Kemampuan Berbahasa Asing di Sekolah Muhammadiyah oleh Humaiyah, guru SMP Muhammadiyah 4 Tanggul Jember.
PWMU.CO-Usai shalat Ashar di Masjidil Haram saat umrah 2018, ada bocah perempuan empat tahun berjalan sendiri di antara ribuan jamaah menuju ke arah Kakbah. Dari tampilannya, si bocah seperti baru terbangun dari tidur.
Saya berhenti sejenak. Melihat ke sekeliling tak ada seorang pun yang berusaha menghampirinya. Saya mendekati dan meraih tangan bocah itu. Baru sadar muncul kesulitan. Kelemahan berbahasa asing menyulitkan komunikasi dengan jamaah dari berbagai bangsa itu untuk menanyakan anak siapa ini.
Saya tak bisa berbahasa Arab. Inggris pun nanggung. Anak itu pun tak menjawab ketika ditanya namanya dengan bahasa Arab sederhana seperti man ismuka? atau Inggris standar what is your name? Dari wajah dan kulitnya yang coklat kira-kira dia ini anak Bangladesh.
Akhirnya saya pakai bahasa Tarzan untuk bertanya kepada jamaah lain. Bahasa isyarat dengan memainkan gerakan tangan menuding, menunjuk, membuka tangan. Ternyata bahasa isyarat sekenanya itu dipahami orang juga. Semua orang menjawab dengan menggelengkan kepala. Artinya, anak itu bukan rombongannya.
Tak jauh dari tempat berdiri ada perempuan bercadar petugas kebersihan masjid. Saya bawa anak itu kepadanya. Alhamdulillah, petugas itu orang Indonesia. Lega karena komunikasi langsung nyambung. Dia menjelaskan tempat melaporkan anak hilang di Masjidil Haram. Di dekat Pintu 1 King Abdul Aziz.
Saya serahkan anak itu kepada petugas pos jaga dengan penjelasan pakai kosa kata bahasa Arab dan Inggris sebisanya. Didukung bahasa isyarat pakai tangan. Ternyata petugas itu paham juga.
Bertemu Bapaknya
Saya tinggalkan anak itu kemudian menuju tempat air minum zamzam di selasar pintu 1. Sambil antre mengambil air Zamzam, saya mengawasi bocah itu dari jauh. Tak lama seorang lelaki berkaos dan bercelana jins datang ke pos jaga. Dia langsung menggendong dan menciumi gadis cilik itu.
Saya gembira. Keluarga anak itu akhirnya datang juga. Tapi saya penasaran siapa lelaki itu. Saya dekati dia lalu saya tanyai pakai bahasa Inggris sekenanya. Dia mengucapkan terima kasih karena saya telah menemukan anaknya.
Untuk meyakinkan, saya minta dia menunjukkan foto bersama anak itu. ”Can I see your picture with her?” tanya saya.
”Ooo..yes, OK,” jawab lelaki yang mengaku dari Bangladesh itu. Dia mengeluarkan HP lantas menunjukkan foto saat bersama dengan putrinya. Juga menunjukkan foto ibunya yang saat itu sedang menangis mencari putrinya di lantai 2 masjid.
Kemampuan Bahasa Asing
Kejadian di Masjidil Haram itu menyadarkan saya betapa bahasa asing terutama Arab dan Inggris menjadi sangat penting. Apalagi di dunia pendidikan kita. Meskipun di sekolah diajarkan Bahasa Inggris mulai SMP, SMA hingga perguruan tinggi namun kemampuan berbahasa Inggris warga Indonesia lemah.
Di madrasah dan sekolah Islam pun hampir sama. Meskipun diajarkan Bahasa Arab mulai ibtidaiyah hingga aliyah, kemampuan bicara Bahasa Arab siswa setelah lulus belum lancar.
Di kalangan guru-guru kondisinya juga sama. Padahal penguasaan Bahasa Arab dan Inggris bagi pendidik terutama di lingkungan amal usaha Muhammadiyah sangat diperlukan. Apalagi mempersiapkan pendidikan di era 4.0.
Menyadari ini beberapa sekolah mulai berbenah. Memasukkan keterampilan berbahasa asing dalam kegiatan pembelajaran. Terutama meningkatkan conversation atau muhadatsah. Rupanya penekanan ini yang kurang dalam pembelajaran bahasa asing.
Ada yang mulai membuka kelas internasional dengan nama keren International Class Programm. Sekolah lainnya memasang jargon Bilingual School. Atau mengadopsi kurikulum sekolah luar negeri. Double degree.
Secara berkala guru dan siswa mengunjungi Kampung Inggris Pare Kediri untuk melancarkan bicara bahasa Inggrisnya. Bahkan ada program pertukaran pelajar di sekolah luar negeri seperti Australia, Eropa atau Amerika. Di sekolah Muhammadiyah pun banyak yang menerapkan. Hasilnya pun luar biasa.
Berkreasi Semampunya
Tentu saja program itu berbiaya besar. Tak semua sekolah mampu melakukan. Hanya sekolah dengan wali murid kelas menengah ke atas yang bisa berjalan dengan baik. Sekolah menengah ke bawah berkreasi sesuai kemampuan. Begitu juga sekolah di pedesaan. Pertukaran pelajar bisa belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah terbaik beberapa pekan. Hasilnya pun juga bagus.
Di sekolah saya, SMP Muhammadiyah 4 Tanggul Jember yang populer disebut SMP Muhata menerapkan program berbahasa asing bagi guru bertajuk Mentari Teacher. Juga dengan aktif melibatkan siswa di program Arab and English Day.
Cara lain dengan menambah perbendaharaan kata lewat cara sederhana menulis setiap sudut sekolah dengan kosa kata Arab dan Inggris. Kegiatan-kegiatan menarik lainnya seperti nonton bareng film asing, memenuhi perpustakaan dengan majalah dan komik berbahasa asing sampai pemberian reward kepada semua warga sekolah yang berani praktik bahasa asing.
Namun program peningkatan bahasa asing ini ada kendalanya di sekolah Muhammadiyah. Menjadi tugas berat bagi guru senior. Ada perbedaan yang mencolok antara guru senior yang sudah lama mengabdi dengan guru baru yang yang lebih terampil dan kreatif.
Guru senior rata-rata adalah pejuang pendidikan Muhammadiyah. Mereka yang merintis sekolah dan dulu pun bersedia mengajar dengan honor seadanya. Namun seiring usia, kemampuan mereka stagnan. Jangankan berbahasa asing, program pengajaran memakai IT pun menjadi gaptek.
Berbeda dengan guru baru yang lulusan pesantren modern. Mereka mengajar dengan banyak kemampuan termasuk berbahasa asing dan pemakaian IT.
Namun keterampilan guru Muhammadiyah harus terus diasah. Untuk membangun karakter siswa yang beriman dan menguasai teknologi. Harapannya bisa jadi 10,20 atau 30 tahun yang akan datang lulusan sekolah Muhammadiyah menjadi pengambil kebijakan negeri ini. (*)
Editor Sugeng Purwanto