H Maid Zainal Abidin, Pernah Dianggap Anak Durhaka. Ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Doktrin Islam tentang birrul walidain sangat tegas bahwa apa pun keyakinan orangtua kita, tetap harus dihormatinya. Namun tidak berarti dilarang menyelisihinya. Nabi Ibrahim contohnya. Beliau sopan kepada ayahnya. Tapi dalam soal akidah, beliau berbeda.
Hanya tidak setiap orangtua siap menghadapi pandangan berbeda dari anaknya. Sekalipun pendapat sang anak tidak salah, tapi karena menyelisihi keyakinan orangtuanya, bisa-bisa dinilai sebagai anak durhaka.
Pengalaman Maid Zainal Abidin
Seperti yang dialami Ustadz H Maid Zainal Abidin saat masih muda. Di lingkungan kampungnya, dia dikenal sebagai anak “durhaka”. Karena putra kiai ini menampakkan pandangan keagamaan yang berbeda dari orangtuanya. Ayahnya, Haji Ridwan adalah kiai salah satu pesantren di Cilacap yang sangat disegani masyarakat sekitarnya.
Gelagat berbeda, mulai terlihat sejak Maid masih di bangku SMA. Gara-garanya, ketika menempuh pendidikan di sebuah SMA negeri, dia tinggal di rumah seorang Kepala Kantor Departemen Agama (kini Kementerian Agama) Cilacap.
Di tempat kost itulah, dia rajin mengikuti pengajian yang dibina langsung oleh pemilik rumah, yang memiliki kedekatan kultural dengan Muhammadiyah.
Mengetahui pandangan dan kultur anaknya berbeda, sang ayah memutus jatah kiriman uang bulanan anaknya. Kendati demikian, toh Maid tetap menunjukkan bakti tulusnya kepada kedua orangtua. Salah satu buktinya, sang ibu—Hj Kaswiyah—tetap dirawat hingga akhir hayat di rumah dia, di Desa Taman Barat 23 Taman, Sidoarjo. Harta warisan pun dia tidak meminta.
Berkeluarga
Semasa bujang, pria kelahiran Cilacap, 19 Juli 1939, ini pernah bertugas dalam misi pembebasan Irian Barat (1962). Setahun kemudian (1963), dia menikahi Oensidah, gadis tetangga desa. Usai menikah, dia tidak sempat menikmati indahnya kehidupan rumah tangga baru karena sekitar tahun 1965, harus ke Kalimantan menyusul konfrontasi dengan Malaysia.
“Pulang dari Kalimantan, langsung tugas belajar di Jakarta selama dua tahun (1970). Lalu pindah ke Surabaya, di Kodikal Gunungsari, dan Pusdik Gubeng yang markasnya kini dipindah ke Juanda, Sidoarjo,” kenang Hj Oensidah mengenai perjalanan awal berumah tangga.
Tidak diketahui apa yang melatari ketertarikan Maid pada dunia militer. Yang pasti kata istrinya, background sebagai santri menuntun dia dalam tugas Bimbingan Kerohanian Islam di lingkungan TNI Angkatan Laut, hingga pensiun tahun 1986.
Sosok Ayah Disiplin
Dari hasil pernikahannya, pasangan ini dikarunia enam anak, yaitu Wahid Utbah Aftabuddin, Werda Unie Yuniarti, Walid El Umar Sabiladdin, Wuryanti Ummu Azizah, Wahyu El Usman Salahuddin, dan Aminullah Ismil Majid.
Di lingkungan keluarga, Maid dikenal sebagai sosok ayah yang mengajarkan kedisiplinan, dan mengutamakan pendidikan agama bagi anak-anaknya.
Tiga dari enam anaknya, lulusan Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan. Yaitu Walid El Umar Sabiladdin, Wuryanti Ummu Azizah, dan Wahyu El Usman Salahuddin.
Dalam pandangan anaknya, Maid adalah sosok yang tegas dan bertanggung jawab. “Meski kadang muncul sifat tentaranya yang keras. Tapi beliau ayah yang bertanggung jawab, dan tetap terlihat sisi lembutnya, terutama ketika anak-anaknya sakit,” kenang Wuryanti.
