Menangislah Sekali Saja! Ditulis oleh Ustadz Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Tulisan ini pernah dimuat dalam buku karyanya: Hidup Bermakna dengan Memberi (Hikmah Press, Surabaya).
PWMU.CO – Kubuka surat dari ibuku dengan hati berdebar dan tangan gemetar. Ibu terpaksa tinggal di rumah sakit paru-paru di luar kota. Sudah lama ibu mengidap penyakit itu namun tidak dihiraukan. Siang malam terus bekerja menjahit konfeksi. Akhirnya ibu harus mematuhi anjuran dokter, istirahat. Kubaca surat dari ibu dengan cermat.
Surat untuk Anakku Tercinta
Ibu ucapkan selamat atas prestasimu menjadi lulusan terbaik tingkat SD se-kabupaten. Ingin sekali ibu menciummu. Tak ada kegembiraan yang ibu rasakan melebihi berita yang kamu kirimkan lewat suratmu. Air mata ibu meleleh deras karena bangga. Kau sejak dulu memang putra ibu yang luar biasa. Kau pantas menjadi juara.
Foto yang kamu kirimkan bersama surat itu, oh … alangkah gagahnya. Kamu seperti almarhum bapakmu. Kamu pantas menjadi presiden atau wakilnya. Dan ibu yakin sesungguhnya kamu dapat asal tekun belajar dan berbudi baik.
Percayalah, sebab pernah ada seorang presiden termasyhur berasal dari keluarga lebih miskin daripada kita. Namanya Abraham Lincoln. Kamu tentu tahu sejarah hidup Lincoln.
Anakku tercinta,
Keluhan tentang sepatumu yang sudah tua dan terbuka ujungnya sehingga kelihatan jempol kakimu, sungguh menyedihkan hati ibu. Maafkan ibu, anakku, karena belum bisa mengirimkan uang untuk membeli sepatu.
Alangkah gagahnya ketika menerima hadiah kejuaraan nanti kamu memakai sepatu baru disaksikan kawan-kawanmu dan para wali murid. Tapi sayang, kita masih dalam keprihatinan. Inilah kesalahan ibu paling besar kepadamu. Tetapi kamu bersedia memaafkan ibu bukan?
Jika setelah menerima surat ini kamu bersedih dan ingin menangis, maka menangislah sepuasmu. Menangis karena sedih tidak apa-apa. Tetapi ibu minta sungguh-sungguh, menangislah sekali saja! Ya, menangis hanya sekali saja! Setelah itu tidak lagi. Jika kamu bisa melakukan hal ini, kamu kelak akan menjadi orang besar. Ibu percaya kamu bisa.
Anakku, kiranya ibu akhiri surat ini sampai di sini. Hati-hatilah jika kamu bersepeda mengantar koran dan susu. Sebab sekarang makin banyak mobil dan kendaraan di jalan raya bukan? Salam dari ibumu yang mengagumimu.
Naik Panggung Perpisahan Sekolah
Kucium surat ibu berkali-kali. Oh, alangkah baik hatinya. Sayang ibu tidak bisa berkumpul denganku. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Aku sedih sekali. Aku tidak tahu kesedihanku ini karena ibu belum juga sembuh ataukah karena aku tidak bisa membeli sepatu baru. Tanpa terasa airmataku sudah berderai di pipi. Aku terisak sendirian. Lama sekali.
Pagi hari setelah shalat Subuh, seperti biasa aku mengantar koran. Sore hari aku mengantar susu. Aku teringat ucapan kepala sekolah: “Bersedih saja tidak bisa menyudahi kesulitan jika kamu tidak berusaha.”
Ya, kalau aku hanya bersedih dan tidak berusaha, maka tidak mungkin sepatu itu datang sendiri. Aku kemarin sudah cukup lama menangis, maka sekarang tidak boleh menangis lagi. Cukup sekali saja!
Mungkin karena tekad tidak ingin bersedih itu, sekarang hatiku terasa ringan dan gembira. Sambil mengayuh sepeda aku pelan-pelan berdendang menyanyikan lagu, sepotong lagu, meloncat ke lagu lain, lalu ke lagu lain lagi. Kadang dengan bersiul.
