Cegah RUU HIP Jadi Pandemi Politik, kolom ditulis oleh Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
PWMU.CO – Sampai saat ini DPR belum mengambil keputusan terkait Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Walaupun berbagai elemen masyarakat menolak keras dan Pemerintah menyatakan menunda pembahasan, RUU HIP masih “on”.
RUU HIP tidak termasuk dalam daftar 16 RUU yang dibatalkan oleh DPR dari prolegnas. Hal ini mengundang berbagai spekulasi. Pemerintah belum atau tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) atas usulan RUU HIP yang merupakan inisiatif DPR.
Ada dugaan, Pemerintah bermain mata dengan DPR dan buying time, testing the water, menjajaki konsistensi sikap kritis, dan mengukur kekuatan arus penolakan.
Dugaan semakin kuat di tengah santernya pemberitaan bahwa Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dan PDIP aktif bergerilya melakukan lobi-lobi kepada partai politik, ormas keagamaan, dan masyarakat sipil untuk mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP atau RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP).
Secara politik dan konstitusi, tidak ada yang salah dengan langkah DPR dan PDIP. Sesuai UU 12/2011, DPR memang belum bisa mengambil keputusan terhadap RUU HIP karena belum melewati tenggat waktu 60 hari dan belum adanya surpres.
DPR tidak ingin melanggar undang-undang. Sebagai partai pengusul dan kekuatan terbesar, PDIP berusaha mencari solusi jalan tengah (win-win solutions) agar tidak “kalah” dan kehilangan muka.
Pandemi Politik
Akan tetapi belum adanya keputusan DPR terkait RUU HIP berpotensi menimbulkan pandemi politik. Pertama, konsolidasi, perluasan, dan peningkatan penolakan oleh berbagai elemen masyarakat.
Latar belakang dan motif kelompok yang menolak memang tidak tunggal. Sebagian menolak dengan alasan konstitusional. RUU HIP tidak urgen dan tidak diperlukan berdasarkan tiga alasan: (1) karena secara konstitusional kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber hukum sudah diatur dalam TAP MPRS nomor XX/1966, TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, TAP MPR nomor III/2000 dan TAP MPR I/2003;
(2) menimbulkan kerancuan sistem ketatanegaraan; (3) banyak muatan materi RUU HIP yang tidak memenuhi azas pembentukan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam pasal 5 dan 6 UU 12/2011.
Yaitu azas kesesuaian, kehasilgunaan, pengayoman dan kepastian hukum. RUU HIP bertentangan dengan UUD 1945 dan berpotensi menimbulkan kontroversi ideologi yang kontra produktif.
Sebagian kelompok menolak RUU HIP karena ditengarai sengaja dirancang oleh kelompok komunis atau pro komunisme untuk membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI), ateisme, sekularisme, dan melemahkan agama.
Indikator yang kuat adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang larangan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme serta materi muatan pasal 7 yang mereduksi Pancasila 18 Agustus sebagaimana Pembukaan UUD 1945.
Kelompok lain adalah mereka yang menolak RUU HIP dan memunculkan kembali Piagam Jakarta. Mereka mengusung dan menonjolkan simbol-simbol Islam. Gerakan kelompok ini menimbulkan kesan konfrontasi Islam dengan Pemerintah dan kelompok nasionalis.
Kelompok Oposisi
Kedua, pandemi politik mungkin terjadi karena adanya kelompok keempat yang menolak RUU HIP sebagai bentuk perlawanan kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan PDIP.
Munculnya kelompok “oposisi” ini merupakan residu politik pemilihan presiden 2019. Bagi mereka kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin adalah buah kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistematis.
Kelompok ini senantiasa bersikap kritis dan menjadi watch dog terhadap apapun kebijakan Pemerintah Jokowi terutama aspek ekonomi dan ketidakmampuan Pemerintah menangani pandemi Covid-19.
Penolakan RUU HIP menjadi instrumen mendelegitimasi dan aspirasi menurunkan Pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin.
DPR yang Mendengar
Kuncinya ada di tangan DPR dan Pemerintah. Pandemi politik dapat dihindari apabila DPR dan Pemerintah mengambil keputusan yang arif, bijaksana, dan konstitusional.
Pertama, Pemerintah tidak cukup menyatakan menunda secara lisan tetapi harus ada pernyataan tertulis yang berkekuatan hukum. Lebih bijak apabila Presiden menyampaikan surpres pada kesempatan pertama sebagai dasar bagi DPR untuk mengadakan sidang.
Memang masih ada waktu sekitar sepuluh hari. Tetapi, semakin cepat Surpres disampaikan akan berdampak positif terhadap kondisi politik.
Kedua, DPR memenuhi dan mengakomodasi arus aspirasi masyarakat yang tidak menghendaki pengesahan dan mencabut RUU HIP dari prolegnas.
Ketiga, DPR hendaknya bijak dan memahami suasana psikologis masyarakat dengan tidak mengusulkan RUU baru sebagai pengganti RUU HIP. DPR hendaknya konsisten melaksanakan undang-undang dimana setiap RUU harus melalui mekanisme yang benar. Jalan pintas dan kompromi politik yang pragmatis bisa membangkitkan penolakan yang semakin kuat dan luas.
Polemik RUU HIP harus segera diakhiri. DPR dan Pemerintah seyogyanya memahami dan merasakan suasana kehidupan dan politik di masyarakat agar pandemi Covid-19 tidak menimbulkan pandemi politik. (*)
Atas izin penulis naskah berjudul asli Mencegah Pandemi Politik yang dimuat koran Republika (Senin, 6/7/2020) ini dimuat ulang PWMU.CO dengan judul Cegah RUU HIP Jadi Pandemi Politik. Editor Mohammad Nurfatoni.