimkan ke pemerintah Belanda yang dipakai mengeluarkan keputusan politik.
Hubungannya dengan tawanan Aceh di Mekkah ini juga memuluskan tugasnya di Aceh tahun 1891 yang bisa merekomendasikan bertemu dengan orang-orang penting. Semua bahan informasi yang diperoleh dari Arab dan petualangannya ke Hindia Belanda, Snouck menjadikannya buku berjudul Mekka dan De Atjeher.
Dari informasi itu, pemerintah kolonial bisa mengakhiri perang Aceh tahun 1904. Sekaligus memperbaiki politik Islam di Hindia Belanda jadi melunak. Snouck menyarankan tiga sikap pemerintah menghadapi Islam.
Pertama, urusan ibadah biarkan, jangan diganggu. Pembangunan masjid dibantu untuk menunjukkan pemerintah peduli kepada muslim. Orang berhaji jangan dicurigai sebagai pemberontak, karena banyak orang hanya berniat ibadah. Bahkan fasilitasi dengan penyediaan kapal.
Kedua, pelihara adat istiadat masyarakat yang bisa menjadi kekuatan melawan kelompok Islam. Ketiga, kekuatan politik muslim saja yang perlu diwaspadai dari pengaruh cita-cita Pan Islam. Dari kelompok ini munculnya pemberontakan.
Snouck juga menyarankan penerapan asosiasi kebudayaan kepada warga ningrat pribumi diperluas dengan memberinya pendidikan ke Belanda. Lewat pendekatan ini orang pribumi menjadi paham pikiran Eropa yang maju sehingga bisa menerima kehadiran pemerintah kafir Belanda. Sekaligus memudahkan jalannya kristenisasi.
Orang pribumi yang dipilih Snouck untuk uji coba asosiasi kebudayaan adalah Hoesein Djajadiningrat, putra bupati Pandeglang, kemenakan Aboe Bakar, kenalannya di Mekkah. Anak ini mendapat beasiswa kuliah ke Leiden setelah lulus HBS. Dia mengambil jurusan sastra dan sejarah yang kemudian menjadi sejarawan terkenal.
Tahun 1906 Snouck kembali ke Belanda mengajar di Leiden dan staf ahli Menteri Jajahan. Empat tahun kemudian dia menikah dengan Ana Maria mendapatkan satu anak perempuan. Selama di negerinya dia kembali lagi dalam kehidupan Kristen. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto