PWMU.CO – Satu Langkah SDMM Menuju Sekolah Ramah Anak (SRA). Ada tiga langkah menuju SRA, yaitu Mau, Mampu, dan Maju. Saat ini SDMM sudah di tahap Mau.
Hal itu dikatakan Ria Eka Lestari, Penanggung Jawab Bimbingan dan Konseling SDMM. “Ada tiga langkah menuju SRA, yaitu Mau, Mampu, dan Maju. Saat ini SDMM berada di tahapan Mau.” ujarnya paa PWMU.CO, Selasa (18/8/2020)
Dia menjelaskan, pada tahap Mau tersebut SDMM sudah melakukan langkah-langkah berikut. Pertama, membuat video kesediaan Kepala Sekolah SDMM untuk menjadi Sekolah Ramah Anak.
Kedua, sosialisasi SRA dengan materi Sekolah Ramah Anak, Dukungan Psikologi Awal, dan Praktik Baik. Ketiga, mengadakan pemantapan SRA dengan materi Konvensi Hak Anak dan Disiplin Positif.
Langkah selanjutnya yang akan ditempuh SDMM untuk menyelesaikan tahapan Mau, kata dia, adalah pengajuan SK SRA ke Pemerintah Kabupaten, Deklarasi SRA, dan pemasangan papan nama SRA. “Setelah itu, barulah SDMM melaju pada tahapan Mampu,” jelasnya.
Untuk materi Konvensi Hak Anak sudah disosialisaskan pada guru, karyawan, dan orangtua siswa pada Sabtu (8/8/2020). Materi tersebut disampaikan Elvi Hendrani—Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Baca Berta Terkait: SDMM Sosialisasi Konvens Hak Anak
Sedangkan materi Disiplin Positif disampaikan Bekti Prastyani, Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak, dalam Pemantapan Sekolah Ramah Anak SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik, Sabtu (15/8/20).
Perilaku Orang Dewasa dan Emosi Negatif
Bekti Prastyani menjelaskan, perilaku orang dewasa dapat menjadi sumber emosi negatif pada anak-anak. Pertama, penolakan (rejecting). Dia menegaskan, tindakan penolakan terhadap anak kerap dilakukan oleh orang dewasa, baik di satuan pendidikan maupun di rumah sebagai orangtua.
Penolakan yang dimaksud, lanjutnya, adalah bagaimana kita tidak hadir sehadir-hadirnya sebagai orang dewasa di sekitar anak. “Artinya apa? Bahwa kita hadir di hadapan anak tetapi adanya kita tidak dirasakan oleh anak,” ujarnya.
Hal itu, kata dia, karena kita sebagai orang dewasa sering mengucapkan kalimat penolakan. “Contoh, kamu tidak seperti adikmu, kamu tidak seperti kakakmu. Lihat adikmu, lihat kakamu. Atau guru di satuan pendidikan mengatakan, kamu tidak seperti temanmu, lihat temanmu, temanmu seperti ini dan itu,” tegasnya.
Kedua, pengabaian (ignoring). Tidak menunjukkan kedekatan dengan anak. Kedekatan di sini, lanjut Bekti Prastyani, lebih pada kata kelekatan.
Ia menjelaskan, terkadang orang dewasa tidak menyadari apa yang kita sampaikan dan lakukan adalah bagian dari pengabaian.
Bekti Prastyani mencontohkan, pada suatu pagi kita sebagai bunda harus disibukkan menyiapkan sarapan pagi. Anak-anak juga di pagi hari ingin menyampaikan segala sesuatu yang dirasakan dan dipikirkan.
“Ma tadi malam saya mimpi seperti ini. Yang kita jawab adalah sebentar, mama masih repot, nanti kalau mama kamu ajak cerita, ini gak selesai masaknya,” ujarnya.
Dalam pemahaman anak, lanjutnya, ia menganggap ibunya lebih sayang dengan masakan. Dalam kasus tersebut, kata Bekti Prastyani, hadirnya seorang ibu di depan anak tidak masuk ke hati anak.
