PWMU.CO-Pemimpin kosmetik banyak muncul di pentas politik. Mereka bukan pemimpin otentik yang punya integritas untuk membangun peradaban.
Hal itu dia disampaikan Prof Din Syamsuddin pada webinar Kajian Kritis yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Surakarta dengan tema Integritas sebagai Suluh Peradaban, Selasa (23/6/2020).
”Di banyak lingkaran kehidupan sekarang ini, termasuk di politik, kepemimpinan tidak menampilan diri sebagai pemimpin otentik, tapi pemimpin yang kosmetik,” tutur Din yang Ketua Dewan Pertimbangan MUI.
Pemimpin itu, sambung dia, mengajak orang-orang lain untuk mendukungnya dengan iming-imingan, maka dia memperbesar manusia-manusia yang kosmetik yang tidak sejati sebagai manusia. ”Kalau ini terjadi, maka dia tidak akan bisa memegang amanat secara sempurna. Inilah tanda-tanda dari orang-orang munafik, ketika diberi amanat dia khianat,” tandasnya.
Pemimpin-pemimpin yang berkhianat itu, dia menjelaskan, tidak satu antara ucap dan laku. ”Ketika kampanye waktu Pemilu, banyak sekali janji. Ketika dia mendapat amanat, kemudian berkhianat kepada janjinya. Ketika berkata-kata penuh kedustaan, kebohongan,” katanya.
Pemimpin Integritas
Dia kemudian menjelaskan, pemimpin integritas itu menekankan as-shidqu, kebenaran. Ini sifat rasul. Manifestasi dari integritas dalam diri seorang adalah kejujuran. Itulah manusia otentik.
Sifat integritas itu memadukan as-shidqu dan al-istiqamah dalam memperjuangkan kebenaran. Bagi Muhammadiyah sangat memerlukan adanya kader-kader yang berintegritas.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menuturkan, jika kader Muhammadiyah bisa dibeli, dipengaruhi, maka dia tidak akan menjadi manusia merdeka, menjadi pion-pion dari orang-orang lain.
”Ketika menjadi pion, tidak ada kemerdekaan diri. Ini sesungguhnya bukan insan tauhidi. Insan yang bertauhid adalah dia yang tidak akan takut pada siapapun, dia hanya takut pada Allah,” ujarnya.
Din menyampaikan, integritas apalagi dikaitkan dengan peradaban dapat disebut sebagai suluh. Integritas sebagai pelita, sebagai pemandu bagi kita untuk mewujudkan peradaban. Peradaban mengandung arti sebagai nilai-nilai dalam masyarakat, sebagai norma dan paradigma etika bersama.
”Peradaban adalah tingkat dari suatu kehidupan sebuah masyarakat yang telah mencapai prestasi, perolehan dalam kehidupannya baik sebagai software atau hardware,” terangnya.
Contoh, Nabi Muhammad saw membangun Yatsrib berubah menjadi perkotaan yang kemudian terkenal sebagai Madinatul Munawarah. Yastrib berbeda dengan Mekkah yang sudah menjadi kota kosmopolitan.
”Rasulullah mengubah Yastrib menjadi al-Madinah dalam bahasa Arab yang mengandung arti kota. Kalau kita lihat dari apa yang diwujudkan oleh Nabi bersama sahabat, kurang dari dua dasawarsa telah mampu menciptakan peradaban tinggi. Kalau istilahnya dalam Muhammadiyah, masyarakat yang utama,” terang ketua PRM Pondok Labu Jakarta tersebut.
Kriteria Ummah
Din menjelaskan tiga tanda utama kriteria dari al ummah (bangsa) yang melatarbelakangi adanya peradaban. ”Adanya al-musawah (persamaan) manusia, yang kedua tegaknya keadilan (al-adalah), dan yang ketiga berlangsungnya syura (permufakatan) tentang masalah bersama, inilah al-ummah,” tutur ketua Dewan Pertimbangan MUI ini.
Tiga kriteria ini berada dalam hardware yang disebut al-Madinah. Perpaduan yang baik antara al-ummah dan al-madinah ini membawa umat Islam sebagai komunitas yang menampilkan peradaban utama.
Seperti Muhammadiyah dalam tujuannya adalah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, adalah masyarakat yang berperadaban, yang menampilkan peradaban utama. ”Piranti yang ada di dalamnya itu paling tidak menampilkan nilai-nilai tadi, ada hardware dan software,” ujarnya.
Pimpinan Pondok Pesantren Internasional Dea Malela Sumbawa itu menuturkan, di era modern seperti sekarang ini banyak manusia yang tanpa kemanusiaan, kemanusiaannya terjerembab sampai ke titik nadir. ”Tsumma radadnahu asfala safilin,” katanya.
Menurut Din, manusia modern cenderung kepada pencitraan yang bersifat manipulatif dan kamuflase, karena tidak menampilkan yang sebenar-benarnya. ”Manusia modern itu kehilangan integritas ketika melacurkan dirinya, bahasa lainnya ketika dia bisa dibeli, dipengaruhi, diiming-imingi. Maka ketika itu dia menanggalkan, menggadaikan, dan menjual kesejatian dari kemanusiaannya,” papar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2005-2010 dan 2010-2015 itu. (*)
Penulis Hendra Hari Wahyudi Editor Sugeng Purwanto