Menggoda Umat Muhammadiyah dengan Punai, Kolom Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – Sikap ekstrem itu bisa dianalogkan petir. Lebih menarik dan menyentak. Apalagi ketika berbunyi di siang bolong atau saat orang tidur. Pasti bisa lebih wow! Sedang moderat itu seperti hujan. Tidak terlalu menarik, apalagi mengagetkan, tapi lebih dirasakan berkahnya.
Dan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 1968–1990 KH AR Fachruddin memilih seperti hujan. Menjelang Muktamar Muhammadiyah di Yogyakatya tahun 1990, Pak AR–begitu almarhum akrab dipanggil–datang ke daerah-daerah.
Misi utamanya, meminta agar umat tidak memilih dirinya lagi menjadi Ketua PP yang sudah dijabat selama 22 tahun. Menjadi ketua terlama dalam sejarah Muhammadiyah.
Kedua, menawarkan sosok KH Ahmad Azhar Basyir sebagai orang yang dia rekomendasi untuk menggantikannya.
Mengapa sampai Pak AR bergerilya? Bisa jadi untuk menjaga karakter Muhammadiyah yang selalu memilih pemimpin yang berakhlak Muhammadiyah. Akhlak yang bersumber pada Rasulullah.
Pak Azhar, selain masih trah KH Achmad Dahlan, memiliki akhlak kepemimpinan Muhammadiyah. Rendah hati, lemah lembut meskipun tegas, tepa selira, arif bijaksana, tidak mudah mengumbar ucapan yang tidak perlu.
Ciri orang mukmin itu menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna (al-Mukminun 3).
“Maka berkat rahmat dari Allah kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran 159).
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl 125).
KH AR Fachruddin
Mulai pertengahan 1980-an memang terjadi perubahan orientasi di kalangan angkatan muda Muhammadiyah. Yaitu menempatkan sikap vokal sebagai salah satu parameter kemajuan Muhammadiyah.
Perubahan orientasi ini karena pengaruh munculnya tokoh-tokoh baru di luar Muhammadiyah yang dikenal vokal. Menjadi primadona pers. Kemunculan mereka begitu fenomenal. Hal itu dianggap sebagai indikator kemajuan organisasi tempat tokoh itu berada.
Karena Pak AR itu irit bicara, tidak biasa berbicara vokal atau meledak-ledak, apalagi melakukan kritik keras secara terbuka terhadap kekuasaan, dianggap sebagai akar Muhammadiyah stagnan. Mandek. Godal-gadul.
Padahal kalau pakai indikator perkembangan amal usaha, seperti kata Buya Syafi’i Ma’arif, Muhammadiyah terus maju. Demikian pula banyak persoalan internal maupun persoalan bangsa dan umat yang diselesaikan dengan gaya kepemimpinan Pak AR yang santun, sejuk, luwes, bijaksana. Dan yang pasti Muhammadiyah selamat dari kooptasi rezim Orde Baru. Muhammadiyah juga selamat dari jebakan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Maka isu paling santer di Muktamar 1990 itu adalah soal suksesi. Intinya Pak AR harus diganti. Sudah ada semacam penggiringan opini bahwa Muhammadiyah harus dipimpin orang muda yang vokal, cerdas, dan berani.
Ternyata mayoritas umat Muhmmadiyah masih percaya dan tawaduk dengan kearifan Pak AR. Seorang yang zuhud, qanaah, bahkan sampai wafat tidak punya rumah. Untuk itulah KH Azhar Basyir benar-benar terpilih menjadi menjadi Ketua PP Muhammadiyah 1990-1995. Tetapi baru sekitar tiga tahun menjabat, dia wafat. Posisi digantikan Amien Rais.
Angin Perubahan
Angin perubahan tak bisa dihadang lagi. Karakter atau akhlak kepemimpinan Muhammadiyah mengalami perubahan. Muhammadiyah berubah seolah menjadi organisasi yang vokal, ofensif, galak. Amar makruf nahi mungkar lantas dipersempit menjadi oposisi.
