Tasawuf Muhammadiyah ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Sekalipun tasawuf menjadi tradisi yang telah lama berkembang dalam sejarah Islam, ada kesan bahwa tradisi itu tidak berkembang dalam Muhammadiyah. Padahal sesungguhnya secara substansial tradisi itu cukup kuat berkembang dalam bentuknya yang tersendiri.
Bagi Muhammadiyah tasawuf identik dengan akhlak (tasawuf akhlaqi), ihsan (berbuat sebaik mungkin), atau tazkiyatunnafs (menyucikan jiwa).
Hanya saja karena tasawuf itu oleh Muhammadiyah dipandang mengandung stigma bidah, takhayul, dan syirik, maka tasawuf secara formal tidak mendapatkan legitimasi dalam rumusan faham keagamaan Muhammadiyah. Seandainya tidak ada stigma itu, maka nama tasawuf tentu diterima dengan baik.
Modernisme dan Tasawuf
Gerakan Muhammadiyah yang tajdidi (pembaharuan) memang membawa risiko, yakni tergusurnya banyak tradisi tasawuf yang menyebabkan kegersangan spiritual.
Kegersangan itu terjadi karena pengaruh modernisme dalam Muhammadiyah. Modernisme lahir di Barat sebagai koreksi terhadap situasi abad pertengahan yang didominasi oleh gereja.
Pada abad-abad itu, doktrin gereja memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk kehidupan dan memasuki hampir seluruh persoalan.
Gereja menobatkan penguasa, mengesahkan perkawinan, menentukan kebenaran hukum alam, memberikan ampunan atas dosa, memberikan barokah, menentukan yang boleh dan tidak boleh, dan menarik upeti.
Besarnya otoritas gereja itu menyebabkan hilangnya kebebasan berfikir sehingga mengakibatkan keterbelakangan. Modernisme awal di Barat seolah-olah menyatakan perang terhadap dominasi agama. Perkembangan itu diikuti dengan lahirnya sekularisme, positivisme, eksistensialisme, dan rasionalisme, yang semuanya merupakan ruh dari modernisme Barat.
Modernisme Barat itu kemudian masuk ke dunia Islam dan memberikan inspirasi terhadap gerakan-gerakan atau intelegensia baru untuk menyerapnya ke dalam konsep-konsep Islam.
Muhammadiyah merupakan salah satu dari gerakan-gerakan itu. Muhammadiyah, sebagaimana pembaharu-pembaharu lainnya, mendorong ijtihad dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan manusia.
Rasionalisme dan positivisme mengikis hak-hak preorogatif ulama dalam Islam. Kritik Muhammadiyah terhadap taklid dan kultus individu menyebabkan para ulama di Indonesia khususnya semakin tersudut.
Modernisme itu pada gilirannya menyerang tasawuf dan lebih-lebih tarekat karena dipandang bertentangan dengan semangat kemajuan di zaman baru, zaman modern. Modernisme menggusur berbagai macam kepercayaan yang tidak berdasar kitab suci dan tidak masuk akal.
Secara lebih spesifik, modernisme menghukumi banyak hal yang diajarkan oleh ulama dengan takhayul dan khurafat. Dalam pandangan modernis Islam, hal-hal tersebut bisa mengarah kepada syirik.
Pengaruh Reformasi
Selain oleh modernisme, sikap Muhammadiyah terhadap tasawuf spiritual juga dipengaruhi oleh reformisme. Jika modernisme berkembang di Barat dan kemudian berpengaruh pada dunia Islam, reformisme muncul dari dalam umat Islam sendiri.
Kesadaran akan perlunya pembaharuan didorong oleh kesadaran akan kemunduran umat akibat penyimpangan dari ajaran Islam yang otentik dan korupsi agama oleh ulama.
Dalam semangat reformisme umat Islam harus kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, serta meninggalkan bid’ah, takhayul, khurafat dan syirik.
Kultus individu, konsep wali, karamah, dan berkah yang melekat pada ulama dipandang sebagai korupsi agama. Budaya lokal dan asing yang telah mempengaruhi dan membentuk keyakinan dan pengamalan agama menyebabkan ajaran Islam tertutup. Dengan demikian, reformisme berarti purifikasi akidah dan ibadah.
Insipirasi reformisme awal diberikan oleh Ahmad bin Hanbal yang hidup pada abad ke-9 M. Melalui fatwa-fatwa dalam ceramah dan tulisannya, ia berusaha membendung pengaruh filsafat Yunani yang masuk ke dalam pemikiran Islam.
Ia menyatakan bahwa filsafat dan kalam, yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani, adalah bid’ah. Karena pengaruh itu terlihat jelas dalam pemikiran teologi Mu’tazilah, maka ia menyerang aliran itu. Ia juga menyerang Syi’ah karena dipandang menyimpang dari Sunnah Nabi.
Insiprasi reformisme selanjutnya diberikan oleh Ibn Taimiyah, penganut Ahmad bin Hanbal, yang juga berusaha membersihkan Islam dari pengaruh filsafat Yunani.
Ibn Taimiyah tidak hanya dikenal anti-Mu’tazilah dan Syi’ah tetapi juga anti-tasawuf dan tarekat yang menyimpang. Sementara keterlibatan Ibn Taimiyah dalam tasawuf masih menjadi perdebatan, kecamannya terhadap tasawuf dan tarekat yang menyimpang dari syariat dan penuh bidah dan khurafat tidak diragukan lagi.
Di samping itu, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, yang juga berada dalam tradisi Hanbali, menjadi tokoh yang menginspirasi. Dakwahnya untuk memberantas penyimpangan agama berupa bid’ah, takhayul, khurafat, dan syirik memiliki gaung yang sangat luas.
Bukan hanya di Arabia tetapi juga di berbagai belahan dunia Islam. Sikapnya yang anti-tarekat menjadikannya sasaran sinisme yang dilabel dengan Wahhabi.
Tasawuf dalam dimensi spiritual seperti itulah yang ditolak oleh Muhammadiyah sehingga timbul kesan adanya kegersangan spiritual. Tetapi, bagi Muhammadiyah kenikmatan spiritual bisa dicapai dengan memperbanyak membaca al-Qur’an, shalat sunnah, doa (yang ma’tsurah), berdzikir, bertafakkur, dan bertadabbur.
Pengajian-pengajian dalam Muhammadiyah juga bisa mengangkat tematema sufistik yang bisa meningkatkan kualitas spiritual jamaah. Dengan itu, kenikmatan dan kepuasan spiritual bisa diraih tanpa melalui institusi tarekat atau seremoni yang bersifat khusus.
Itulah tasawuf (bisa juga disebut akhlak, ihsan, atau tazkiyatunnafs) ala Muhammadiyah. (*)
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Tasawuf Muhammadiyah dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.
Editor Mohammad Nurfatoni