PWMU.CO – Kita mungkin masih ingat dengan suasana Hari Raya Idul Fitri. Semua anggota keluarga berkumpul penuh bahagian. Meski hanya berlangsung sehari dua hari, namun hari penuh kemenangan itu menyisakan kenangan dan cerita yang luar biasa pada masing-masing orang. Dari latar sosial, ada fenomena sosial yang senantiasa terjadi secara berulang pada setiap tahunnya, yaitu lahirnya mode busana atau pakaian baru yang sedang ngetrend pada setiap Hari Raya Idul Fitri.
Tradisi sosial ini terinspirasi dari Sunnah Rasul yang menganjurkan semua umatnya untuk memakai baju baru di hari nan fitri. Sunah ini sebenarnya ingin memberi cerminan bahwa hati dan diri kita tersucikan kembali setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan Ramadhan. Atas dasar ini, berpakaian baru dengan model dan trend baru seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari berislam di hari raya itu sendiri.
Dalam konteks ini, tampaknya menarik untuk menilik fungsi beragama dari perspektif berbusana. Hanya saja, analog atau kiasan ini memang kadang tidak sepenuhnya tepat, karena bisa ditarik kepada persoalan yang salah kaprah. Yaitu, masalah gonta-ganti agama sebagaimana orang berganti-ganti busana. Namun, setidaknya, berpakaian bisa memberi gambaran tentang fungsi berislam bagi seorang muslim.
(Baca juga: Menutupi Dosa saat Kita Berlumuran Kemaksiatan… dan 3 Kunci Meraih Bahagia)
Pertama, berpakaian dapat melindungi pemakainya dari panas terik matahari, dinginnya cuaca, dan terpaan debu yang kotor. Artinya, pakaian ikut menjaga kesehatan pemakainya. Dalam konteks ini, berislam juga menyehatkan seorang muslim tidak hanya secara kejiwaan-mental atau ruhaniah, melainkan juga secara jasmaniah. Islam mengajari umatnya untuk tidak dendam, iri hati, jengkel, mudah marah, dan memerintahkan kita untuk mudah memberi maaf, sabar, bersyukur dan sebagainya.
Secara psikologis, seseorang yang menanam rasa dendam, mudah jengkel dan sering iri hati serta suka marah, biasanya mudah terkena stress atau tekanan batin. Jika seseorang telah dihinggapi stres, maka daya tahan tubuh akan menurun dan akan mudah terserang penyakit. Penyakit itu bisa berupa asam lambung naik, maag kambuh, sakit kepala dan pusing-pusing, darah tinggi atau kadar gula dalam darah naik drastis.
Tentu saja berbeda dengan mereka yang mudah memberi maaf dan sabar akan terbebas dan merdeka dari tekanan batin, karena ia sudah tidak lagi memikirkan orang lain dalam dirinya. Begitu juga dengan mereka yang selalu bersyukur akan merasa lapang dengan kehidupan ini, karena ia akan merasa cukup dengan pemberian Allah, dan merasa bahagia dengan hidup yang dijalaninya. Hingga di sini, nilai-nilai positif akan muncul.
(Baca juga: Belajar dari Abu Nawas dan Penjual Sate dan Inilah Amal yang Jadi Kebanggaan di Hari Akhir)
Nelson Mandela yang pernah dipenjara selama 27 tahun di ruang penjara sempit itu pernah ditanya oleh seorang pengagumnya, “Apakah Anda yang sekarang jadi Presiden dan begitu banyak dikagumi dunia tidak merasa geram dan dendam terhadap musuh-musuh politikmu di masa lalu?” Lalu apa kata Mandela? “Kalau aku biarkan dan kupelihara terus kekesalan dan kebencianku pada mereka, berarti aku masih dalam penindasan dan penyanderaan mereka. Aku ingin menjadi orang bebas-merdeka. Karenanya, aku lupakan semua masa lalu itu dan aku maafkan mereka.”
Kedua, berpakaian berarti menutupi aurat. Dalam QS. Al-A’raf Allah menceritakan, ketika Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke bumi karena memakan buah khuldi, kedua menemukan dirinya dalam keadaan telanjang. Allah pun berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi, pakaian takwa itulah yang lebih baik.” Pakaian ini pula yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam konteks beragama, Islam menjaga harga diri dan kehormatan manusia. Islam menjaga manusia dari sifat-sifat kehewanan yang tidak memiliki rasa malu, nalar dan fitrah untuk mendekat diri kepada Yang Maha Pencipta.
(Baca juga: Meraih Kemabruran Haji dan 6 Adab Menyembelih Hewan Qurban)
Ketiga, sebagaimana firman Allah di atas, berpakaian itu berfungsi sebagai hiasan bagi manusia. Artinya, dengan berpakaian manusia terlihat lebih indah dan enak dipandang mata. Begitu juga dengan berislam, manusia terpandang indah dengan tingkah laku kebaikannya dan enak didengar kata-katanya. Tidak menjemukan orang lain yang dekat dengannya, dan selalu menghadirkan rasa bahagia dalam hati sesama manusia.
Kendati demikian, cara berpakaian seseorang juga berbeda-beda. Penuh warna, beragam sesuai dengan selera, keinginan dan mood-nya. Ada yang berpakaian dengan pakaian perang, sehingga ia akan selalu terkesiap terhadap setiap perilaku seseorang yang “dianggap” berbeda dengan dirinya. Mudah tersinggung dan ber-suudz-dzan, karena menganggap orang lain sebagai musuh yang mesti dicurigai dan diperangi.
Ada yang berpakaian dengan cara yang wajar-wajar saja, sehingga menjalankan agama dengan wajar dan mudah menghargai perbedaan. Bukan karena beda ber-Hari Raya lantas orang lain ditekan, disalahkan, diberi sanksi, apalagi dipecat dari pekerjaannya. Seakan-akan manusia yang memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran di dunia ini.
(Baca juga: Teknologi Press Body: antara Mobil dan Hijab dan Kisah Seorang yang Rajin Beribadah karena Ingin Jadi Takmir Masjid)
Tujuan berpakaian juga berbeda-beda. Ada yang berpakaian untuk sekedar pamer, sebagaimana layaknya orang yang hendak hadir dalam acara resepsi pernikahan dengan segala hiasan yang dikenakannya. Dalam bahasa agama, seseorang menjalankan agama sekedar untuk pamer atau riya’ kepada manusia.
Oleh karena itu, berislam mesti dikembalikan kepada cara dan fungsi berpakaian yang dinyatakan Allah dalam QS. Al-A’raf, yaitu “pakaian taqwa itulah yang paling baik”. Ketakwaan menghindarkan seseorang dari sifat riya’, pamer. Ketakwaan juga mendorong seseorang untuk menghormati perbedaan sesama umat Islam, karena ia meyakini bahwa “perbedaan di kalangan umat Islam merupakan rahmat”. Semoga puasa Ramadhan kita pada bulan yang lalu dapat mengantarkan kita pada ketakwaan, sehingga selalu “menghangatkan di kala dingin” dan “menyejukkan di kala panas”. Amien. Wallahu a’lam.
*)Bahrus Surur-Iyunk, alumnus Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, kini Kepala SMA Muhammadiyah 1 Sumenep.