Bukan hanya akhlak kepemimpinan yang berubah, bahkan nilai perhidmatan pun mengalami perubahan. Jika selama ini seseorang yang diamanati oleh umat untuk memimpin Muhammadiyah sampai masa bakti selesai, bahkan sampai meninggal dunia, berubah bisa saja mundur di tengah jalan karena hendak mencari jabatan lain di luar Muhammadiyah. Maka Amien Rais menjadi Ketua PP pertama dalam sejarah Muhammadiyah yang mengundurkan diri di tengah jalan.
Perubahan akhlak kepemimpinan terus terjadi ibarat ombak laut yang silih berganti. Terkadang gemericik lembut, terkadang dahsyat bergelombang. Pada masa sekitar enam tahun terakhir ini, ombak itu relatif tenang. Ketua Umum PP Haedar Nashir terlihat memiliki akhlak kepemimpinan yang merunut kepada Pak AR meskipun tentu saja tidak bisa jadi duplikasinya. Ia juga menapak jejak Buya Syafi’i yang konsisten dan tegar menjaga khittah Muhammadiyah.
Karnaval Agustusan
Di tengah-tengah ketenangannya ini, ada proses yang mirip seperti pertengahan dekade 1980-an. Muncul tokoh-tokoh Muslim di luar Muhammadiyah yang vokal. Bisa bicara keras sampai mata mendelik-delik dan mulut berbusa-busa. Suka berdiri di podium dengan orasi agitatif layaknya guntur di atas lautan massa. Suka berteriak di atas mobil dengan iringan massa layaknya karnaval Agustusan. Mengeksploitasi simbol-simbol agama yang mengaduk-aduk emosi.
Seolah kevokalan itu menunjukkan integritas, kapabilitas, dan kadar keimanan. Padahal itu yang terlihat di permukaan. Isinya belum tentu. Malah bisa saja itu tong kosong berbunyi nyaring. Bisa saja sesuai pemeo: semakin lebar mbengoknya semakin besar jejalannya.
Munculnya tokoh-tokoh itu menyentak sebagai warga Muhammadiyah bahwa mereka hebat. Lantas ngundamana diri sendiri bahwa Muhamamadiyah godal-gadul. Stagnan. Loyo. Kehilangan ghirah amar makruf nahi mungkar. Tidak lagi vokal dan kritis.
Sekali lagi gejalanya persis dekade 1980-an. Saat ini lebih dahsyat karena framing di media begitu canggih. Branding begitu massif. Yang terlibat bukan hanya penulis skenario dan sutradara tetapi juga pakar gestur, jago make up, ahli disain interior panggung dan eksterior panggung, ahli dramaturgi. Melibatkan buzzer dan influenzer. Melibatkan teknologi yang canggih.
Tidak begabah kalau Arthur C. Clark mengatakan dalam film The Social Dilemma, “Semua teknologi yang canggih tidaklah beda dengan sulap.”
Sebagian umat Muhammadiyah, dan umat Islam lainnya, kini terpukau oleh “sulap” itu. Terhipnotis. Setelah tidak sadar akan diseret ke kanan jauh. Maka saat ini ditargetkan runtuhnya penjaga pancang-pancang kemoderatan di Muhammadiyah.
Jalannya macam-macam. Haedar Nashir direduksi marwahnya dengan ancaman dijewer. Dihembuskan isu suksesi di muktamar 2021 secara keras. Bahkan dengan isu-isu destruktif dan mungkarat. Misalnya, cari ketua umum yang pintar ngaji, yang hafidh Quran. Cari pimpinan yang tidak menjual Muhammadiyah ke kekuasaan.
Umat Muhammadiyah harus sadar sedang digoda untuk mengejar punai. Sementara burung yang sudah di tengan agar dilepas. Rabbi a’lam. (*)
Menggoda Umat Muhammadiyah dengan Punai: Editor Mohammad Nurfatoni.