PWMU.CO– Haji zaman dulu mulai menjadi tradisi ritual setelah Nabi Ibrahim merenovasi kembali reruntuhan Kakbah yang ditemukan di Mekkah. Kota tua di tengah padang pasir ini lama ditinggalkan penduduknya karena tak ada air dan tumbuhan.
Dengan kondisi itu Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail di kota tanpa penduduk ini. Kehidupan berangsur ramai setelah Hajar dan anaknya, Ismail, menemukan sumber air Zamzam. Beberapa orang ikut menetap. Mula-mulai Kabilah Bani Jurhum. Kemudian diikuti kabilah lainnya.
Air Zamzam dan Kakbah akhirnya mengundang orang-orang berdatangan. Melakukan ritual penyembahan kepada Tuhan di Kakbah mengikuti ajaran Nabi Ibrahim. Mekkah juga menjadi tempat singgah strategis untuk rute perdagangan ke Syam di utara waktu musim panas. Berdagang ke Yaman di selatan saat musim dingin.
Sepeninggal Nabi Ibrahim dan Ismail, tradisi haji terus dilanjutkan oleh anak-cucunya yang telah terpecah menjadi berbagai bangsa. Mereka datang ke Mekkah untuk untuk thawaf dan napak tilas leluhurnya. Dari bangsa Arab, Yahudi, dan orang Nasrani. Bahkan penyembah berhala pun melakukan ritual haji di sini.
Mereka berhaji dengan cara mereka sendiri. Penganut millah Ibrahim berhaji seperti tata cara Nabi Ibrahim dan Ismail. Penyembah berhala memasang patung di sekeliling Kakbah, ada juga yang menempelkan gambar Nabi Ibrahim, orang Nasrani menempelkan gambar Bunda Maryam di dindingnya.
Bahkan ada yang thawaf telanjang memutari Kakbah. Menurut pengikut ajaran ini thawaf telanjang adalah menghadap Allah dengan kesucian diri, menanggalkan keduniawian, laksana sucinya bayi waktu kelahirannya tanpa dosa. (Tafsir surat al-A’raf: 28)
Ketika Islam menguasai kota Mekkah, Nabi Muhammad saw membersihkan praktik haji yang campur aduk ini. Menghancurkan semua berhala, membersihkan dinding Kakbah dari gambar-gambar sesembahan.
Pembaruan Manasik Haji
Di tahun berikutnya, tahun ke-9 setelah hijrah, Rasulullah mengutus Abu Bakar menjadi Amirul Hajj memimpin jamaah muslim Madinah. Ketika Abu Bakar berangkat turunlah surat al-Bara’ah atau surat at-Taubah.
Rasulullah memanggil Ali bin Abu Thalib ra dan mengutusnya ke Mekah menyusul Abu Bakar menyampaikan ayat surat at-Taubah ini untuk memperbaiki tata cara haji menurut Islam dan memperbaiki perjanjian Hudaibiyah dan perjanjian lain.
Ali bergegas berangkat menunggang unta Nabi bernama al-Adhba’ hingga berhasil mengejar Abu Bakar di jalan. Abu Bakar melihat kedatangan Ali langsung bertanya,”Apakah engkau menjadi amir atau ma’mur (orang yang dipimpin)?”
Ali menjawab,”Saya ma’mur.”
Tiba di Mekkah, Abu Bakar memimpin haji ibadah haji sesuai petunjuk Rasulullah yang disampaikan Ali. Sementara orang-orang Arab melaksanakan haji sebagaimana cara masa jahiliyah.
Sampai tiba hari Qurban 10 Dzulhijjah di tempat jamarat, Ali berdiri dan mengumumkan perintah Rasulullah kepada semua peziarah haji. Ali berkata,”Hai manusia, sesungguhnya orang kafir tidak masuk surga, orang musyrik tidak boleh melakukan ibadah haji setelah tahun ini, orang telanjang tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah.”
Kemudian dia meneruskan,”Siapa saja yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah maka perjanjian itu berlaku hingga waktunya, dan tenggang waktu bagi manusia adalah empat bulan sejak pengumuman ini diberikan kepada mereka.”
”Setelah itu, hendaklah setiap kaum pulang ke tempat mereka yang aman atau negeri mereka, karena setelah itu tidak ada perjanjian bagi orang musyrik, kecuali orang yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah hingga waktu tertentu maka perjanjian tersebut berlaku hingga waktunya.”
Sejak itu ritual haji hanya boleh dilakukan untuk umat Islam menurut aturan yang ditetapkan Rasulullah. Pada masa-masa pemerintahan berikutnya aturan ini diperluas kota suci Mekkah hanya untuk orang muslim. Orang di luar Islam dilarang masuk.
Penulis/Editor Sugeng Purwanto