Anji, The Death of Expertise, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior, tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Kasus Anji dan Hadi Pranoto, sekali lagi, menjadi bukti matinya kepakaran, the death of expertise. Revolusi digital memakan banyak korban dan melahirkan pahlawan-pahlawan instan.
Revolusi digital, internet, dan medsos telah memenuhi hasrat heroik manusia dan memuaskan dahaga orang akan narsisme.
Siapa pun bisa bicara apa saja, kapan saja, di mana saja. Orang boleh dan bisa bicara apa saja, mulai dari resep ayam geprek sampai cara praktis tinggal di Planet Mars, atau soal filsafat ketuhanan yang paling rumit.
Tidak perlu William Wongso untuk berbicara soal resep ayam geprek. Tidak perlu menunggu Elon Musk untuk menjelaskan kemungkinan kehidupan di Planet Mars. Tak perlu mendengar Imam Alghazali atau Slavoj Zizek untuk menjelaskan eksistensi Tuhan. Siapa saja boleh berbicara apa saja. Soal benar atau tidak, itu lain soal.
Google dan mesin pencari, search engine, telah menggantikan peran para pakar. Para influencer dengan pengikut puluhan juta orang menjadikan para pakar terpaku dalam peti mati.
Selebritas atau Pakar?
Sederetan selebritas, dengan pengikut jutaan orang di dunia maya, telah menjadi orang-orang yang sangat berpengaruh yang cuitannya lebih didengar ketimbang para pakar-pakar universitas terkemuka.
Seseorang tanpa identitas yang jelas tiba-tiba saja disebut profesor, dan mengaku sudah menemukan obat ajaib yang cespleng bisa langsung menyembuhkan pasien Covid 19. Bahkan, Ratu Elizabeth dari Inggris juga diklaim sudah memesan obat ajaib itu.
Sebelum Anji dan Hadi Pranoto, gejala death expertise juga terjadi ketika Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengumumkan penemuan kalung ajaib yang bisa mengusir virus Corona. Alih-alih mengurusi pertanian yang menjadi keahlian dan tupoksinya, Departemen Pertanian malah sibuk mengurusi kalung ajaib.
Temuan ini bikin heboh karena memang dipublikasikan besar-besaran di media konvensional dan media sosial. Penyanyi dangdut Iis Dahlia, yang punya pengikut 12 juta orang di dunia maya, direkurt untuk memromosikan kalung itu.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto juga menunjukkan fenomena death of expertise. Sejak awal munculnya pandemi dia malah berada garis paling depan sebagai penyangkal.
Lalu ketika pandemi benar-benar terjadi Menteri Terawan malah memperkenalkan ramuan jamu yang diklaim bisa menyembuhkan pasien Covid 19. Klaim Menteri Terawan ini sebelas-duabelas dengan Hadi Pranoto.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi adalah dead expert ketika mengatakan virus Corona tidak mempan bagi orang Indonesia karena sudah biasa makan nasi kucing. Kita prihatin ketika kemudian Pak Menteri terjangkit Covid 19.
Jokowi hingga Donald Trump
Presiden Jokowi juga dead expert ketika mengatakan bahwa virus Corona akan mati dalam cuaca panas. Sekarang ini ketika cuaca sedang panas-panasnya penyebaran malah naik.
Donald Trump yakin hidroklorokuin bisa menangkal Corona dan ia mendapatkan suntikan itu secara berkala. Trump juga mengatakan suntik deterjen bisa menjadi penangkal Corona. WHO membantahnya habis-habisan, tapi kepakaran WHO pun telah mati.
WHO dituding sebagai bagian dari konspirasi yang mengarang cerita pandemi. Mereka yang menjadi penganjur pemakaian masker disebut sebagai kacung WHO.
Di era post-truth, pasca-kebenaran seperti sekarang, orang tidak tertarik mendengarkan kebenaran. Orang lebih suka mendengarkan apa yang ingin mereka dengar. Orang tidak mencari informasi, mereka mencari konfirmasi.
Psikologi ini yang dieksploitasi dengan munculnya para influencer yang menjadi terkenal dan kaya raya secara instan.
Cari Fatwa ke Kiai Google
The death of expertise telah menjalar ke mana-mana sampai ke urusan agama. Peran kiai dan ulama tradisional sudah digeser oleh Kiai Google dan Ulama Medsos.
Dulu orang mencari fatwa kepada MUI. Dulu orang mengaji kepada kiai. Sekarang cukup cari fatwa di Google dan mengaji lewat YouTube.
Medsos membawa berkah tumbuhnya semangat keberagamaan, tapi harus dibayar dengan menipisnya otoritas para ulama. Santri-santri digital yang mengaji lewat internet tumbuh lebih besar dibanding santri pengajian di masjid atau majlis taklim.
Para ulama tradisional merisaukan cara pengajian yang tidak mutawatir, tidak nyambung sanadnya kepada Rasulullah. Tapi, sia-sia. Santri digital malah berkembang lebih pesat.
Kitab-kitab kuning berbagai disiplin ilmu dari berbagai generasi salaf bisa ditemukan aplikasinya secara digital. Ulama-ulama tradisional pun mendapatkan jutaan santri digital.
Dari Televangelist ke Netangelist
Fenomena dakwah di Indonesia mengikuti pola perkembangan teknologi, sama juga dengan yang terjadi di Amerika atau negara-negara lain.
Ketika perkembangan media massa belum masif para “evangelist” melakukan dakwah secara konvensional lewat pertemuan tatap muka.
Lalu setelah muncul televisi, lahirlah generasi pendakwah yang memakai televisi sebagai media dakwah. Pendeta Pat Robertson bahkan punya stasiun televisi sendiri, dan dia dikenal sebagai “televangelist” pendakwah televisi. Sekarang di era digital bermunculanlah para pendakwah digital “netangelist” pendakwah lewat internet.
Di Indonesia era televangelist memunculkan pendakwah generasi Zainuddin MZ, atau yang lebih muda seperti Aa’ Gym. Lalu di era netangelist sekarang menjamur para pendakwah digital dan milenial mulai dari Hanan Attaqi, Firanda, Khalid Basalamah, Felix Siauw, atau Adi Hidayat. Dan dari kalangan pesantren tradisional belakangan muncul Gus Baha’.
Matinya kepakaran di semua bidang, termasuk agama, tidak bisa dihindarkan, dan tidak akan ada jalan untuk kembali. Otoritas itu pergi dan tidak akan bisa kembali lagi. Kepintaran para pakar dan ulama itu akan diambil alih oleh teknologi kecerdasan buatan, artificial intelligence.
Algoritma pada akhirnya akan mengambil alih otak manusia. Kecerdasan buatan telah melampaui kepintaran manusia. Manusia bisa menyusun algoritma untuk membuat kecerdasan buatan. Tapi sekali mesin itu dibuat dia akan berkembang terus melebihi kecerdasan manusia.
Mesin-mesin akan menggantikan manusia untuk menjadi penasihat di bidang kesehatan, keuangan, pendidikan, keluarga, perkawinan, perjodohan, politik, kesenian, agama, dan apa saja.
Para ahli benar-benar telah mati. (*)
Anji, The Death of Expertise, Editor Mohammad Nurfatoni.