Ketika hari penyerahan ijazah dan perpisahan tiba, sekolahku ramai sekali. Aku belum punya sepatu baru. Gaji mengantar susu dan mengantar koran tidak cukup untuk membeli sepatu. Harus kutabung sebagian untuk nanti biaya masuh SMP, membeli seragam dan buku-buku. Setiap kali aku akan menangis, aku teringat pesan ibu. Menangislah sekali saja. Dan kemarin aku sudah menangis.
Semua temanku datang besama orangtua mereka. Dengan ayah ibunya. Ada yang dengan ayahnya atau ibunya saja. Mereka naik sepeda motor, bahkan ada yang naik mobil. Hanya aku sendiri yang naik sepeda dan tanpa orangtua. Perasaan sedih mulai menyelinap ke dalam hatiku tetapi segera kuusir. Aku tidak boleh sedih, apalagi menangis.
Kepala sekolah menyampaikan sambutan, memberi penjelasan panjang lebar tetang kelulusan kepada wali murid. Kemudian beliau berkata: “Akan saya perkenalkan kepada bapak dan ibu sekalian siswa yang berhasil mencapai nilai gemilang, nilai tertinggi dari semua peserta ujian se-kabupaten.”
Terdengar namaku dipanggil dan diminta tampil ke panggung. Tepuk tangan riuh sekali. Aku gemetar ketika berjalan menuju panggung. Aku juga teringat sepatuku yang terbuka depannya.
Di hadapan sekian banyak orang yang seluruhnya memandang kepadaku, aku menjadi gugup. Dan tiba-tiba aku teringat ibu. Alangkah senang hati ibuku sekiranya dia bisa menyaksikan. Aku ingin sekali menyenangkan hati ibu.
Sayang beliau sakit, tidak bisa hadir. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Tetapi segera terngiang kembali pesan ibu: “Menangislah sekali saja!” Dan aku kemarin sudah menangis. Air mata itu tidak jadi jatuh dan akhirnya mengering sendiri.
Kepala sekolah secara singkat menerangkan tentang diriku, pekerjaanku dan nilai-nilai ujianku. Suasana menjadi hening. Tampaknya mereka ikut bersedih mendengar tentang hidupku.
Kepala sekolah menerangkan ibuku di rumah sakit dan ayahku sudah wafat. Aku dikatakan hidup seorang diri, mencari biaya sekolah dan biaya hidup sendiri.
Akhirnya kepala sekolah bertanya kepadaku: “Apa cita-citamu, Nak?”
Aku tidak segera menjawab. Aku kaget karena tidak menyangka akan ditanya seperti itu. Seketika aku teringat surat ibu dan kemudian dengan suara lantang aku menjawab: “Aku ingin menjadi presiden, kalau tidak bisa, jadi wakil presiden pun aku mau.”
Suasana menjadi riuh oleh tawa dan tepuk tangan. Mereka ternyata tidak merendahkan diriku meskipun di atas panggung itu dengan jelas mereka dapat melihat sepatu tuaku yang terbuka bagian depannya.
“Tahukah kamu syarat menjadi seorang presiden?” tanya kepala sekolah.
“Tahu!” jawabku tegas. “Kata ibu, syaratnya rajin belajar, jujur, berbudi baik dan tidak mudah menangis.”
Ruangan itu sekarang senyap. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada tawa.
“Ke mana kelak kamu melanjutkan sekolah?”
“Ke SMP. Saya sudah punya uang tabungan untuk membeli buku, seragam, dan membayar sekolah nanti,” kali ini aku menjawab dengan bangga dan mantap karena tabunganku cukup.
Entah apa sebabnya, tiba-tiba air mata kepala sekolah meleleh ke pipi. “Maafkan Bapak-ibu sekalian, saya menangis karena bangga campur haru. Inilah murid sekolah yang terbaik selama saya menjadi guru di sini” katanya.
Kemudian kepadaku beliau berkata: “Kalau kamu nanti membutuhkan sesuatu, bapak siap membantu. Datanglah kepadaku!”
Beberapa wali murid berdiri mengacungkan tangan dan menyatakan siap membatu biaya sekolahku.
Aku menggelengkan kepala.
“Terima kasih, Pak. Tetapi calon presiden harus sanggup berusaha sendiri,” kataku dengan senyum.
Ketika aku turun dari panggung dengan membawa hadiah, kawan-kawanku dan para undangan menjabat erat tanganku sambil memberi selamat. Tidak kusangka banyak ibu-ibu yang basah matanya. Menangis. Aku sendiri tetap tersenyum. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.