Teror pada Anak
Ketiga, teror (terorizing). Orangtua pemarah dan selalu mengkritik tidak profesional. Bekti Prastyani mengatakan, banyak orangtua menganggap anak pandai jika nilai di rapor tinggi, nilai Matematika tinggi, padahal kecerdasan itu banyak sekali.
“Ada cerdas matematis, linguistik, natural, spasial, intrapersonal, interpersonal, kinestetik, musikal, bahkan spiritual. Mungkin ada satu lagi humoris, karena tidak semua orang bisa melakukan banyak humor yang bisa dinikmati banyak orang,” paparnya.
Menurutnya, penting bagi orangtua untuk mendukung dan memotivasi apa pun kecerdasan anaknya. “Karena dalam mengasah kecerdasan yang lain, perlu kita mantapkan kecerdasan yang dimiliki oleh anak,” tuturnya.
Ia mencontohkan bahasa yang seharusnya diberikan orangtua kepada anak dengan tanpa marah dan membandingkan. “Wah ibu bangga dan terpukau saat kamu menggiring bola dengan konsentrasi penuh. Yuk sekarang coba kerjakan ini pelan-pelan ya, konsentrasi seperti saat kamu menggiring bola,” ujarnya.
Keempat, isolasi (isolating). Orangtua melarang anaknya bersosialisasi dengan teman-temannya. “Kamu di rumah aja, kamu di sini aja. Kalau di sekolah misalnya, kamu di kelas ini aja ya, gak usah main ke kelas sebelah,” kata Bekti Prastyani memberi contoh.
Padahal, lanjutnya, anak harus belajar berpikir kritis, mampu beradaptasi jika temannya berperilaku tidak baik. “Bagaimana dia bisa menyaring atas apa yang terjadi pada dirinya. Ini yang kemudian menjadi sumber energi negatif pada anak-anak,” ungkapnya.
Kelima, merusak moral (corrupting). Orangtua atau orang dewasa di sekitar anak mengajarkan atau mencontohkan hal-hal yang kurang baik pada anak-anak kita.
“Karena anak-anak adalah peniru ulung. Apa yang dia lihat, apa yang dia dengar, dan apa yang dia rasakan, akan selalu diserap oleh anak-anak kita,” tuturnya.
Disiplin Biasa dan Disiplin SRA
Lima hal tersebut, kata Bekti Prastyani menjadi dasar sebelum berbicara disiplin positif di SRA. Kepada semua guru dan orangtua siswa SDMM, ia menjelaskan perbedaan disiplin biasa dengan disiplin positif atau juga dikenal sebagai disiplin SRA.
Pertama, disiplin biasa ada kontrol secara eksternal. Kefokusannya lebih kepada sebuah pengawasan, bukan kepada keinginan kita untuk menyadarkan secara internal. “Kalau disiplin SRA, kita ingin lebih menyadarkan dan mencari akar permasalahan yang terjadi atas sebuah perilaku,” jelasnya.
Jangan Hukum Anak dengan Ngaji
Kedua, disiplin biasa pasti ada reward (imbalan) dan punishment (hukuman). Dalam disiplin positif, baik di satuan pendidikan maupun di rumah, kita bersama-sama berkomitmen, lalu mencari konsekuensi.
Bekti Prastyani mengatakan, tingkat konsekuensi dalam disiplin SRA adalah konsekuensi logis, yang sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Contohnya, anak yang terlambat diminta untuk berinfak.
Menurutnya, kegiatan berinfak memang bagus, tetapi jika penempatannya tidak sesuai dengan pemahaman anak, maka yang muncul adalah ternyata kesalahan itu bisa dibayar. “Bukankah ini sama dengan memunculkan koruptor-koruptor baru,” ujarnya.
Contoh lain misalnya, anak terlambat diminta untuk menghafal surat. Kegiatan menghafal surat memang bagus, namun jika dilakukan untuk sebuah kesalahan, maka akan terjadi beda pemahaman. “Sehingga jika anak tidak melakukan kesalahan, akan enggan menghafal surat,” ungkapnya.
