H Muhammad Yazid, Sukses Didik 14 Anaknya Jadi Aktivis. Ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), Jawa Timur.
PWMU.CO – Setiap pemimpin memiliki tantangan berbeda. Biasanya sesuai ilmu dan maqam yang disandangnya. Tapi tantangan terberat justru dari keluarga. Tidak jarang pemimpin hebat, gagal mengurus anak-anaknya.
H Muhammad Yazid termasuk pengecualiannya. Pria kelahiran Surabaya, 5 Oktober 1940 yang akrab dipanggil ustadz ini tipologi pemimpin yang piawai berdakwah di tengah masyarakat, sekaligus berhasil mendidik putra-putrinya.
Anak kedua dari 12 bersaudara tersebut, sudah sejak dini memperoleh pendidikan agama dari lingkungan keluarganya. Ayahnya, M. Jaiz berprofesi sebagai pengrajin sepatu sekaligus ustadz. Sedangkan ibunya, Siti Fatimah, pedagang dan guru ngaji.
Tempat tinggal orangtuanya di kawasan Boto Putih, dekat Masjid Ampel Surabaya, yang tak jauh dari kediaman KH Aunur Rofiq Mansyur, putra KH Mas Mansyur, mengantarkan dirinya mengenal tentang gerakan Muhammadiyah.
Dari sosok yang akrab dipanggil Pak On, yang juga Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Surabaya tahun 1966-1974 itulah, Yazid muda memperoleh banyak pelajaran mengenai pentingnya perjuangan, dan ideologi gerakan Islam berkemajuan. Terlebih setelah melanjutkan studi di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Pria Antimainstream
Dalam pandangan anaknya, lelaki yang pernah kuliah di Jurusan Pendidikan Universitas Saweri Gading, Sulawesi Selatan—setelah menjalani wajib militer di sana—itu memiliki literasi tinggi. “Ayah belajar kitab kuning secara otodidak. Berlangganan koran dan majalah anak,” kata Nur Ainy, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jatim memberikan kesaksian.
Usai lulus dari Mu’allimin, pada Januari 1967 Yazid dijodohkan dengan Suchufil Laily, gadis kelahiran Lumajang. “Ayah ketemu ibu karena dijodohkan saudara jauh,” ungkap istri Hasan Ubaidillah, Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PWM Jatim tersebut, mengenai romantika orangtuanya.
Dalam keluarga, pria berperawakan tinggi ini dikenal antimainstream. Saat itu pemerintah sedang gencar mengampanyekan program KB (keluarga berencana), yang membatasi jumlah anak maksimal dua. Tapi Yazid menolak program tersebut, dengan alasannya sendiri. Jumlah anaknya pun tak terbendung, 14 totalnya.
Inilah 14 Anaknya
Nur Hayati anak tertua, aktif di Majelis Ekonomi PCA Sukolilo tahun 2015-2020; Zainuddin (Surabaya); Nur Laila (Wakil Sekretaris PDA Surabaya 2015-2020), Zainal Abdi (Ketua Komisariat IMM UMSurabaya Tahun 1992), dan Nur Komariyah (Sekretaris PCA Karangpilang tahun 2010).
Sedangkan anak keenam, Nur Jannah menjadi ketua PCNA Karangpilang tahun 1995; Nur Ainy (Wakil Sekretaris PWA Jatim 2015-2020); Nur Hidayah (Anggota MPK PWM Jatim 2015-2020). Anak kedelapan, Nur Fauziyah.
Kemudian Nur Habibah (Wakil Bendahara PW IPM Jatim 2002-2004); Nur Nadhifah (Surabaya); Nur Syahiroh (Bendahara PC IRM Karangpilang tahun 2005), Nurul Kamaliyah (IMM Umsida tahun 2008). Terakhir, anak ke-14, Zainal Irsyad (IMM Umsida tahun 2010).
Kiat Mendidik Anak
Ustadz Yazid mengaku tidak punya kiat khusus dalam mendidik keluarga besarnya. Kecuali selalu menekankan tawakal kepada Allah SWT. “Kami membiasakan untuk mengembalikan semuanya kepada Allah karena pasti ada jalan keluarnya,” tandasnya suatu ketika.
