PWMU.CO– Thomas Whittemore diyakini sebagai orang yang memengaruhi Mustafa Kemal Ataturk dan Dewan Menteri Turki tahun 1934 untuk mengubah Masjid Agung Hagia Sophia menjadi museum.
Banyak orang penasaran, kenapa masjid yang sudah digunakan selama 500 tahun tiba-tiba diubah menjadi museum. Seberapa hebat orang Amerika itu mengerjai pimpinan Turki?
Yildiray Ogur, seorang penulis Turki mengungkap alasan Hagia Sophia jadi museum di masa pemerintahan sekuler Mustafa Kemal Ataturk. Tulisannya dimuat dalam middleeasteye.net.
Bermula pada 12 Juni 1929, delapan orang Amerika kaya raya dan tokoh Turki bertemu di Hotel Tokatliyan di Jl. Istiqlal Istanbul. Pertemuan itu melahirkan gagasan mendirikan Institut Bizantium Amerika. Motor pertemuan ini adalah arkeolog dan pecinta seni Thomas Whittemore.
Whittemore memiliki jejaring di antara orang-orang kaya Amerika, keluarga Kerajaan Rusia, hingga pelukis Henri Matisse, dan kritikus sastra Gertrude Stein.
Setelah ide mendirikan Institut Bizantium Amerika disetujui, dia langsung melaksanakan agenda pertamanya menyelamatkan artefak Hagia Sophia, warisan Bizantium. Para donatur Amerika itu dipengaruhinya dengan penjelasan arkeologis sesuai keahliannya.
Tak lama setelah pertemuan, dia mengajukan izin ke pemerintah Turki agar melepas plester yang menutup mosaik dan ornamen Bizantium di dinding dan langit-langit kubah Hagia Sophia.
Dengan lobinya, dua tahun kemudian permintaannya dikabulkan. Kabinet Turki mengeluarkan keputusan 7 Juni 1931 persetujuannya. Maka lukisan Yesus, Maria, dan malaikat dibuka penutupnya walaupun saat itu Aya Sofya masih menjadi masjid.
Lobi Dubes AS
Kesuksesan lobi dibantu oleh Joseph Grew, Duta Besar AS untuk Ankara. Joseph Grew yang membawa Mustafa Kemal Ataturk ke Amerika untuk berpidato ke publik pada tahun 1927 tentang Turki Baru yang sekuler.
Izin Ankara untuk membuka mosaik Hagia Sophia dilakukan diam-diam. Surat kabar Turki pun mengetahuinya dua bulan kemudian, setelah ada laporan New York Times. Memang pemerintah Ataturk menyatakan, pembukaan mosaik tidak mengubah wujud masjid. Kaum muslim masih diizinkan shalat.
Tak pelak akhirnya pembukaan mosaik itu memicu kontroversi di masyarakat. Kaum muslim protes. Politikus Halil Ethem, juga pendiri Institut Bizantium, dan Whittemore berusaha menenangkan masyarakat bahwa pekerjaan itu tidak merusak masjid. Hanya ikon-ikon Bizantium dimunculkan lagi. Keduanya beralasan, hal itu tidak dilarang dalam Islam.
Kontroversi terus berlanjut hingga keluar surat Menteri Pendidikan Abidin Ozmen pada 25 Agustus 1934 yang mengubah status Hagia Sophia menjadi museum dikirimkan ke Kantor Perdana Menteri. ”Atas perintah lisan yang saya terima, saya memberikan salinan dari perintah yang mengharuskan Masjid Hagia Sophia menjadi museum,” tulis Ozmen.
Perdana Menteri Mustafa Ismet Inonu segera membentuk komisi pengubahan status Aya Sofya yang bekerja dalam waktu dua hari.
Abidin Ozmen saat pensiun tahun 1949 menceritakan, waktu itu dia berkunjung ke Manajer Museum Hagia Sophia, Muzaffer Ramazanoglu, menjelaskan, saat itu ada kajian akademis, terutama pendapat Ataturk, bahwa mengubah Hagia Sophia menjadi museum yang terbuka untuk pengunjung dari semua bangsa dan agama paling sesuai daripada hanya dikuasai oleh umat Islam.
Kemudian komisi yang dibentuk Perdana Menteri tanpa meminta pertimbangan ulama menyetujui keputusan mengubah Hagia Sophia menjadi museum.
Kejutan dan Kritikan
Keputusan ini mengejutkan banyak orang. Bahkan surat kabar pro-Ataturk Cumhuriyet mengkritik keputusan itu di halaman depan. ”Kita harus mengakui sangat terkejut membaca keputusan Aya Sofya menjadi museum. Kami terus bertanya, museum apa? Aya Sofya sendiri adalah museum paling indah. Monumen sejarah paling baik. Kami tidak dapat memahami perubahan monumen ini menjadi museum.”
Keputusan komisi dibawa ke sidang kabinet pada 24 November 1934. Dewan Menteri menetapkan, menyetujui mengubah Aya Sofya menjadi museum. Alasannya, akan membuat seluruh dunia Timur senang dan menjadi lembaga pendidikan kepada umat manusia.
Muncul banyak spekulasi motif perubahan ini. Ada yang mengatakan, itu pesanan Barat terutama AS. Untuk menunjukkan rezim baru Turki itu sekuler dan damai. Pendapat lain mengklaim itu adalah lanjutan untuk Pakta Balkan yang ditandatangani tahun itu dengan Yunani, Yugoslavia, dan Rumania.
Thomas Whittemore sangat puas dengan keputusan itu. Agendanya berhasil. Dia pun renovasi bangunan yang awalnya untuk Gereja Ortodoks hingga akhir tahun 1940-an. Dia kerahkan seniman dan tukang bangunan terbaik untuk menonjolkan ornamen dan lukisan mosaik Bizantium yang dia kagumi itu.
Di akhir renovasi dia menyatakan, Hagia Sophia merupakan karya seni yang indah dan agung. Dia mengatakan, telah menyelesaikan tugasnya untuk bangunan bersejarah itu. Lalu dia pulang ke AS. Sumber lain menyebut Whittemore adalah sumber intelijen. (*)
Editor Sugeng Purwanto