Jalan Politik KH Ahmad Dahlan oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Jalur dakwah KH Ahmad Dahlan untuk menyebarkan Muhammadiyah yang jarang dikupas adalah jalan politik. Padahal aktivitas politiknya juga membuka beberapa daerah menerima organisasi yang didirikannya pada 18 November 1912 ini.
Kalangan Muhammadiyah lebih suka menyampaikan jalan dakwah pendidikan, tabligh, panti asuhan, dan kesehatan. Maklum bidang ini sangat banyak referensinya. Soal kegiatan politik Kiai Dahlan tak banyak tersedia rujukannya secara gamblang. Kecuali harus merangkai dari beberapa pecahan peristiwa lalu menghubungkan menjadi mosaik yang tersambung.
Jalan politik yang sering disebut adalah masuk menjadi pengurus Budi Utomo di Kauman Yogyakarta. Meskipun Budi Utomo bukan organisasi politik tapi tokoh-tokohnya adalah kalangan yang berpengaruh dalam pemerintahan di zaman itu.
Jarang disebut orang adalah aktivitas politik Kiai Dahlan dalam Sarekat Islam (SI). Padahal beberapa perjalanan Kiai Dahlan ke daerah ada yang atas nama organisasi SI. Sebagai pedagang batik bisa dipastikan Kiai Dahlan adalah anggota SI. Karena organisasi ini awalnya didirikan oleh jaringan pedagang batik di Solo.
Dalam buku Menembus Benteng Tradisi yang disusun oleh PWM Jawa Timur menyebutkan jalan dakwah Kiai Dahlan turun ke daerah-daerah bisa sebagai Hoofdbestuur Muhammadiyah, pedagang batik, dan aktivis Sarekat Islam.
Jalan Politik Kuasai Mataraman
Tumbuhnya Muhammadiyah di daerah Mataraman seperti Ponorogo dan Madiun berkat aktivitas dakwah dari jalur politik SI. Misalnya, kunjungan ke Ponorogo tahun 1922 adalah mengisi kegiatan SI setempat.
Dalam pertemuan inilah kemudian dibicarakan pendirian Muhammadiyah karena aktivis Ponorogo tertarik dengan materi dakwah Kiai Dahlan. Aktivis SI seperti Kasan Muhammad, Karso Diwiryo, Ali Diwiryo, dan anggota pengajian Langgar Wetan Pasar yang kemudian mendirikan persyarikatan Muhammadiyah Ponorogo pada 11 Februari 1922.
Begitu juga ihwal berdirinya Muhammadiyah di Madiun berkat dukungan tokoh SI setempat yaitu Patih Raden Tjokro Adi Suryo dan pemuda Mohammad Thoyib. Mereka mengadakan pengajian SI di Pendapa Kabupaten yang dihadiri Kiai Dahlan tahun 1922.
Dua tahun berikutnya dari pengajian ini lantas ditindaklanjuti pertemuan mendirikan Muhammadiyah oleh Abdul Rozak Chaghir Salim, RM Hadikusumo, Sulaiman, dan aktivis lainnya pada 28-29 Agustus 1924. Terpilih sebagai ketua Abdul Rozak Chaghir Salim.
Kunjungan Kiai Dahlan ke Surabaya mulai tahun 1916 juga berkaitan dengan kegiatan SI atas undangan Cokroaminoto. Materi pengajian Kiai Dahlan disukai tokoh-tokoh pergerakan karena menggerakkan. Tempat pertemuan di rumah Cokro Jl. Peneleh VII atau di Langgar Plampitan VIII depan rumah Roeslan Abdulgani.
Di forum pengajian itulah Bung Karno yang masih berumur 15 tahun siswa HBS yang kos di rumah Cokro mengenal Kiai Dahlan. Seperti diceritakan Bung Karno saat pidato di Muktamar Muhammadiyah di Jakarta tahun 1962, sejak 1916 dia santri nginthil kepada Kiai Dahlan dalam beberapa kali pengajian di Peneleh dan Plampitan.
Pidato Bung Karno yang dibukukan dengan judul Makin Lama Makin Cinta itu menuturkan, pengajian Kiai Dahlan mendorong Sukarno remaja yang masih kelas satu HBS tertarik mempelajari Islam. Bung Karno mengaku yang semula paham agamanya remeng-remeng menjadi semakin jelas dan kuat.
Kiai Dahlan mengajarkan Islam yang menurut Bung Karno sangat mudah dipahami, gampang dilaksanakan, menggerakkan. Dia memakai istilah ajaran Islam yang regeneration (pembaruan) dan rejuvenation (peremajaan).
Konflik Politik
Kedekatan Kiai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah, dengan Sarekat Islam juga terbawa konflik dari aktivis militan KH Misbach. Dia ini anggota SI dan Muhammadiyah dari Kauman Solo.
Akrab dengan hoofdbestuur Muhammadiyah H. Fachrodin menerbitkan majalah Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Di majalah ini nama KH Ahmad Dahlan tercantum sebagai kontributor di Yogyakarta.
Ketika ada pelecehan terhadap Nabi Muhammad oleh Martodharsono dan Djojodikoro pada 1918, Tjokroaminoto lewat SI memprotes dengan membentuk Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM). Kiai Misbach ikut dengan mendirikan laskar Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV).
Aksi bela Nabi berhasil memobilisasi massa ratusan ribu orang dan terkumpulnya dana lebih dari 10.000 gulden di Surabaya pada 6 Februari 1918. Namun terjadi mismanajemen pengelolaan dana itu hingga membuat Kiai Misbach meradang dan melontarkan kritikan kepada Cokroaminoto dan SI.
Konflik ini menjalar ke Muhammadiyah dan Kiai Dahlan yang dekat dengan Cokro dan SI. Dalam buku Takashi Shiraishi berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 menceritakan, Misbach juga mengecam KH Ahmad Dahlan yang dulu pernah dianggapnya sebagai guru.
Kecamannya ditulis di Medan Moeslimin edisi 24 tahun 1922. Kiai Misbach menyebut Muhammadiyah sebagai antek kapitalis dan terlibat dalam perkara uang itu.
Dituduh Antek Kapitalis
Padahal tahun 1919, saat Misbach ditangkap Belanda pada Mei 1919 karena menggambar kartun di surat kabar Islam Bergerak yang menyerang pemerintah dan Sunan Pakubawana X, Kiai Dahlan menjadi salah penjamin membebaskannya.
Muhammadiyah mengirim kawat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar membebaskan Misbach. Misbach kemudian dibebaskan pada Oktober 1919.
Misbach akhirnya keluar dari Muhammadiyah dan SI lalu bergabung dengan SI Merah di Semarang. Sejak itu dia makin radikal dan menerima ide komunisme yang terus menerus menghujat Cokro dan Kiai Dahlan sebagai antek kapitalis karena kegiatannya didukung pemerintah.
”… Sekarang, kita semua tahu, bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan kapitalis dan sangat dipengaruhi oleh kapital,” tukas Misbach dalam buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Menurut Misbach, arah Muhammadiyah sudah tidak sesuai lagi dengan esensinya sebagai perhimpunan yang memegang teguh ajaran Islam. (*)
Editor Sugeng Purwanto