Mubaligh: Kisah Fiktif dan Amplop ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Mubaligh atau penceramah, memiliki peran penting dalam pencerahan umat. Ia menyampaikan pesan-pesan keagamaan untuk mencerahkan kehidupan.
Jelas sekali bahwa Nabi Muhammad SAW menyampaikan ajaran Islam dalam bentuk khotbah baik dalam rangkaian ibadah Jumat maupun di luar itu. Para sahabat Nabi dan kemudian tabi’in melakukan hal yang sama.
Kapan Lahir ‘Profesi’ Mubaligh?
Namun profesi—dalam hal ini tidak selalu berkaitan dengan bayaran—mubaligh belum dikenal pada zamannya. Kapan mulai ada? Tidak ada data yang pasti kapan profesi itu mulai muncul.
Namun demikian, sekurang-kurangnya pada abad ke-11 Miladiyah, kira-kira 300 tahun setelah Nabi wafat, profesi itu sudah muncul. Ada beberapa literatur yang menyebut kegiatan tersebut. Penceramah profesional itu disebut dengan wa’idh (pemberi nasihat) atau mudzakkir (pemberi peringatan)—yang dalam bahasa kita dikenal dengan mubaligh atau penceramah.
Salah satu kitab yang membicarakan profesi mubaligh ialah Kitab al-Wu’adh wal Mudzakkirin yakni kitab pemberi nasihat dan peringatan, karya seorang ulama’ yang bernama Ibnul Jawzi (1116-1201).
Ia hidup di Baghdad pada zaman keemasan Islam. Pada masa itu telah banyak penceramah di masjid-masjid dan tempat-tempat terbuka. Mereka menyampaikan nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan agar manusia selalu mengingat Tuhan, melaksanakan ajaran Islam, menjaga moral kebajikan dan tidak silau dengan kehidupan duniawi yang materialistik.
Hidup sezaman dengan Ibnul Jawzi, ‘Abdul Qadir Jailani adalah seorang penceramah yang sangat populer di Baghdad. Isi ceramahnya dicatat oleh beberapa muridnya yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku, seperti al-Ghunyah dan Futuhul Ghayb.
Wejangan-wejangan spiritual dan moralnya sangat mencerahkan. Sekalipun demikian, tidak terdapat indikasi bahwa ia mendirikan tarekat apapun.
Selain mereka, pada kurun yang sama, Abu Ja’far al-Hasyimi adalah tokoh populer lain yang sangat prihatin terhadap dekadensi moral. Ia bahkan sering menggerakkan massa untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Ibnul Jawzi mengagumi dua tokoh itu karena integritas moralnya.
Narasi Fiktif dan Porno
Ibnul Jawzi dalam bukunya tersebut mengeluhkan perilaku negatif yang dilakukan oleh penceramah, yang sering membawa hadits-hadits palsu atau cerita-cerita bohong—yang sengaja disampaikan untuk menarik pendengar (audiens).
Ibnul Jawzi melihatnya sebagai ceramah yang dibumbui dengan kebohongan sehingga tidak akan mampu mencerahkan. Sekalipun, pendengar terlihat asyik mendengarkan ceramah seperti itu, dampak buruk ceramah seperti itu bagi pemahaman dan pengamalan agama tidak bisa terhindarkan.
Dalam dunia ceramah saat ini, ada mubaligh (wa’idh atau mudzakkir) yang bersikap lurus dan straight forward dalam berceramah. Isi ceramahnya padat, nadanya datar, dan dalil-dalinya muktabar; tidak banyak humor, lelucon, maupun cerita karangan.
Dengan gaya seperti itu, mungkin sebagian pendengar merasa jenuh dan ngantuk; sebagian lagi merasa pusing karena isinya padat dan memeras otak. Yang tetap serius mendengarkan hanyalah mereka yang benar-benar mencari pencerahan bukan hiburan.
Banyak juga penceramah yang bersifat pragmatis. Agar pendengar terhibur, tetap duduk dengan nyaman, dan tertawa terbahak-bahak, tidak jarang mereka mengarang cerita-cerita lucu dan bahkan bernuansa porno. Semakin porno, ceramah semakin menarik.
Lelucon Amplop
Masih belum puas, penceramah kemudian berbicara soal amplop dan uang. Pada sebuah acara peringatan hari besar Islam, seorang ulama yang namanya cukup dikenal di Jawa Timur ketika berceramah mengritik panitia karena menjemputnya dengan mobil Toyota Kijang.
Panitia dianggap melecehkan karena menggunakan mobil yang tidak bergengsi. Penceramah itu kemudian mengatakan bahwa itu tidak menjadi soal bila amplop yang diberikan nanti tebal. Selanjutnya ia menyebut bahwa maksudnya bukan amplop tapi isinya. Hadirin pun tertawa lepas.
Etis? Bagi penceramah, itu bukan masalah karena sudah terbiasa menyampaikan urusan amplop di depan jamaah dan ternyata ampuh, amplopnya tebal.
Seorang tokoh ormas tinggat nasional dalam sebuah pengajian berkisah tentang perjalanannya ke sebuah negara di Afrika Utara. Ia diundang oleh Dubes RI untuk berceramah. Di antara hadirin ada petinggi negera asing itu.
Di akhir cerita ia mengatakan, “Hadirin tidak usah tanya berapa amplopnya.” Pendengar kemudian tertawa, mungkin karena menganggap lucu atau karena kagum. Bahkan sekarang lebih maju lagi, mereka menyebut isinya tidak penting; yang penting jumlahnya. Hebat!
Perihal lelucon dan amplop itu bisa dipandang dari perspektif yang berbeda. Bagi masyarakat tertentu hal tersebut dianggap biasa. Kebiasaan ngarang cerita dan minta uang di depan umum dengan kata-kata yang vulgar dapat ditoleransi.
Tetapi bagi masyarakat dengan tingkat peradaban tertentu, hal itu dianggap saru, tabu, tidak etis. Setiap orang membutuhkan uang tapi cara menyampaikannya berbeda-beda dari satu tradisi ke tradisi yang lain sesuai dengan tingkat keadabannya.
Seandinya Ibnul Jawzi hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan perilaku penceramah yang gemar melucu, membuat cerita bohong dan porno, serta suka minta uang di depan umum untuk pribadi, apa kira-kira komentarnya? (*)
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Muballigh dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO dengan judul Mubaligh: Kisah Fiktif dan Amplop.
Editor Mohammad Nurfatoni