Pemain Inti atau Cadangankah Kita? kolom ditulis oleh Ichwan Arif guru SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik.
PWMU.CO – Menjadi pemain inti dalam setiap event pertandingan olahraga tidaklah mudah. Butuh perjuangan untuk bisa masuk di satu slot pemain yang direkomendasi sang pelatih.
Butuh cucuran keringat. Bukan saja secara fisik, psikis, dan kesehatan, karakter ‘ngeyel’ pun menjadi prioritas yang menjadi syarat mutlah bagi para atlet dalam mengemban tanggung jawab pelatih.
Itu pemain inti, pemain utama. Sebelas pemain sepak bola yang bermain di lapangan hijau, semisal adalah sosok punggawa yang memiliki talenta di setiap posisinya. Dia adalah para pemain yang memiliki nilai lebih. Kualitas dia di atas rata-rata. Dia memiliki jiwa pembeda. Maka, pelatih pun memilihnya dengan pertimbangan matang.
Bagaimana dengan pemain cadangan? Sob, pemain cadangan adalah pemain yang duduk di beach, menunggu perintah ketika pemain inti kurang sesuai dengan ekspekstasi atau mengalami cedera. Dia baru bisa masuk menggantikan pemain. Itu pun kalau terjadi kekurangan dari tim. Ketika permainan di rumput hijau bagus, strategi bisa berjalan, maka pemain cadangan akan tetap menunggu di luar lapangan.
Maka, menjadi pemain inti—bukan cadangan—itu dambaan. Ini seperti penghargaan dari proses panjang dari latihan, try out yang menguras tenaga dan pikiran.
Pemain Inti atau Cadangankah Kita?
Kita harus menjadi pemain inti dan menghidari menjadi pemain cadangan atau, malah, pemain pembantu. Memang hal ini tidak mudah, tidak gampang. Inilah letak tantangannya.
Sob, pemain inti bukan pemain karbitan atau didik secara instan. Mereka lahir dengan tempaan dan proses panjang. Kita harus berkaca dari analogi ini. Untuk bisa sukses di usia muda, kita harus bisa menangkap peluang. Baginya tantangan bukan halangan yang menjadikan nyali kendor, untuk selanjutnya berbelok arah atau diam di tempat.
Menghadapi setiap tantangan harus dengan modal memadai. Modal inilah yang menjadikan diri kita sebagai pembeda. Wirda Mansur contohnya. Putri Ustadz Yusuf Mansur ini bisa melejit di usia muda. Sukses, baginya, tidak perlu menunggu usia tua. Setelah sukses membantu bisnis milik sang ayah, Wirda pun memutuskan untuk membuka bisnisnya sendiri. Tidak tanggung-tanggung, bisnisnya itu berbentuk perseroan terbatas (PT) dengan nama PT Wirdamae Grup Indonesia.
Selain aktif menjadi narasumber di acara webinar, sekarang dia juga membuka bisnis kosmetik, Wake Up Make Up yang menyosor pasar kaum muda.
Terus Upgrade Diri
Sob, kunci sukses jangan pernah berhenti bertumbuh. Jangan pernah membiarkan diri stagnan. Harus punya motivasi dan keyakinan untuk maju. Tidak hanya lipatan motivasi, mengasah skill pun harus. Harus terus meningkatkan level kualitas diri.
Upgrade kemampuan atau skill bisa membuka kesempatan lebih besar untuk meraih posisi puncak. Intinya, jangan cepat puas dan carilah cara untuk meningkatkan kualitas diri. Tak ada yang akan menikmati hasilnya selain diri sendiri.
Bagaimana cara meng-upgrade diri? Sob, memperluas jaringan bisa jadi alternatifnya. Bersosialisasi untuk menciptakan jaringan dengan komunitas di luar bidang yang ditekuni, tetapi bisa meningkatkan kualitas diri perlu juga diikuti.
Contohnya, jika kita sedang tekun di bidang akuntan, tak ada salahnya bergabung dengan komunitas bursa. Yakinlah, ilmu dan jaringan tersebut akan bisa membantu karier di kemudian hari. Kalau memiliki passion Vloger, seni peran, atau desain, maka perlu juga membuat dan ikut jaringan komunitas yang senada.
Setelah memperluas jariang, mencari mentor juga jurus yang tepat juga. Upaya ini adalah cara terbaik menguasai sebuah bidang adalah belajar dari ahlinya. Jadi, jangan tidak perlu ragu, untuk mencari mentor atau guru.
Sob, Kaizen Writing Workshop kelas menulis milik penulis Dewi ‘Dee’ Lestari sangat tepat sebagai rujukan mentor bagi yang yang memiliki passion demenulis. Dalam forum ini, selain bisa berguru tentang proses kreatif pada penulis novel Aroma Karsa, kita juga bisa sekomunitas dengan banyak penulis dengan latar belakang berbeda.
Tidak sekadar mendapatkan tips dan trik menulis bergenre fiksi, secara tidak langsung kita akan mendapatkan motivasi sebagai dukungan untuk terus berkarya.
Jadi Diri Pembelajar
Sob, untuk bisa menjadi pemain inti, maka mau tak mau harus berani mengambil peran, harus lebih aktif, bukan menunggu peran dan pasif dalam menerima tantangan.
Untuk bisa mencapai pada tataran tersebut kita harus memakai label pembelajar. Kita harus terus mengembangkan wawasan, kompetensi, maupun skill-nya. Tidak ada kata berhenti untuk belajar dalam meng-update dan meng-upgrade ilmu.
Belajar sepanjang hayat menjadi motivasi. Maka, belajar adalah sebuah kebutuhan. Hal ini landasi belajar karena ingin sukses, ingin pintar, ingin bermanfaat untuk orang lain, ingin mendapat pekerjaan yang layak, dan ingin miliki masa depan cerah.
Sob, belajar karena cinta ini adalah kalimat paling tepat. Inilah yang menjadikan kegiatan, aktivitas pembelajar akan bisa memberikan nilai tambah. Kekuatan cinta akan menjadi semangat untuk terus berusaha lebih baik dan lebih baik lagi. BJ habibie dalam quotes-nya pernah mengatakan sukses itu bukan milik orang pintar, tetapi milik orang yang mau berusaha.
Muda Berkarya
Sob, sukses itu tak perlu menunggu usia tua. Justru di usia muda adalah waktu yang paling tepat untuk berkarya dan melihat peluang. Dengan memulai sejak dini, tentunya akan mendatangkan hasil sangat bagus di masa mendatang. Yang terpenting, ciptakan karya sesuai dengan passion agar hasilnya bisa lebih maksimal.
Ingin menjadi penulis seperti Dee Lestari tidak perlu menunggu seusianya. Menjadi pemain inti adalah peluang untuk berproses, menjadi diri pembelajar. Tulisan fiksi kita bisa selevel dengan dia ketika kita terus berusaha, meng-upgrade diri. Belajar dari mentor dan bisa bertumbuh dalam proses dengan baik. Menjadi pemain inti atau cadangankah kita bergantung para kesiapan dalam mengambil peran. Silahkan mencoba. (*)
Penulis Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.