Dia mendidik anaknya bersama sang istri. Utamanya mengenai materi agama, seperti membaca al-Quran dan kaifiyah ibadah. “Selain ayah, ibu juga berperan penting dalam mendidik semua anaknya,” ungkap Nur Hayati, si sulung yang jumlah anaknya hampir menyamai orangtuanya.
Setelah itu, lanjut Yatik—demikian panggilan akrab Nur Hayati—anak yang telah mendapat pelajaran dari orangtua, harus bisa menularkan ilmu pada adik-adiknya. “Prinsipnya, semua anak adalah guru bagi adik-adiknya,” imbuhnya.
Tokoh yang dikesankan ‘kaku’ ini memang dikenal memiliki komitmen ideologi yang sangat kuat. Semua anaknya, diwajibkan sekolah di Muhammadiyah. Alasannya, supaya tidak ketinggalan materi agama. “Kecuali kalau di Muhammadiyah tidak ada jurusan yang dipilih, boleh kuliah di tempat lain,” kata Nur Hidayah, alumni Unesa Jurusan Pendidikan Luar Biasa yang kini tinggal di Malang.
Bersahaja
Menurut kesaksian anak-anaknya, tokoh yang rajin mengisi pengajian di sejumlah tempat ini memiliki karakter bersahaja. Dia tidak suka sesuatu yang sifatnya tabdzir dan pantang meminjam barang orang lain. “Bila ada barang rusak harus dibetulkan sendiri,” kata Zainuddin, anak kedua.
Kepada semua anaknya, dipesankan agar tidak melakukan hal yang melampaui batas kemampuan (harta). Tapi mastatha’tum. Hal itu antara lain dipraktikkan dalam resepsi pernikahan anaknya. Bila punya hajat menikahkan putra-putrinya, hanya mengundang orang secukupnya sesuai kemampuan.
“Tidak menerima buwuhan, karena itu adalah kegiatan tasyakuran. Pernah dibantu jamaah pengajian untuk konsumsi hajatan. Tapi tidak mau menerima,” kata Nur Laila, anak ketiga, memberikan contoh nyata, seraya menambahkan wanti-wanti ayahnya, “Menikahlah karena Allah, sehingga menjalani pernikahan sesuai syariat dalam kondisi apa pun.”
Lakukan Pekerjaan Domestik
Di tengah kesibukannya yang luar biasa, beliau tidak malu melakukan pekerjaan apa pun, untuk mendapatkan penghasilan. Baginya yang terpenting halal. Termasuk rajin membantu pekerjaan domestik. “Jangan meremehkan pekerjaan domestik. Karena hal itu berpeluang jadi sektor usaha potensial,” tausiyahnya di hadapan putra-putrinya.
Sebagaimana diuraikan Nur Komariyah, anak kelima, tiap hari rutinitas ayahnya seperti tanpa jeda. Kalau pagi, membaca kitab kuning. Siang hingga sore, berangkat ke pabrik pengolahan karet milik orang Tionghoa, dengan tetap membawa kitab. “Beliau menjadi orang kepercayaan di pabrik tersebut,” kata Mery, panggilan akrabnya.
Malamnya, mengisi pengajian, rapat Muhammadiyah dan ngompreng untuk menambah penghasilan. “Bemo plat kuning miliknya, digunakan untuk mencari penumpang,” imbuh Mery.
“Namun setiap malam tak pernah melewatkan evaluasi kegiatan anak-anaknya hari itu,” ungkap sang isteri, Suchufil Laili, yang fokus pada pengasuhan anaknya. Karena untuk urusan cuci dan masak, selalu dibantu dua asisten rumah tangga.
Menyadari jumlah anaknya tidak sedikit, dia mengajarinya untuk mudah berbagi dan mandiri. “Kalau ada anaknya mendapat beasiswa karena prestasi, dialihkan untuk murid yang lain. Bila sudah lulus SMA, anak-anak harus sudah mandiri,” ujar Zainal Abdi anak keempat yang kuliah sambil berdagang.
Mengetahui bahwa semua anaknya aktif berorganisasi, dia berpesan agar tetap menjaga keseimbangan kehidupan keluarga dan berorganisasi. “Tidak boleh menjadi PLO (pasukan lali omah). Karena tanggung jawab utama adalah menjaga keluarga dari api neraka,” kata Nur Habibah—pengajar SDMT, istri Timur Aji Hantoro, Sekretaris Majelis Pendidikan Kader PDM Ponorogo—menirukan pesan ayahnya.
