PWMU.CO– Sukarni, pimpinan pemuda yang menculik Bung Karno dan Bung Hatta lalu dibawa ke Rengasdengklok ternyata ciut juga nyalinya saat kembali ke Jakarta tanggal 16 Agustus 1945 malam sekitar pukul 20.00.
Dalam buku Sekitar Proklamasi diceritakan, Sukarni balik ke Jakarta satu mobil dengan Bung Karno, Bung Hatta, Mr Subardjo. Sesampai di rumah Bung Hatta Oranje Boulevard (Jl. Diponegoro 57), langsung diadakan briefing kilat menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai akibat penculikan itu.
Setelah pembagian tugas Bung Hatta mengatakan, semua pulang untuk istirahat sebentar lalu berkumpul di rumah Laksamana Mayeda di Nassau Boulevard 1 yang diubah Jepang jadi Jl. Meiji Dori (Jl. Imam Bonjol 1) pukul 24.00 untuk rapat PPKI yang batal diadakan siang tadi. Subardjo diberi tugas mengontak semua anggota PPKI yang menginap di Hotel des Indes.
Tiba-tiba Sukarni nyeletuk,”Bagaimana saya?”
”Ya pulang juga,” jawab Bung Hatta. Sukarni tinggal di Asrama Pemuda Jl. Menteng 31. Dekat jaraknya dengan rumah Bung Hatta. Hanya beberapa blok. Tapi dia ragu-ragu keluar untuk pulang.
”Kalau begitu saya minta Bung meminjami satu stel pakaian karena dengan baju PETA yang saya kenakan sekarang, saya dapat ditangkap oleh Kempetai,” tukas Sukarni.
Mendengar omongan itu semua orang jadi tertawa terbahak-bahak. Sukarni juga ikut tertawa termalu-malu. Omongan Sukarni itu sangat berbeda nadanya sewaktu di Rengasdengklok sepanjang siang yang berlagak komandan prajurit gagah perkasa yang perintah sana perintah sini hendak merencanakan revolusi.
”Saudara berani mengadakan revolusi menggempur Jepang. Tetapi sekarang saudara takut ditangkap Kempetai karena memakai pakaian PETA?” seloroh Bung Hatta.
”Itu lain halnya Bung,” jawab Sukarni. ”Menggempur Jepang dalam suatu revolusi saya berani. Tapi akan ditangkap oleh Jepang begitu saja karena memakai pakaian PETA, apa gunanya.”
Sambil tertawa Bung Hatta masuk rumah mengambil satu stel pakaian yang pas untuk Sukarni. Untunglah ada pakaian yang cocok dengannya. Sebab waktu itu Sukarni masih kurus. Tidak segemuk sewaktu sudah makmur jadi politikus. Hanya celananya yang agak pendek sedikit. Setelah ganti pakaian, dia pulang ke asramanya.
Pagi saat menculik dua pimpinan ke Rengasdengklok, dia berpakaian sipil. Di desa itu dia ganti seragam PETA hingga pulang lagi ke Jakarta. Sebenarnya dia bukan anggota PETA. Tidak tahu darimana dia pinjam seragam itu untuk gagah-gagahan.
Larangan Pakai Seragam PETA
Tanggal 16 Agustus 1945 mulai pukul 13.00 kondisi politik berubah. Jepang yang sudah menyerah kepada Sekutu saat bom dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima menjadikan militer Jepang di Jawa dilarang mengubah status quo.
Militer Jepang tidak berkuasa membuat keputusan kecuali atas perintah Sekutu. Karena itu pimpinan PETA mengumpulkan semua daidanco di Bandung memberitahukan agar melepas semua atribut PETA dan menyerahkan semua senjata.
Karena paham situasi yang sudah berubah ini Sukarni takut keluar malam dengan memakai seragam PETA. Pasti akan dicegat militer Jepang dan ditangkap karena melanggar aturan.
Sukarni akhirnya mengikuti rapat bersama anggota PPKI di rumah Mayeda dengan baju pinjaman dari Bung Hatta. Dia juga berperan memberikan usulan saat menyusun naskah proklamasi yang dibacakan Bung Karno pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56.
Pemuda kelahiran Blitar ini di zaman itu pemimpin kelompok Menteng 31. Ini asrama pemuda yang dikenal garis keras. Teman-temannya seperti Chaerul Saleh, Wikana, Sutan Syahrir, dan lainnya.
Dia bekerja sebagai wartawan Antara bersama Adam Malik, Wikana, Asmara Hadi, dan SK Tri Murti. Teman-temannya ini bertemu saat kuliah di sekolah jurnalistik Bandung dan aktif di pergerakan pemuda. Dia juga dekat dengan Tan Malaka lalu mendirikan Partai Murba. Sukarni menjadi ketua umumnya.
Di zaman kolonial, Sukarni menjadi buron pemerintah karena keradikalannya memimpin Perhimpunan Indonesia Muda tahun 1936. Markasnya digerebek polisi. Sukarni berhasil lolos lalu lari ke Banjarmasin dan Balikpapan. Di kota terakhir ini dia ditangkap dan dipenjara di Jakarta. Ketika Jepang masuk dia dibebaskan.
Di zaman kemerdekaan dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Lewat Partai Murba dalam Pemilu 1955 mengantarnya menjadi anggota Dewan Konstituante. Tahun 1961-1964 Sukarni menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok.
Hidupnya dekat dengan penjara
karena watak oposisinya kepada pemerintah. Di sela-sela tahun 1946-1948
beberapa kali masuk penjara karena menentang pemerintah dan PKI Muso di masa
Kabinet Amir Syarifuddin. Usai menjadi Dubes Tiongkok, dia dipenjara karena
mengkritik PKI.
Di awal Orde Baru, ditunjuk menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung (DPA). Meninggal dunia pada
7 Mei 1971 di usia 55 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata. (*)
Editor Sugeng Purwanto