Sikap tegasnya tidak terlepas dari pendidikan militer yang tertanam dalam dirinya. Sebagai tentara aktivis, Maid terus berusaha menegakkan nahi mungkar walau dengan resiko dimusuhi kawan-kawannya.
Pensiun Semakin Giat Berdakwah
Minatnya sebagai aktivis pergerakan Islam kian tersalur setelah dirinya pensiun. Sehingga meski sudah pensiun dari dinas, tidak berarti beliau punya banyak waktu untuk keluarga.
Berbagai aktivitas dakwah, sangat menyita waktunya. Untungnya, sang istri sangat memahaminya. Bahkan istrinya mengaku bersyukur, gara-gara terbiasa tanpa suami, dirinya bisa mandiri. Dapat mengatasi masalah sendiri tanpa bergantung suami.
Oensidah pun bangga, meski suaminya militer tapi tetap merakyat, bisa diterima dan dipakai masyarakat. “Sebenarnya sudah banyak tetangga yang mengikuti pengajian, tapi belum mau terus terang mengaku Muhammadiyah.”
Tidak lama setelah pensiun, dia mulai bergabung secara struktural dengan Muhammadiyah. “Tanpa perlu menunggu lama, oleh Pak Alwi Tholib, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sepanjang ketika itu, beliau langsung diminta mendirikan ranting Muhammadiyah Taman, sekaligus sebagai ketuanya,” kenang istrinya.
Karirnya di Persyarikatan terus menanjak. Pada periode 2000-2005, terpilih sebagai Ketua PCM Sepanjang. Di lingkungan PCM, beliau dikenang sebagai penggagas berdirinya masjid tingkat cabang, yaitu Masjid al-Manar. Juga sukses mencari terobosan penyelesaian problem tanah wakaf, yang semula mengalami kebuntuan.
“Ijtihad beliau di bidang wakaf adalah merelokasi TK Aisyiyah ke tempat baru yang lebih luas. Lalu bekas lahan TK dipakai pengembangan rumah sakit. Sehingga amal usaha di PCM bisa sama-sama berkembang seperti sekarang,” tutur Abdullah Smith, Wakil Ketua PCM Sepanjang.
Jadi Buldoser
Menurut Wuryanti, semasa menjadi Ketua PCM, para pimpinan amal usaha yang masih abu-abu langsung diganti. “Tak pelak, sempat pula terjadi konflik dengan pimpinan amal usaha,” ungkapnya. Ditambahkan, lantaran ketegasannya dalam penegakan aturan, ayahnya dijuluki sebagai “buldoser”.
Menurut Abdul Karim Baisa, pria yang wafat pada 8 November 2014 itu juga dikenal lurus dan jujur. “Orangnya lurus dan jujur. Ketika beliau menjabat Ketua PCM, mobil dinas Muhammadiyah tidak boleh dipakai di luar acara Muhammadiyah. Termasuk untuk mantenan pun sangat keras tidak boleh,” kata Ketua PCM Sepanjang tersebut.
Kendati terkesan keras, lanjut Abdul Karim, almarhum sangat cinta pada anak-anak muda yang aktif di Angkatan Muda Muhammadiyah. Seperti yang aktif IPM, NA dan Pemuda Muhammadiyah.
Kepada anak-anaknya, Maid berpesan: “Jadi apa pun, yang penting beriman. Jangan meninggalkan shalat, dan jadilah manusia bermanfaat”. Karena itu, ia mendorong anak-anaknya belajar agama dan aktif di Persyarikatan.
“Berkat dorongan ayah, saya aktif di Ortom,” kata Wuryanti yang melanjutkan perjuangan ayahnya dengan menjadi guru di salah satu TK Aisyiyah Sepanjang, Taman, dan aktif di Aisyiyah. Sementara saudaranya yang lain, keterlibatannya masih bersifat kultural. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.