Dalam pandangan anak-anaknya, pria yang wafat pada Selasa siang, 12 Juli 2011, itu sangatlah perhatian pada keluarga. “Beliau sering mengajak piknik dan menyediakan suplemen untuk anak-anaknya,” ujar Nur Syahiroh—pengajar di almamaternya, SDM 22 Surabaya—diamini oleh saudara-saudaranya yang lain.
Peduli Kader Ulama
Sebagai Wakil Ketua PDM Surabaya periode 1985-1990 yang membidangi tarjih, H Muhammad Yazid merasa prihatin atas kelangkaan ulama tarjih saat itu. Kepada Mahsun Jayadi, beliau memberikan amanah agar membentuk kader ulama muda, khususnya di bidang ketarjihan.
“Saya wujudkan amanah tersebut dengan menyelenggarakan kursus intensif HPT (Himpunan Putusan Tarjih) yang diikuti 20 pemuda, di gedung SMPM 9 Jalan Kertajaya Surabaya (samping SPBU),” kenang mantan Wakil Ketua PDPM Surabaya yang kini Ketua PDM Surabaya, dengan wajah berseri karena mendapat apresiasi luar biasa.
“Sambil menepuk punggung saya, beliau komentar: Ya, begitulah. Ini yang saya harapkan. Mudah-mudahan sukses,” cerita Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) itu mengenai kebanggaan sang pemberi amanah.
Ketua PDM Surabaya
Semasa hidupnya, H Muhammad Yazid beberapa kali masuk jajaran PDM Kota Surabaya. Puncaknya, pada periode 1990-1995 terpilih menjadi ketua. Sejumlah karya monumental diukir olehnya. Antara lain, mengawali pembangunan Kantor PDM di Jalan Sutorejo, Surabaya, yang kemudian dirampungkan oleh penggantinya.
Kantor yang berada di dekat kampus UMSurabaya itu, dalam perjalanannya ditukar guling dengan aset milik UMSurabaya di Jalan Wuni, yang lokasinya berada di tengah Kota Surabaya.
Pada periodenya, tersusun buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah. Menyusul kemudian pembentukan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) oleh periode ketua berikutnya.
Semasa kepemimpinannya pula, PDM Surabaya menjadi tuan rumah Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1993. Acara tersebut bukan hanya sukses dari sisi penyelenggaraan, tapi juga berhasil membangun citra Persyarikatan yang mampu membongkar kebekuan politik kekuasaan.
Pasalnya, di tengah ramainya dukungan politik agar Presiden Soeharto terpilih kembali pada Sidang Umum MPR, M. Amien Rais, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah justru menyuarakan suksesi nasional, agar Soeharto tidak mencalonkan lagi sebagai Presiden RI.
Tak pelak, isu suksesi mewarnai pemberitaan nasional. Memperoleh blowup secara besar-besaran oleh semua media massa. Lima tahun kemudian, isu suksesi yang digelindingkan awal di Surabaya, itu benar-benar menjadi kenyataan. Bahkan bukan hanya terjadi suksesi, tapi reformasi.
Aktif di Partai
Pascareformasi, Prof Amien Rais sebagai lokomotif reformasi ‘dipaksa’ oleh sejarah untuk mendirikan partai politik. Lalu berdirilah Partai Amanat Nasional (PAN). Ketika awal berdiri PAN, Ustadz Yazid diminta oleh Prof Amien Rais untuk memimpin DPD PAN Surabaya periode pertama. Bahkan sempat menjadi anggota DPRD Kota Surabaya pada 2004-2009.
Terkait proses menjadi anggota legislatif, Arif AN yang ketika itu Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda (PDPM) Muhammadiyah Surabaya, punya kesan bahwa beliau memang pemimpin yang tidak ambisius.
“Beliau tidak meminta. Tapi kami sebagai kader yang berjuang agar beliau masuk daftar calon legislatif nomor urut 1 dalam pemilihan anggota DPRD Kota. Alhamdulillah, akhirnya beliau terpilih menjadi anggota DPRD Kota Surabaya,” kenang Sekretaris PDM Surabaya 2015-2020 ini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post