PWMU.CO– Jenderal Nasution mendapat perhatian dari Presiden Uni Soviet Nikita Khrushchev tahun 1960-an. Menurut Khrushchev, Abdul Haris Nasution sebagai sosok berpengaruh, tapi juga penuh intrik.
Kesan itu ditulis dalam memoar Khrushchev. Kala itu, Jenderal Nasution menjabat sebagai kepala staf angkatan bersenjata Indonesia. Dia mengaku terkesan pada Nasution. Nasution terbilang cukup muda, tampan, menjaga penampilannya, dan cerdas.
”Pertemuan dengannya (Nasution) sangat berkesan. Saya bertemu dengannya beberapa kali, tak hanya di Indonesia, tapi juga di Moskow. Ia berkunjung ke Uni Soviet untuk menandatangani kesepakatan penyediaan bantuan militer dan penjualan persenjataan kepada Indonesia,” kenang Khrushchev seperti ditulis Russia Beyond.
Khrushchev melihat Jenderal Nasution sebagai sosok yang berpengaruh di Indonesia. Sayangnya, ia lebih tertarik pada Amerika. Sang jenderal bukan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia justru dianggap sebagai salah satu musuh PKI.
”Tentu saja di hadapan kami, ia tak menunjukkan sikap antipatinya terhadap komunis. Padahal dia sebetulnya pendukung utama golongan yang ingin mengembangkan kapitalisme di Indonesia.”
Data Intel KGB
Ketika itu Sukarno mulai melihat PKI sebagai sekutu politik utamanya, bukan lagi tentara. Meskipun ia menegaskan posisi Indonesia sebagai negara Nonblok selama Perang Dingin, sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang ternyata didukung AS membuat Sukarno mengadopsi sikap anti-Amerika.
Dalam hal ini, PKI menjadi sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan Sukarno justru memperkuat pengaruh mereka dalam sistem politik Indonesia.
Selama kunjungan delegasi Uni Soviet ke Indonesia, pemerintah tengah berperang melawan kelompok-kelompok separatis di sejumlah pulau. Di antara mereka terdapat pasukan pro-Amerika yang telah menerima senjata dari AS.
Khrushchev mengetahui informasi tersebut dari intelijen Soviet. Menurut Khrushchev, Nasution diam-diam juga membantu kelompok pemberontak.
”Apa maksudnya? Dia (Nasution) tampaknya tak bisa memberi mereka senjata, tetapi dia menjalin komunikasi dan memberi mereka informasi tentang operasi yang tengah disiapkan pemerintah untuk menyerang mereka,” kata Khrushchev.
”Ketika saya berada di sana, pasukan pemerintah menangkap seorang agen Amerika di salah satu operasi melawan para pemberontak ini. Nasution membantu membebaskan orang Amerika ini. Amerika telah menekannya. Berdasarkan laporan dinas intelijen kami dia memiliki koneksi dengan intelijen Amerika,” tulis Khrushchev dalam memoarnya.
Ragu kepada Nasution
Ini membuat Khrushchev ragu pada Jenderal Nasution. Ia khawatir karena sosok yang akrab dengan Amerika ini adalah seorang yang berpengaruh dalam angkatan bersenjata Indonesia. Meski begitu, Sukarno kerap memuji Nasution di hadapan Khrushchev.
”Suatu hari, Sukarno menyebutkan bahwa Nasution bukan hanya seorang yang jujur, tetapi juga seorang yang religius, sehingga mustahil untuk memengaruhi keyakinannya, dan pelan-pelan, dia dapat menjadi pendukung demokrasi,” kata Khrushchev.
Khrushchev mengakui ia sering berbicara dengan Nasution. Kami saling menghormati. Sang jenderal tak menunjukkan sedikit pun kebencian terhadap Uni Soviet. Dia tahu bagaimana menyembunyikan perasaannya, sehingga kami tak punya alasan untuk berpikir bahwa ia memusuhi kami. Meski begitu, dia memang musuh.
”Dia (Nasution) juga menjalin komunikasi dengan militer kami. Mereka berhubungan baik dengannya walau intelijen kami pun memberi tahu bahwa Nasution memiliki hubungan dengan intel Amerika,” kenang Khrushchev.
Sukarno Goyah
Di sisi lain, tulis Khruschev, mobilitas Sukarno sangat tinggi. Presiden Indonesia menghabiskan lebih banyak waktu di luar negeri daripada di negerinya sendiri. Ketika pasukan yang dipimpin Nasution tengah menyiapkan kudeta untuk menggulingkan Sukarno, sang presiden tengah berada di Jepang.
”Dari Jepang, ia terbang ke Uni Soviet. Dalam percakapan pribadi dengan Sukarno, saya bertanya, apakah Anda tahu bahwa Nasution berperan dalam membebaskan agen Amerika atas desakan intelijen AS?”
Mendengar pertanyaan itu, Sukarno menatap pemimpin Soviet kemudian menjawab, ”Ya, saya tahu itu. Itu adalah keputusan kami bersama.” Khrushchev tak menduga jawaban itu.
Meski begitu, dalam memoarnya, Khrushchev merasa Sukarno berbohong. Menurut Khrushchev, Sukarno mungkin berpikir sebaiknya ia mengatakan bahwa ia mengetahui informasi itu demi menyelamatkan mukanya.
”Lagi pula, apa gunanya bagi presiden Indonesia untuk membebaskan mata-mata Amerika? Supaya dia bisa kembali mengacaukan sistem pemerintahan yang telah dibangun Sukarno? Namun, Presiden Sukarno tetap berterima kasih atas informasi tersebut dan meminta saya untuk memberi tahu dia hal-hal semacam ini di masa depan dan kami sering kali memberikannya informasi,” kata Khrushchev. (*)
Editor Sugeng Purwanto