Ketiga, disiplin biasa fokus pada perilaku. Disiplin SRA fokus pada akar pembentuk perilaku. Keempat, dalam disiplin biasa, peraturan dibuat oleh yang berkuasa. Sedangkan dalam disiplin SRA, peraturan dibuat bersama.
Kelima, anak dengan disiplin biasa akan sering mengulang kesalahan meski telah menjalani sanksi. Ketaatannya jangka pendek. “Tapi kalau disiplin SRA, karena kita menyadarkan, mencari akar permasalahan, maka ketaatannya jangka panjang,” jelasnya.
Keenam, dalam disiplin biasa, perilaku tidak disiplin dianggap sebagai ancaman yang mengganggu. Dalam disiplin SRA, perilaku tidak disiplin dianggap sebagai kesempatan untuk membelajarkan karakter.
“Seorang pendidik adalah menjadi seorang pembimbing dan pembina. Membina anak dari yang tidak baik menjadi baik, tidak bisa menjadi bisa, tidak tahu menjadi tahu,” kata Bekti Prastyani.
Ketujuh, peran pendidik dalam disiplin biasa sebagai polisi dan hakim. Sedangkan dalam disiplin SRA, pendidik sebagai detektif yang terus berusaha memahami.
Rumus Disiplin Positif
Bekti Prastyani menjelaskan, ada beberapa rumus disiplin positif yang harus dijalankan agar hasilnya maksimal, yaitu disiplin itu harus. Ramah tetap disiplin, bukan dibiarkan.
Rumus berikutnya adalah tegas. Sebuah kedisiplinan pasti membutuhkan ketegasan. Selain itu, dalam menegakkan disiplin positif, kita boleh marah, tapi tidak boleh merendahkan harga diri anak.
“Marahnya pada perilaku, bukan pada anak. Marahnya tidak merendahkan martabat anak. Membandingkan anak itu masih merendahkan anak,” tegasnya.
Selanjutnya, korban itu ditolong. Yang dimaksud dengan korban di sini adalah anak-anak yang ada pada kelompok rentan.
“Anak yang tidak punya akte kelahiran, anak yang ditinggal orangtua atau salah satu orangtua belerja di tempat yang jauh, anak yang keluarganya broken home, anak yang kedua orangtuanya kerja fulltime, anak yang tidak tinggal dengan orangtua, dan anak dalam kelompok marjinal,” jelasnya.
Menurutnya, penting untuk memberikan mereka ruang dan tempat bagaimana bisa mengenali dirinya. Kita berikan kepercayaam tugas-tugas pada anak-anak itu.
Pengaruh Emosi pada Fungsi Hormonal
Bekti Prastyani juga menjelaskan bagaimana emosi dapat berpengaruh pda fungsi hormonal anak. Emosi negatif dapat menyebabkan jantung berdetak tidak teratur. Sebaliknya, emosi positif membuat jantung berdetak teratur.
Selain itu, lanjutnya, emosi negatif memberikan racun kortisol dan adrenalin, mengaktifkan batang otak, racun bagi otak, dan dapat membunuh sel-sel memori.
“Emosi positif memberikan tonik endorfin, serotonin, dan dopamin yang berguna untuk memperkaya pertumbuhan neokorteks,” ujarnya.
Bekti Prastyani mengingatkan, akibat pola asuh yang tidak ramah otak, anak akan kekurangan hormon cinta, neurosis, menjadi pembohong, psikopat, depresi, bunuh diri, dan schizophrenia.
Karena itu, ia menegaskan pentingnya menerapkan prinsip disiplin positif, yaitu partisipatoris, menghargai anak, serta kesetaraan dan inklusif.
“Selain itu juga fokus pada kekuatan dan tindakan positif anak, connection (empati dan komunikasi), serta menganggap kesalahan sebagai kesempatan belajar,” tegasnya. (*)
Satu Langkah SDMM Menuju Sekolah Ramah Anak. Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammd Nurfatoni.