KH Muhtar Mastur Kamus Quran-Hadits Berjalan, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – KH Muhtar Mastur dikenal sebagai ulama yang mempunyai pengetahuan agama yang cukup luas. Dia Hafal al-Quran dan al-Hadits. Bila ada orang yang bertanya tentang hukum dalam agama, maka beliau langsung memberikan jawaban dengan ayat atau hadits. Karena keluasan ilmunya itulah banyak orang menjuluki “kamus berjalan”.
Muhtar Mastur lahir di Lamongan, 3 Juli 1927 dari pasangan KH Mastur Asnawi dan Masturoh. Dia anak kedua dari enam bersaudara yaitu Jamilah, Muhtar Mastur, Roudhoh, Romlah, Mahbub Mastur, dan Khoiriyah.
Kehidupan Muhtar Mastur banyak ditempa di pondok pesantren. Sejak usia lima tahun dia sudah dikirim oleh abahnya ke pesantren anak di Sidayu, Gresik untuk belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Selanjutnya ia keluar masuk pondok pesantren, antara lain di Langitan, Lasem, dan Krapyak Yogyakarta.
Aktif di Muhammadiyah tapi Masih di PBNU
Pengalaman organisasi Muhtar Mastur penuh warna. Dia pernah menadi pengurus Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Partai Masyumi Lamongan, dan anggota Syuriah PBNU sampai tahun 1964.
Karena itu KH Mastur Asnawi adalah tokoh yang sangat disegani di Lamongan. Dia dikenal sebagai perintis dan pendiri NU di Kota Lamongan.
Dia kemudian aktif dan menjadi tokoh Muhammadiyah Lamongan. Pernah menjadi Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Lamongan Kota (1963-1967), Wakil Ketua Pimpnan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan (1967-1970), dan Anggota Majelis Tarjih PDM Lamongan (1990-1995).
Saat menjadi Ketua PCM Lamongan kali pertama, dia dibantu Yasin Fathul (sekretaris) dan Mochammad Asyik (bendahara).
Dia juga pernah menjadi Pengasuh Panti Asuhan Muhammadiyah Lamongan (1990-2000) dan Pengasuh Pondok Al Khoiriyah Lamongan (1980-2000).
Dalam kesehariannya Muhtar Mastur dikenal sangat sederhana. Dia bekerja sebagai pedagang benang tenun antarkota. Dia ajakan dagangannya itu sampai ke Jakarta. Selain itu, dia pernah buka usaha bengkel sepeda.
Perjalanan karirnya dilanjutkan ke birokrasi. Kala itu dia diminta oleh oleh RH Moeljadi menjadi pegawai negeri sipil (PNS) Departemen Agama (Depag) dan sebagai Hakim Pengadilan Agama Lamongan tahun 1967. Jabatan RH Moeljadi saat itu sebagai Kepala Perwakilan Depag Lamongan.
Sampai pensiun di usia 60 tahun Muhtar Mastur hampir tidak mau mengurus kepangkatan atau golongan sebagai PNS. Ia berprinsip meminta kedudukan atau pangkat adalah dosa.
Karena itu dalam buku Mengenang Perjuangan Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1937-2005, dituliskan jika Muhtar Mastur adalah sosok yang unik.
Berprinsip Tegas
Di mata orang-orang Muhammadiyah, Muhtar Mastur dikenal sangat keras dalam memberikan ceramah-ceramah atau pengajian. Ketika sudah aktif di Muhammadiyah, ia tak segan-segan “mengkafirkan” orang-orang yang tak sepaham dengan Muhammadiyah. Ia juga amat tegas dalam mendorong pemikiran keagamaan agar selalu mengacu pada al-Quran dan as-Sunnah.
Padahal pada tahun 1964 dua kaki KH Muhtar Masur masih ada di PCM Lamongan dan PBNU. Tapi posisi ganda itu justru menjadi semacam blessing in disguise (berkah tersembunyi) bagi penyebaran ide-ide Muhammadiyah di kalangan komunitas Nahdliyin.
