Ustad Abdul Somad dan Bu Tejo kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Ustad Abdul Somad Batubara, lebih dikenal sebagai UAS, mengumumkan bahwa penghasilannya dari YouTube mencapai Rp 400 juta. Semua uang itu habis dibelanjakan untuk membeli sembako dan dibagi-bagikan kepada fakir miskin.
UAS mempunyai 325 ribu subscribers, pelanggan, di akun YouTube-nya. Akun instagram UAS mempunyai hampir dua juta followers, pengikut.
UAS termasuk lima besar ustad kondang di media sosial dengan followers jutaan. Ustad Hanan Attaki punya followers 7,8 juta, A’a Gym mempunyai followers lima juta, Ustad Adi Hidayat punya 2,4 juta pengikut.
Perhitungan sederhana penghasilan mereka setiap bulan ada pada kisaran Rp 90 juta sampai Rp 100 juta. Dalam beberapa kasus bisa menembus Rp 300 juta per bulan.
Beberapa selebgarm top di Indonesia mempunyai pengikut 12 juta sampai 15 juta. Ria Ricis, Atta Halilintar, dan beberapa nama lain, bisa meraup Rp 200 juta dengan mudah setiap bulan.
Dakwah Era Digital
Bagi UAS dan para ustad digital lainnya, inilah berkah teknologi digital yang memberi kemudahan jangkauan dakwah terbesar dalam sejarah penyebaran Islam di negeri ini. Belum pernah ada seorang ustad atau ulama yang ceramahnya didengarkan jutaan orang seperti di era digital ini.
Sebelum ada media massa, para pendakwah berkeliling dari kampung ke kampung, pintu ke pintu, memberikan pengajian di depan beberapa jamaah. Di era 1980-an sebuah pengajian yang dihadiri seribu orang sudah disebut sebagai “pengajian akbar”.
Lalu pada 1990-an mulai muncul pengajian melalui radio dan juga televisi. Muncullah pendakwah kondang seperti KH Zainuddin MZ yang dijuluki sebagai “kiai sejuta umat”.
Ceramahnya melalui radio dan televisi bisa didengar jutaan orang, tapi tidak bisa menghasilkan monetisasi, pendapatan keuangan yang besar.
Generasi pendakwah televisi berikutnya pada awal 2000-an lahir Abdullah Gymnastiar, dikenal sebagai Aa’ Gym yang memunculkan histeria di kalangan ibu-ibu seluruh Indonesia. Pondok Pesantren Darut Tauhid di Bandung yang dikelola Aa’ Gym dikunjungi ribuan orang tiap hari, 24 jam.
Nama Aa’ Gym pudar pada 2011 karena menikah lagi karena dikabarkan menceraikan istri pertama dan menikah lagi dengan wanita lain.
Sekarang, 10 tahun setelah peristiwa itu, Aa’ Gym memperoleh kembali pengikutnya dan bahkan kali ini konstituennya lebih beragam, bukan hanya ibu-ibu, dan jumlahnya diperkirakan lebih besar dari sebelumnya.
Fenomena Amerika
Di Amerika Serikat para pendakwah injil disebut sebagai evangelist. Pada 1990-an muncul Pendeta Pat Robertson yang mempunyai pengikut luas di seluruh Amerika dan dakwahnya di televisi diikuti jutaan orang.
Generasi Robertson ini dijuluki sebagai “televangelist” alias pengkhutbah televisi yang bisa menjangkau audiens lebih luas dan lebih efektif.
Robertson televangelist biasa. Dengan kekayaannya yang besar ia membangun sendiri stasion televisi khusus dakwah penginjil yang dinamai Christian Broadcasting Network yang menjangkau audiens seluruh Amerika.
Robertson menjadi penginjil paling berpengaruh di Amerika dan menjadi kekuatan politik yang sangat penting. Dalam pemilu presiden Amerika, Robertson dan jemaahnya selalu mendukung calon presiden konservatif dari Partai Republik.
Pada pilpres 2016 yang silam kemenangan Capres Partai Republik, Donald Trump, atas Capres Partai Demokrat, Hillary Clinton, banyak ditentukan oleh suara kelompok Kristen konservatif seperti jemaah Pendeta Robertson ini.
Pada pilpres 3 November 2020 mendatang, Trump dan wakilnya Mike Pence akan ditantang oleh pasangan Joe Biden-Kemala Harris dari Partai Demokrat. Sebagaimana pilpres-pilpres sebelumnya kali ini Trump tetap mengandalkan dukungan dari kalangan Kristen konservatif.
Persaingan Trump vs Biden diperkirakan akan keras dan ketat karena Biden didukung kalangan liberal, juga kalangan kulit hitam dan kulit berwarna. Unjuk rasa dan kerusuhan rasial yang meluas di Amerika beberapa bulan terakhir gegara kematian George Floyd yang diinjak polisi, akan memicu persaingan pilpres yang keras.
Pilpres Indonesia
Fenomena yang kurang lebih sama terjadi di Indonesia pada pilpres 2019 yang lalu. Kalangan nasionalis-liberal mendukung Jokowi-Makruf Amien, dan kelompok religius-konservatif mendukung Prabowo-Sandiaga Uno. Pada waktu itu para pendakwah Indonesia, UAS, Aa’ Gym, Adi Hidayat, dan kawan-kawan mendukung Prabowo-Sandi.
Generasi baru para ustad dengan jamaah jutaan netizen ini disebut sebagai “netangelist” alias pendakwah internet. Mereka menjadi influencer, pemberi pengaruh, yang sangat didengar dalam isu-isu politik mutakhir. Pengaruh politik para netangelist ini akan sangat penting pada pilpres 2024 mendatang.
Para netangelist muslim ini akan menjadi influencer tangguh yang akan bersaing dengan para influencer profesional yang disewa dengan anggaran Rp 90 miliar untuk menjadi jurubicara pemerintah.
Teknologi digital membawa berkah sekaligus bencana. Kejahatan digital pun merajalela dengan sangat cepat. Penipuan digital, kejahatan seksual, narkoba dan obat bius, penyelundupan orang, dan juga terorisme, bisa meluas dengan cepat karena teknologi digital.
Sains dan teknologi bersifat netral. Ia rasional karena berdasarkan pada pembuktian ilmiah yang positivistik. Sains dan teknologi mencerahkan dan membebaskan akal manusia dari takhatul, bidah, dan khurafat.
Manusia akan beroleh manfaat besar ketika mampu mengendalikan teknologi untuk kepentingan yang bermanfaat. Tapi, manusia juga bisa menjadi budak teknologi dan setiap hari hanya menyia-nyiakan waktu untuk menonton materi-materi negatif, dan menghibah, bergunjing, ke sana kemari seperti Bu Tejo. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni