Prof Zainuddin Maliki: Risiko, Kelas Tatap Muka di Luar Zona Aman. Hal itu disampaikan Anggota Fraksi PAN itu menanggapi rencana pemerintah membuka kelas tatap muka di zona non-hijau.
PWMU.CO – Wacana pemerintah membuka kelas tatap muka di luar zona aman atau hijau mendapat kritik dari Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PAN Prof Zainuddin Maliki.
“Di tengah kondisi penanganan Covid-19 sepeti itu sebetulnya sangat berbahaya kalau di zona kuning, apalagi zona merah, dibuka pembelajaran dengan model tatap muka,” katanya.
Menurut Zainuddin, wacana seperti itu mencuat karena Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tidak serius menyiapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
“Akhirnya banyak memunculkan keluhan. Mulai soal tidak mampu membeli pulsa dan gawai, stress gak bisa ngajarin anak. Orangtua juga banyak yang gaptek. Jangankan di daerah, di Jakarta pun juga ada yang gaptek (gagak teknologi), ungkapnya saat dihubungi PWMU.CO, Rabu (29/7/2020).
“Jadi dilematis. Kiri kanan bermasalah. Masyarakat sudah jenuh dengan PJJ. Oleh karena itu mulai ada yang meminta dilaksanakan pembelajaran di kelas. Namun kalau buka kelas tatap muka jelas risiko,” tegasnya.
Evaluasi Anggaran Kemendikbud
Menurut mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur itu, Kemdikbud perlu mengevaluasi penggunaan anggarannya. Program organisasi penggerak (POP) misalnya perlu di-refocusing.
“Kan bisa dibahas bersama Komisi X DPR RI. POP itu menurut hemat saya adalah program elitis. Ujungnya yang menerima manfaat hanya elitnya saja,” kata dia.
Zainuddin Maliki menyatakan, guru-guru honorer—yang belum memiliki sertifikat pendidik dan memerlukan peningkatan kompetensinya sebagai pihak yang digerakan—justru tidak banyak memperoleh manfaat sebagaimana semestinya.
POP Senasib RSBI
“Saya sudah ingatkan ke Mendikbud dalam rapat di Komisi X, kenapa harus bikin program organisasi penggerak. Itu nanti sama kayak RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional). Tiap sekolah diberi dana cukup besar tiap tahun, sementara sekolah reguler tidak dapat alokasi anggaran serupa. Tapi melihat outcome-nya tidak semua RSBI lebih baik. Bahkan ada sekolah reguler yang lebih baik dari RSBI,” ungkapnya.
Menurut Zainuddin Maliki, POP ini hakikatnya sama seperti program RSBI. Ada guru penggerak yang dilatih oleh ormas penggerak. Seperti yang sudah diumumkan, penggeraknya termasuk Sampoerna dan Tanoto Foundation yang penetapannya menimbulkan kegaduhan.
“Bisa jadi sekolah yang memiliki guru penggerak yang sudah ikuti pelatihannya POP tetapi sekolahnya sendiri tidak kunjung bergerak. Justru sekolah lain yang tidak punya guru penggerak menunjukkan performance yang lebih baik,” ujarnya.
Oleh karena mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu meminta anggaran POP di-refokusing. “Dalam hal ini langsung untuk pengembangan guru. Banyak guru honorer yang perlu diperhatikan Demikian juga guru yang belum tersertifikasi pendidik.
Pemerintah Harus Seirus soal PJJ
Prof Zainuddin Maliki mengatakan, PJJ membutuhkan dukungan dana. Guru dan siswanya butuh pulsa. Mereka juga butuh gawai. Kebutuhan seperti ini yang justru perlu diperhatikan oleh pemerintah.
“PJJ ini kan konsepnya dibantu pemerintah untuk mendapatkan paket pulsa murah, khusus untuk guru dan siswa. Pemerintah katanya kerja sama dengan sejumlah provider. Nyatanya di lapangan meleset. Banyak yang mengeluhkan beban pulsa yang tak terjangkau lagi, hingga ada yang harus jual sawah.
“Bahkan ada yang terpaksa curi laptop, numpang gawai orang dan cara-cara lain untuk bisa ikut belajar daring. Jadi pemerintah harus lebih serius dan memperbaiki banyak hal terkait dengan penyelenggaraan PJJ,” katanya.
Jadi, Zainuddin Mailiki melanjutkan, pemerintah jangan buka dulu kelas tatap muka. “Kalau toh pemerintah memaksa buka kelas tatap muka di luar zona hijau maka tidak ada pilihan lain: protokol kesehatan harus bisa dilaksanakan secara ketat agar keamanan dan kesehatan terjaga,” kata dia.
Tapi, sambungnya, dalam soal ini jangan hanya berhenti di simulasi saja. Harus bisa direalisasikan secara nyata. “Kalau tak ada jaminan (protokol ketat dan keamanan warga sekolah) ya tetap PJJ saja. Namun pemerintah yang memperbaiki sistemnya,” ujar dia. (*)
Penulis/Editor Mohamamd Nurfatoni.