Ahmad Dahlan dan Pesona Kisah, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat sejarah dan masalah sosial.
PWMU.CO – KH Ahmad Dahlan beruntung. Saat pendiri Muhammadiyah itu masih kecil, terutama lewat sang ayah, beliau banyak mendapatkan pelajaran lewat kisah-kisah yang menarik. Rupanya, sang ayah sangat sadar akan nilai penting kisah terhadap pembentukan akhlak seseorang terutama bagi anak yang sedang tumbuh-kembang di masa kecilnya.
Berkah Kisah
Di hadapan Islam, kisah atau sejarah sungguh teramat penting. Pertama, Allah secara khusus dalam beberapa ayat al-Quran meminta kita rajin membaca kisah. Kedua, sebagai bahan bacaan utama Allah langsung menyediakannya, yaitu al-Quran.
Cermatilah ayat ini: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf 111). Perhatikanlah fakta ini: Surat ke-28 al-Quran bernama al-Qashash yang berarti kisah atau cerita. Seksamailah data ini: Sekitar dua pertiga bagian al-Quran berisi kisah.
Di titik ini ada pesan yang sangat kuat, bahwa kita diminta untuk senang membaca kisah atau sejarah. Maka, rajinlah membaca kisah umat-umat terdahulu. Sukalah menyimak kisah orang-orang sebelum kita. Selanjutnya, ambillah pelajaran dari kisah-kisah atau sejarah itu.
Benar, kisah-kisah tak hanya indah kala sedang kita baca atau dengar. Kisah-kisah tak hanya mengasyikkan saat kita telaah. Tapi, lebih dari itu, berbagai kisah yang kita baca atau dengar bisa berperan bak lentera yang dapat menebar cahaya. Kisah-kisah bisa membuka hati.
Ya, kisah-kisah sanggup memberi pelajaran tanpa kesan menggurui dalam prosesnya. Kisah-kisah potensial menyodorkan hikmah yang bisa menggugah jiwa. Bahkan, kisah-kisah sanggup memberi inspirasi dan sekaligus energi yang memungkinkan seseorang bergerak cepat untuk melakukan amal shalih
Ayah Berkisah
Ahmad Dahlan di waktu kecilnya bisa dibilang melewati masa-masa yang penuh pencerahan. Dia dibesarkan di sebuah keluarga terpandang dan dengan disiplin keagamaan yang cukup ketat.
Ahmad Dahlan lahir pada 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Sang ayah bernama KH Abu Bakar dan sang ibu bernama Siti Aminah.
Sang ayah seorang ulama dan tokoh terkemuka di Masjid Gedhe Kesultanan Yogyakarta. Sementara, sang ibu adalah anak kandung dari Haji Ibrahim yang merupakan Penghulu Kesultanan Yogyakarta.
Saat kecil Ahmad Dahlan cukup banyak mendapat asupan gizi ruhani berupa berbagai menu kisah yang menggugah. Siapa pemberinya? Terutama ayahnya sendiri!
Dari sang ayah, misalnya, Ahmad Dahlan kecil mendapat kisah atau cerita bahwa dirinya adalah keturunan ke-12 dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo. Di titik ini, sungguh, siapa gerangan yang tak bangga menjadi keturunan dari ulama besar penyebar Islam yang legendaris?
Memang, secara umum, masa kecil Ahmad Dahlan seperti kebanyakan anak-anak lainnya yang senang bermain. Dia suka melakukan hal-hal yang menyenangkan, yang bisa menerbitkan suasana riang dan gembira. Jika kemudian kita perhatikan bedanya dengan anak-anak yang lain, bahwa Ahmad Dahlan kecil selalu dibimbing oleh orangtuanya untuk berakhlak baik. Bagaimana caranya?
Ahmad Dahlan kecil selalu diajak sang ayah ketika mengisi pengajian. Juga, si ayah kadang secara khusus memberikan pelajaran. Hal yang demikian ini, sering dipilih waktu di malam hari selepas shalat isya’ berjamaah di Masjid Ghede, Kauman Yogyakarta. Di kesempatan seperti itulah, Ahmad Dahlan acapkali diberi pelajaran melalui berbagai macam kisah atau cerita (Sanusi, 2013: h.15).
Ibrah, Ibrah!
Kisah memang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Kisah dapat merangsang perkembangan positif mental seseorang, terutama anak-anak. Lihatlah, sekali lagi, al-Quran memuat banyak kisah.
Antara lain, tergambarkan bahwa akan selalu ada pertarungan antara yang haq dengan yang bathil. Tergambarkan, berbagai peristiwa yang dialami oleh para Utusan Allah ketika menyebarkan agama-Nya.
Perhatikanlah ayat ini: “Dan semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (Hud 120).
Jika Allah meminta kita untuk rajin membaca atau mempelajari kisah atau sejarah, pasti karena hal itu sangat berguna bagi kita. Misal, saat mendapat kisah bahwa bila kita adalah keturunan dari orang-orang yang baik dan apalagi berkategori ulama besar, pasti akan terbit tekad untuk minimal menjaga nama baik keluarga dengan cara menjaga sikap di keseharian. Pasti akan muncul kesadaran untuk meneladaninya, untuk mengikuti jejaknya.
Penyampaian kisah adalah metode pendidikan yang terbukti secara meyakinkan sangat berhasil dalam mencetak manusia berakhlak sekaligus berjiwa pejuang. Adakah contohnya?
Tentu, di antara contoh paling dekat adalah Ahmad Dahlan. Saat Ahmad Dahlan sebagai anak-anak, dia sangat disukai kawan-kawannya. Disenangi karena Ahmad Dahlan dikenal jujur, trampil, dan suka menolong.
Sebagai pedagang, dia dipercaya karena amanah. Sebagai pemuka agama dia diikuti masyarakat karena meski berilmu tapi tetap rendah hati. Sebagai pendiri Muhammadiyah pada 1912, gerakan dakwahnya terus dihidup-hidupkan dan terus dikembangkan oleh segenap pelanjutnya.
Jadi tirulah KH Abu Bakar, seorang ayah yang menerapkan secara baik metode pendidikan lewat penyampaian kisah. Teladanilah Ahmad Dahlan, yang secara benar memanfaatkan kisah untuk membina diri menjadi pejuang dakwah seperti pendahulunya, yaitu Syaikh Maulana Malik Ibrahim.
Ya, jadikanlah KH Ahmad Dahlan sebagai salah satu panutan dalam menjalankan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel Ahmad Dahlan dan Pesona Kisah ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 9 Tahun ke-XXV, 6 November 2020/20 Rabiul Awal 1442 H.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.