Pak Mahfud pun Gigit Jari, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – “Hukum aku, itu tidak masalah, karena sejarah akan membebaskanku.” (Fidel Castro)
Allahu Akbar! Seperti rasa kerongkongan ini tersekat menahan haru melihat gelombang umat menyambut Habib Rizieq Shihab—selanjutnya ditulis HRS—di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Entah berapa ratus ribu, bahkan juta umat, mengelu-elukannya.
Saya yang cuma melihat suasana breaking news dari ‘televisi umat’, TVOne, merasakan pula atmosfer euforia itu dan terharu melihat wajah HRS yang sumringah menebar senyum dan melambai-lambaikan tangannya pada lautan manusia yang bergelombang menyambutnya.
Baca Berita Terkiat: Habib Rizieq Menuju Takdirnya
Fenomena luar biasa yang belum pernah terjadi di republik ini, atau belahan dunia mana pun. Jika disandingkan, mungkin Revolusi Iran (1979), saat Ruhullah Khomeini balik ke Iran, dari tanah pengasingannya di Prancis bisa disejajarkan. Itulah akhir rezim monarki Shah Pahlevi, dan lalu digantikan pemerintahan otokrasi di bawah rezim para mullah.
Dari segi jumlah umat yang hadir menyambut HRS, tidak kalah dengan jumlah umat Iran menyambut Khomeini saat Revolusi Islam Iran. Atau setidaknya sama banyaknya. Karena tidak ada parameter bisa mengukurnya, maka mustahil mengecil-besarkan sesuatu yang tidak mungkin bisa dihitung.
Tapi satu hal, penyambutan HRS ini membuyarkan pandangan sekelompok orang yang tidak mampu membaca fenomena. Lalu tergagap menyaksikan gelombang manusia itu bisa digerakkan oleh seorang HRS dengan kekuatan energi positif.
Mereka yang hadir dalam penyambutan itu, diperkirakan sembilan puluh persen dari Jabodetabek, Banten, dan sebagian Jabar. Itu pun banyak yang tidak dapat hadir karena kendala pandemi Covid-19 dan masalah lainnya. Sedang yang sepuluh persen itu umat yang berasal dari seantero negeri. Fantastis.
Gigit Jari
Pak Mahfud pastinya gigit jari melihat jumlah umat yang hadir menyambut kedatangan HRS. Pantas saja jika lalu kepalanya digeleng-gelengkan tanda takjub, antara setengah percaya dan tidak percaya. Lalu ngucek-ucek mata, untuk sekali lagi meyakinkan apa yang dilihatnya benar adanya.
Baca Berita Terkait: Banyak Istighfar Pak Mahfud!
Geleng-geleng kepala dan ngucek-ucek mata itu hal wajar. Setiap orang bisa dan biasa melakukan itu. Jadi tidak ada yang salah jika Pak Mahfud pun melakukan hal demikian.
Sedang gigit jari, tentu bukan jari Pak Mahfud lalu digigit-gigitnya. Tapi lebih pada perumpamaan, jika apa yang dipikir dan ucapkan lalu berkebalikan dengan realita yang ada.
Dan itu berdasar pada ucapan Pak Mahfud sebelumnya, yang coba mengecilkan HRS yang dibandingkan dengan Khomeini, eh yang coba dikecilkan itu ternyata “The Phenomenon”.
Lalu coba mengecilkan FPI dan umat dari segi jumlah yang akan menyambut kedatangannya, dibandingkan dengan umat Iran saat menyambut Khomeini, ehh … ehh (lagi) ternyata umat yang menyambut kedatangannya bertolak belakang dari yang diperkirakannya. Menakjubkan!
Pantaslah jika Pak Mahfud lalu harus geleng-geleng kepala, ngucek-ucek mata, lalu gigit jari melihat realita yang ada.
Sebagai Menko Polhukam, semestinya ia cermat melihat fenomena yang ada. Menghitungnya baik-baik, dan menyampaikannya dengan kalimat terukur.
Lebih dalam lagi apa yang disampaikan Rocky Gerung, yang tampaknya dapat menerawang dengan lebih jelas. “Mahfud sudah lama kehilangan pemikiran akademis. Jadi yang dipertontonkan (hanya) bahasa kekuasaan,” kata dia sebagaimana disampaikannya dalam channel YouTubenya, Rocky Gerung Official, saat berdiskusi dengan Hersubeno Arief.
Maka, sekali-kali jangan pernah mengecilkan sesuatu, atau meremehkannya. Itu jauh dari sikap akademis. Justru yang kecil itu bisa menggeliat lalu menjadi besar, jika mendapat tantangan. Ilmu sosial tingkat dasar mengajarkan soal itu dengan begitu baiknya. Maaf! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.