Multikulturalisme Misi Pemerintahan Joe Biden oleh Prof Dr Ahmad Jainuri, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO– Amerika Serikat (AS) salah satu negara Barat yang menerapkan multikulturalisme dalam sistem kenegaraannya. Sebuah sistem yang memberikan tempat bagi banyak orang, gagasan, budaya berbaur menjadi satu (melting-pot).
Di Kanada, multikulturalisme muncul dalam bentuk mosaik, bertemunya berbagai ragam orang dalam satu tempat. Sebagai sebuah mosaik, warna asli masing-masing orang yang beragam agama dan budaya dipertahankan sebagaimana aslinya.
Kaum imigran yang berasal dari bermacam suku bangsa mempertahankan budaya asal masing-masing dalam sebuah mosaik besar Kanada. Konsekuensi yang dilakukan oleh negara yang menganut paham multikulturalisme ini adalah terbukanya bagi kaum imigran untuk bisa tinggal di negara-negara Barat. Masing-masing menentukan kuota imigran yang diterima sesuai dengan kemampuan negara yang bersangkutan.
Dalam sistem politik di AS, kaum imigran umumnya condong pada platform Partai Demokrat. Karena di Partai Demokrat inilah keamanan rasial mereka terlindungi. Pemerintahan yang dikendalikan Partai Demokrat menjamin hak-hak minoritas dalam payung besar kesetaraan ras, dan keadilan sosial.
Jaminan ini diwujudkan dalam penguatan ekonomi dan jaminan kesehatan bagi kaum lemah. Di AS dan Kanada, jaminan kesehatan menjadi salah satu aspek yang sangat dibutuhkan bagi kaum miskin, karena tingginya biaya kesehatan.
Karena itu pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama dikeluarkan Obama Care, yang memberikan jaminan kesehatan kepada orang-orang lemah secara ekonomi. Program ini yang pada era pemerintahan Presiden Donald Trump berusaha dicabut.
Beda Biden dan Trump
Dalam kampanye pilihan presiden yang baru lalu, penguatan ekonomi bagi kaum lemah yang ditawarkan oleh kandidat Joe Biden berbeda dengan program ekonomi Trump. Joe Biden tetap ingin menaikkan pajak mereka yang berpenghasilan tinggi. Sedang Trump tidak akan melakukannya.
Distribusi pajak dari mereka ini oleh Biden diperuntukkan, salah satunya, untuk pemberdayaan ekonomi kaum lemah. Sedang Trump tidak akan menaikkan pajak. Hal ini dinilai oleh sebagian kalangan sebagai keberpihakan Trump pada kaum berduit.
Mereka ini didorong terus menginvestasikan kekayaan mereka dengan kompensasi tidak menaikkan pajak yang harus mereka tanggung. Slogan America First yang diucapkan Trump saat pidato pelantikan presiden pada 2016 memang mengutamakan AS.
Sebagai presiden, Trump ingin mengembalikan kejayaan AS. Karena itu dia mendorong rakyat untuk membeli produk AS dan mempekerjakan warga AS sebagai pegawai.
Tetapi sebagian kalangan menerjemahkannya sebagai bangkitnya supremasi kulit putih yang berideologi Kristen Avengelis. Slogan ini seakan menomorduakan warga non-kulitputih. America First sama dengan sama dengan White-Anglo-American, yakni warga Amerika kulit putih.
Selama periode pertama pemerintahan Trump, kebijakan ini diwujudkan dalam larangan warga muslim masuk AS, menutup imigran Hispanik masuk AS, memisahkan anak imigran dari orangtuanya, menyerang program layanan kesehatan universal warisan Obama, dan banyak lagi.
Kebijakan Trump ini tidak hanya membangkitkan semangat rasisme, tetapi juga tumbuhnya disparitas sosial, politik dan ekonomi bagi rakyat AS. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah kaum imigran yang lemah. Padahal kekuatan Amerika Serikat itu terletak pada konsep multikuluralisme, seperti yang sudah berlangsung selama ini.
Muslim Merapat ke Biden
Bagi warga negara AS yang beragama Islam, kecenderungan mereka merapat ke Joe Biden bukan semata karena program sosial, ekonomi, dan politik seperti yang disebutkan di atas. Tetapi misi bagaimana nilai-nilai Islam itu berpengaruh pada proses politik Amerika. Tanpa kita menyadari bahwa praktik politik AS yang terkait dengan persyaratan bagi pejabat publik ada indikasi mengambil nilai Islam.
Ronald Reagan, Presiden AS 1981-1989, mengatakan, tradisi politik AS itu sebenarnya mengambil pemikiran politik Ibnu Khaldun yang mengedepankan etika moral agama dalam semua proses politik. Baginya, serorang pejabat publik harus bersih dari perilaku menyimpang.
Seorang pejabat harus memiliki integritas diri yang tinggi. Hal ini penting, karena setiap kebijakan yang dikeluarkan berdampak bagi kehidupan rakyat banyak.
Pintu kedekatan terhadap komunitas muslim di AS, terutama menjelang pemilihan umum dilakukan oleh kandidat dari PartaiDemokrat. Intensitas pertemuan dengan komunitas muslim AS dilakukan juga oleh Biden.
Dalam beberapa pertemuan yang dilakukan, ia menggunakan ungkapan Islam ’insyaallah’ akan memenangkan pemilihan Presiden 2020. Bahkan ia cukup fasih menyitir arti sebuah hadits “Whomever among you sees a wrong, let him change it with his hand, if he is not able, then with his tounge, if he is not able, then with his heart.”
Meskipun demikian, komunitas muslim tidak berharap terlalu banyak. Karena pertama, semua ini diucapkan dalam janji politik waktu kampanye.
Kedua, jika kepentingan politik kaum imigran diakomodasi, mesti juga harus berbagi dengan kepentingan komunitas minoritas lain. Dalam konteks ini, multikulturalisme tampaknya bisa dilaksanakan oleh rejim pemerintahan Partai Demokrat. Biden menjanjikan semua ini dalam pemerintahannya yang akan datang. (*)
Kota Lumpur, 7 November 2020
Editor Sugeng Purwanto