Gerakan pembaharuan dan perserikatan Muhammadiyah berkembang cukup pesat. Karena faktor ini pula Muhammadiyah berkembang tanpa ada gejolak sosial. Selain juga berkembang melalui berbagai dalwah yang penuh tasamuh (toleransi) dan amal usaha pendidikan yang dibutuhkan masyarakat luas.
Menurut Ady Sucipto Jais—santri semasa di Pondok Al Khoiriyah—Muhtar Mastur adalah kiai yang memiliki ilmu cukup mumpuni. “Beliau kiai sekaliber nasional yang hidup di kota kecil. Pendobrak TBC (tahayul, bid’ah, khurafat) dengan penuh ketekunan dan keikhlasan,” ungkapnya pada PWMU.CO, Selasa (10/11/2020).
Dengan dakwah yang keras dan menohok itu, tidak sedikit orang yang tidak suka mendengar ceramahnya. “Tapi banyak juga yang akhirnya sadar akan pentingnya pemurnian tauhid dan ibadah,” kata
Sucipto yang juga Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PDM Lamongan itu.
Menurut Sucipto—yang juga dosen Umla—KH Muhtar Mastur setiap mengajar memakai sistem tematik. “Dalam pembelajaran disuguhkan landasan ayat dan haditsnya. Bila tidak sesuai dengan ayat Allah dan sunnah Rasul disebut kafir dan musyrik,” ungkapnya.
Tak Butuh Dunia
Sementara itu menurut putrinya, Indah Suraya, kehidupan KH Muhtar Mastur sangat sederhana. “Abah itu hidupnya sangat sederhana. Seolah tak butuh dunia. Beliau teguh pendirian. Selalu berprinsip pada hukum Allah. Selalu shalat qiyamul lail. Tidak segan abah berbelanja kebutuhan dapur sendiri untuk membantu pekerjaan istri,” ungkapnya.
Indah Suryani menjelaskan, abahnya itu dikenal masyarakat mepunyai keahlian supranatural. “Banyak orang menyaksikan pada pengajiannya diikuti juga oleh jin. Abah juga sering diminta mengobati orang sakit secara nonmedis,” kisah dia.
Bahkan sampai wafat pun KH Muhtar Mastur masih dicari orang. “Suatu hari ada tamu yang mencari Abah untuk mengobatkan keluarganya. Ia tidak tahu kalau Abah sudah wafat,” ujar Indah Suraya yang menjadi Korwas Roudhatul Athfal Kemenag Lamongan ini.
Indah Soraya yang pernah menjadi aktivis Nasyiatul Aisyiyah Daerah Lamongan itu menjelaskan skap abahnya soal fanatisme golongan. “Abah mengatakan bahwa orang Muhammadiyah yang bangga dengan organisasi dan benderanya, tak ubahnya seperti orang Quraisy yang menyembah berhalanya,” ujarnya.
Muhtar Mastur yang ke mana-mana suka berjalan kaki ini, sepanjang hidupnya digunakan untuk berdakwah di jalan Allah. Ia tidak segan-segan membantu santrinya dalam kesulitan. Ataupun siapa saja yang berkenan datang ke rumahnya di Jalan Kiai Amin Lamongan.
KH Muhtar Mastur wafat dalam usia 75 tahun karena sakit dan usia lanjut. Setelah hari hari opname di RS Muhammadiyah Lamongan, tanggal 15 Juli 2002, beliau dipanggil menghadap Allah.
Ia meninggalkan delapan anak yaitu Solichin, Taufiqurrahman, Rofi’udin, Mundziah, Indah Soraya, Dzulkifli, Edi Faizin, dan Yusron.
KH Muhtar Mastur dimakamkan di makam keluarga Tresnomulyo Lamongan. Semoga husnul khotimah dan tumbuh generasi yang hafidh-hafidhah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.